“Jika hanya sekali saja teguk airnya, anda akan kerasan hidup di situ. Jika anda seorang pendatang atau orang baru di desa itu, anda akan sulit melupakan kampung halaman yang anda singgahi itu“, demikian ungkapan warga yang hidup di desa itu.
Suku Sangihe atau Sangir telah mendiami jazirah Oba khususnya di desa Akekolano, wilayah kesultanan Tidore (Kota Tidore Kepulauan) sejak tahun 1933 silam.Desa Akekolano adalah desa dengan penghuni terbanyak pertama suku Sangihe setelah desa Galala. Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan ke desa ini yaitu 3,4 Km,sementara dari pelabuhan speed boat 6,1 Km.
Dari penelusuran penulis, cerita warga suku Sangir maupun juru kunci sejarah yang berdomisili di desa Akekolano menyebutkan, asal muasal penyebaran suku Sangir di jazirah Oba bermula ketika sekelompok warga transmigran berjumlah 78 jiwa asal kecamatan Tabukan Utara dan Tabukan Tengah Pulau Sangir (kabupaten Kepulauan Sangihe saat ini) didatangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kala itu ke pulau Halmahera.
Kedatangan para transmigran asal Sangir Talaud ini atas persetujuan dewan Hindia Belanda yang berkedudukan di Enemawira,Tabukan Utara atas permintaan seorang tokoh bernama (Alm) Maneking Antarani. Kepada Pemerintah Hindia Belanda, Maneking Antarani meminta agar warga yang mau merantau tersebut diizinkan untuk ditempatkan di pulau Halmahera.
Kendati diizinkan, Pemerintah Hindia Belanda hanya sanggup memfasilitasi ke 78 warga itu dengan alat pengangkut berupa kapal laut. Sementara untuk kebutuhan hidup selama perjalanan hingga didaerah yang dituju ditanggung sendiri oleh para transmigran ini.
Tanggal 25 Oktober 1933,78 warga transmigran asal Sangir Talaud ini selanjutnya bertolak dari pelabuhan Petta,Kecamatan Tabukan Utara menggunakan kapal motor (KM) Alpasang yang disediakan Pemerintah Hindia Belanda dan tiba di Ternate tanggal 26 Oktober di tahun yang sama.
Selang dua hari kemudian, setelah menampung bekal makanan seadanya, para rombongn ini lalu diberangkatkan lagi menuju pulau Halmahera bagian barat dan langsung ditempatkan di daerah Sidangoli, wilayah Kesultanan Jailolo (Kabupaten Halmahera Barat).
Di Sidangoli, ke 78 jiwa keluarga yang berprofesi sebagai petani ini menggarap lahan yang telah disediakan oleh petugas jawatan pertanian Hindia Belanda.Kurang lebih lima bulan menempati daerah Sidangoli,warga asal Sangihe ini kemudian dipindahkan lagi ke wilayah lain didaratan Oba.
Penyebab perpindahan para transmigrasi asal Sangir ke daratan Oba menurut catatan yang ditulis (Alm) Abdullah Antarani lantaran faktor tanah yang kurang baik untuk dijadikan lahan pertanian.
Abdullah menulis, bahwa penelitian yang dilakukan oleh jawatan pertanian (semacam otoritas UPTD dinas Pertanian) jaman Hindia Belanda juga menemukan struktur tanah yang digarap ke 78 keluarga ini tidak baik untuk pertanian karena mengandung tanah domato. Domato dalam harfiah bahasa Indonesia adalah tanah yang strukturnya berisi bongkahan tanah bercampur pasir padat.
“Di Sidangoli, warga bercocok tanam tapi tanahnya oleh penyuluh pertanian jaman Belanda dianggap kurang bagus untuk digarap,warga dan penyuluh sebut tanah itu tanah domato, sehingga mereka dipindahkan lagi ke wilayah Oba,” kutip Harun Baud (80),tokoh masyarakat Akekolano yang juga mantan kepala desa era tahun 1986-1992.
Pada tanggal 3 Maret 1933,dipimpin oleh (Alm) Maneking Antarani yang dibantu juru tulis (Alm) Achmad Antarani, ke 78 keluarga asal Sangir ini kemudian bertolak dari Sidangoli menuju Oba.Dalam catatan sejarah yang ditulis oleh (Alm) Abdullah Antarani dibantu (Alm) Achmad Antarani dan (Alm) Usman Lesawengen serta (Alm) Hasan Saibu tidak disebutkan model transportasi laut yang digunakan ke 78 warga ini ketika pindah dari Sidangoli menuju daratan Oba.
Hanya saja catatan yang ditulis oleh Abdullah Antarani yang menggunakan mesin tik (mesin ketik red) itu disebutkan bahwa ke 78 warga Sangir pindahan dari Sidangoli ini berlabuh dipantai Oba tanggal 3 Maret 1933.
Abdullah Antarani sendiri adalah kepala desa era 1974-1986,saudara sepupu dari Achmad Antarani,mantan kepala desa era tahun 1941-1971. Tiba di pantai Oba,tulis Abdullah Antarani,ke 78 warga transmigran ini kemudian langsung ditempatkan oleh jawatan pertanian Hindia Belanda di desa Akekolano (nama desa saat ini).
Pejabat jawatan Pertanian kala itu bernama (Alm) Raden Slamet Hardjowijoyo.Tiba di Akekolano, ke 78 warga ini selanjutnya mendirikan tempat tinggal mereka. Selain membangun pemukiman, para warga yang bermata pencaharian sebagai petani ini selanjutnya menyulap lahan seluas 60 hektar untuk dijadikan lahan pertanian.
Pada waktu itu, Maneking Antarani ditunjuk oleh warga sebagai kepala kampung karena selain sebagai ketua rombongan, Maneking Antarani berumur lebih tua dari 77 warga yang berdomisili disitu, sementara sebagai pembantunya atau juru tulis adalah Achmad Antarani.
Belakangan, menurut informasi yang didapat dari berbagai sumber menyebut bahwa lahan seluas 60 hektar yang dibuka warga ini sudah beralih status hak kepemilikan pada tahun 1954 menjadi milik Pemerintahan kabupaten Halmahera Tengah,(sebelum pemekaran Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Timur).
Selain rombongan pertama berjumlah 78 jiwa,pada tahun 1933 tepatnya tanggal 30 November,tiba lagi rombongan kedua berjumlah 45 jiwa yang berangkat menggunakan KM Albatros dari pulau Sangir, dipimpin seorang ketua rombongan,(Alm) Nesar Lesawengen.Nesar Lesawengen adalah mantan kepala desa Talelang,kecamatan Tabukan Utara Kepulauan Sangihe.
Selang waktu tiga tahun kemudian yaitu tahun 1936 tanggal 22 Januari,susul lagi rombongan ke tiga berjumlah 100 jiwa. Mereka dipimpin (Alm) Tinggilawa Mahmud dengan menumpangi KM Siaren.Dengan demikian, kurun waktu kurang lebih empat tahun, perkampungan ini telah dihuni kuran lebih 300 jiwa.
Uniknya,meskipun belum memiliki struktur pemerintahan yang moderen seperti jaman sekarang ini,namun desa yang dulunya dikenal sebagai kampung Sangir oleh masyarakat Tidore, umumnya sudah mengenal tata kelola sebuah pemerintahan yang baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah organisasi Pemerintahan yang terstruktur dengan rapi meskipun belum moderen seperti saat ini. Misalnya dikampung tersebut saat itu, ada unsur pimpinan desa yang dibantu oleh seorang petugas juru tulis atau sekretaris dan perangkat kampung lainnya.
Saban hari kampung Sangir itu terus mengalami kemajuan yang pesat.Setelah ketua kampung atau kepala kampung dipegang oleh Maneking Antarani,tampuk pimpinan kepala kampung berpindah ke tangan Nesar Lesawengen yang dibantu seorang juru tulis atau sekretaris yaitu Achmad Antarani.
Tampuk jabatan Nesar Lesawengen sebagai kepala kampung ini hanya berjalan 4 tahun saja yaitu dari tahun 1933 hingga tahun 1937.Selanjutnya,posisi jabatan kepala kampung dijabat sementara oleh (Alm) Yosafat Amos selama tiga bulan yakni akhir tahun 1937 hingga awal tahun 1938.
Dari Yosafat Amos, jabatan kepala kampung sementara berpindah tangan lagi ke (Alm) Ignatius Yanis selama enam bulan yakni penghujung tahun 1938 hingga awal tahun 1939.Setelah Ignatius, kepala kampung sementara berpindah tangan ke (Alm) Nelman Yanis. Nelman sendiri tercatat memegang jabatan kepala kampung sementara hingga tahun 1939 karena selanjutnya,kepala kampung sementara dipegang oleh Achmad Antarani.
Pada tahun 1941,Achmad Antarani dilantik menjadi kepala kampung oleh kepala distrik Oba,(Alm) Adjijudin Fabanyo,seorang pejabat jaman pemerintahan Hindia Belanda. Setelah dilantik menjadi kepala kampung, dua tahun kemudian Achmad Antarani mengangkat (Alm) Kauka Doguru sebagai wakilnya dan menunjuk (Alm) Yusuf Lesawengen sebagai seorang juru tulis atau sekretaris untuk membantu tugas – tugas pemerintahanya.
Yusuf Lesawengen adalah adik dari Nesar Lesawengen.Jabatan kepala kampung yang dipegang Achmad Antarani ini terbilang cukup lama yaitu selama 27 tahun menjabat, terhitung sejak dilantiknya sebagai kepala kampung hingga tahun 1971 setelah pemerintahan di Indonesia sudah bersifat administratif dibawah pemerintah daerah kabupaten Halmahera Tengah dengan ibukota di Soasio.
”Kakek pegang jabatan kepala kampung saat itu sangat lama,sebelum Indonesia merdeka sampai sesudah merdeka,beliau juga salah satu dari 78 orang pertama yang masuk di Akekolano, sebelum meninggal, almarhum sering cerita saat pertama kali beliau dan warga lainnya ketika menginjakan kaki dikampung ini, saat itu katanya, beliau masih berusia 16 tahun,” kisah Anwar Antarani, cucu dari (Alm) Achmad Antarani.
Achmad Antarani sendiri baru tutup usia pada 3 Februari 2007. Setelah jabatan kepala desa diletakan Achmad Antarani pada tanggal 25 Juni tahun 1971, jabatan kepala desa diisi oleh (Alm) Kauka Doguru hingga tahun 1974. Seiiring berkembangnya pemerintahan moderen setelah Indonesia merdeka,nomenklatur desa yang dulunya berstatus kepala kampung, kini berubah status menjadi pejabat kepala desa diera tahun 1950-an.
Ditahun yang sama yakni tanggal 19 Juni 1974,pemerintahan desa Akekolano diisi oleh pejabat kepala desa.Kepala desa yang diangkat tersebut adalah adik sepupu dari Achmad Antarani, yaitu Abdullah Antarani.
Abdullah dilantik oleh Bupati Halmahera Tengah waktu itu yakni (Alm) Achmad Malawat. Adik sepupu Achmad Antarani ini memegang jabatan sebagai kepala desa Akekolano hingga tahun 1986 kemudian digantikan oleh Harun Baud hingga tahun 1992.
Selanjutnya dari tahun 1992 tapuk pimpinan kepala desa dipegang oleh Mahmud Zaman hingga tahun 2000,lalu tahun 2001 hingga tahun 2013 dipegang oleh Abdullah Biji. Sedangkan selepas Abdullah Biji, jabatan kepala desa kemudian berganti ke Djunaidi Sangkop hingga hingga akhir 2019. Dari Djunaidi, selanjutnya jabatan Kepala Desa dipegang oleh Niimrot Maliku hingga saat ini.
Selain struktur pemerintahan dari status kampung hingga struktur admnistratif pemerintahan desa,masyarakat desa Akekolano dijaman pendudukan Hindia Belanda sudah mengenal dunia pendidikan. Hal ini ditunjukan dalam catatan tertulis dari (Alm) Abdullah Antarani dimana ditahun – tahun itu telah berdiri sekolah rakyat (SR) dikampung yang dulunya dikenal dengan sebutan kampung Sangir itu.
Asal cerita tulis Abdullah Antarani,mulanya sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda itu terletak diantara desa Akekolano dan Desa Oba dengan tenaga pengajarnya adalah (Alm) Yacobus Tomaluweng.
Kemudian tahun 1937, sekolah rakyat tersebut dipindahkan ke desa Akekolano lantaran kekurangan murid dari desa Oba,desa tetangga Akekolano.Tenaga pendidik yang mengajar di sekolah rakyat itu adalah (Alm) Jalal Kahar,pengganti Yacobus Tomaluweng.
Seterusnya di tahun 1948,telah dibuka lagi sebuah sekolah swasta yang bertempat digedung gereja protestan didesa setempat dengan tenaga pengajarnya adalah (Alm) Manole Makausi. Ditahun 1950 hingga tahun 1952,para siswa maupun siswi dari Desa Akekolano serta desa tetangga yaitu desa Oba berpindah sekolah ke salah satu sekolah dasar di desa Somahode dengan tenaga pengajarnya adalah (Alm) Masbuk Bayau. Lalu tahun 1955 sekolah dasar tersebut berpindah lagi ke gedung gereja protestan di Akekolano dengan tenaga pendidiknya yaitu (Alm) Abdurrahman Kim.
Pada tahun 1959 atas inisiatif dan partisipasi warga Akekolano,didirikanlah sebuah gedung sekolah permanen yang memiliki kapasitas tiga ruang belajar,masing – masing berukuran 7 m x 8 meter.Dari Abdurrahman Kim,tenaga didik yang selanjutnya mengajar disekolah ini adalah Din Fabanyo pada tahun 1963.
Hebatnya lagi,selain dibidang pemerintahan hingga dunia pendidikan,warga desa Akekolano saat itu juga sudah mengenal sistem pertanian moderen,dimana sebagian besar para petani sudah bercocok tanam dengan teratur. Tanaman yang ditanam menurut catatan yang ditulis oleh Abdullah Antarani bervariasi, yaitu dari tanaman bulanan seperti,padi,kacanag tanah,ubi – ubian, pisang serta tanaman bulanan lainnya.
Sementara untuk tanaman tahunan yang ditanam warga adalah,kelapa,pala cengkih dan coklat.Untuk potensi desa menurut data yang dirilis Abdullah Antarani saat menjabat sebagai kepala desa,yaitu memiliki tanah datar seluas 1.000 hektar, tanah huma seluas 340 hektar, ditambah tanah tanaman tahunan seluas 25 hektar dan tanah hutan kayu seluas 1.193 hektar. Selain itu, potensi desa lainnya berupa, tanah kebun yang sudah diolah seluas 1.000 hektar serta tanah yang sudah digarap dan sudah ditanami tanaman tahunan seluas 365 hektar.
Sementara untuk luas wilayah perkampungan desa Akekolano sendiri seluas 36,060 Km2 menurut sensus tahun 1976 dan areal pemukiman warga seluas 0,07 Km2. Luas wilayah ini kemudian dibagi lagi setelah dimekarkannya desa Ampera, terlepas dari desa induknya yakni desa Akekolano secara resmi tanggal 3 April 2008 sehingga luas wilayah desa Akekolano yang dihuni mayoritas suku Sangir ini menyusut hingga 14,874 Km2 menurut data terakhir sensus tahun 2016.
Desa Ampera merupakan desa yang dihuni penduduk transmigran lokal asal pulau Tidore yang didatangkan Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah tahun 1964 dan menempati lahan bekas garapan pertanian milik warga Akekolano yang berpindah status menjadi lahan milik Pemerintah Halmahera Tengah saat itu.
“Dulu warga transmigrasi lokal dari pulau Tidore didatangkan oleh Pemerintah kabupaten Halmahera Tengah di sekarang ini jadi desa Ampera,sebelum jadi perkampungan,lahan yang ditempati warga desa Ampera dulunya milik warga Akekolano,” kata Harun Baud,menantu (Alm) Yusuf Lesawengen,juru tulis Pemerintahan Achmad Antarani.
Menurut sensus penduduk tahun terakhir, jumlah penduduk di desa Akekolano saat ini mencapai seribu lebih.Kendati demikian,mayoritas penduduk Akekolano masih didominasi oleh suku Sangir, sementara diurutan kedua ditempati suku Tobaru,disusul Tidore dan suku – suku lain.Suku Tobaru (Tavarros) adalah salah satu suku asli dipulau Halmahera yang bermukim dipedalaman hutan Halmahera termasuk di jazirah Oba,wilayah kesultanan Tidore.
Menurut informasi yang diperoleh dari berbagai sumber maupun cerita warga desa setempat,sebelum kali pertama suku Sangir atau Sangihe datang desa Akekolano saat ini,areal tersebut sudah dihuni setidaknya 7 kepala keluarga (KK) suku Tobaru atau Tavarros, yaitu (Alm) Dehengo Guae,(Alm) Esene Okono, (Alm) Boturu Okono,ditambah (Alm) Yehu Okono,(Alm) Godiho Lobe dan (Alm) Kauka Doguru serta (Alm) Herodes Palihema.
Di jaman keemasan empat kerajaan di Moloku Kie Raha,suku ini direkrut oleh Kesultanan Tidore maupun Ternate untuk melawan bangsa Portugis dan Spanyol ketika itu. Dengan kemampuan tempur yang gesit dan menghilang di hutan secara menakjubkan, suku ini dinamai oleh Sultan Nuku dari Tidore dan Sultan Babullah dari Ternate dengan sebutan tentara rimba. Dijaman Sultan Nuku, para pasukan rimba ini menjadi garda paling depan membantu perjuangan Nuku mengusir kaum penjajah dibawah pimpinan kapita Hadi.
”Sebelum orang Sangir datang,dikampung ini sudah ditempati oleh suku Tobaru,tapi jumlah mereka tidak banyak, ketika kampung ini diterorganisir baru mereka dimasukan sebagai warga desa oleh orang – orang tua kami,” ulas Hamid Maniku (70),salah satu tokoh masyarakat didesa setempat,mengutip dari sesepuhnya.
Nama Akekolano diambil dari salah nama mata air yang berada persis disebelah salah satu anakan sungai (Kali Akekolano) yang bermuara dipantai desa Oba atau dekat dengan eks perusahaan minyak kelapa Bimoli. Ake menurut bahasa Tidore berarti air, sedangkan kolano berarti jou atau raja atau sultan.
Mata air yang menjadi cikal bakal nama desa ini sendiri menurut cerita warga dan menurut kitab sejarah kadaton (keraton) Tidore dulunya merupakan mata air tempat favorit permandian para raja – raja Tidore ketika melakukan lawatannya ke daratan Oba.
Nama desa ini juga barang tentu tidak dinamai langsung oleh suku Sangir yang bermukim didesa ini pada saat itu.Sebab pada umumnya bahasa Sangir atau Sangi/Sangih sendiri adalah rumpun bahasa Austronesia atau Melayo-Polinesia dan Filipina.
Berbeda dengan bahasa daerah yang dipakai suku – suku yang ada di jazirah Moloku Kie Raha (Maluku Utara) terutama bahasa Tidore.Menurut cerita warga maupun catatan yang ditulis Abdullah Antarani disebutkan bahwa nama desa Akekolano diadopsi dari sekelompok warga Tidore yang sudah mendiami pesisir pantai dekat muara sungai itu sejak dahulu kala.
Oleh warga Tidore,sungai dekat perkampungan suku Sangir ini disebut Ake Kolano.Hal ini juga diperkuat dengan catatan (Alm) Abdullah Antarani yang disebutkan bahwa pada jaman pendudukan kolonial Belanda ditahun 1935,masyarakat perkampungan saat itu dikenai sistem upeti atau pajak. Didalam blanko pajak yang disodorkan para penagih pajak menurut catatan Abdullah Antarani sudah tertera nama kampung atau desa yaitu Akekolano.
Jadi, mata air dekat sungai Akekolano ini menurut warga desa merupakan mata air pertama yang dijadikan 78 warga suku Sangir ketika menginjakan kakinya pertama kali di desa tersebut untuk dijadikan sebagai air minum dan untuk keperluan mandi serta untuk kebutuhan lainnya. Uniknya lagi, disebelah mata air tersebut tumbuh kokoh salah satu pohon berukuran raksasa, oleh warga desa disebut pohon liau atau buah rao atau dengan nama latin dracontomelon.
Dracontomelon ini dipercaya masyarakat desa setempat sebagai pohon tertua didesa setempat dan telah ada sejak dahulu semenjak tibanya 78 warga asal Sangir itu.Selain itu Dracontomelon dipercaya mampu melindungi mata air Akekolano hingga saat ini.
Sayangnya, mata air maupun pohon yang dipercaya berumur panjang tersebut kini sudah tidak terawat lagi bahkan mata air yang menjadi saksi bisu kedatangan suku Sangihe itu kini terancam tertutup tanah seiring laju pembangunan yang begitu pesat di Kecamatan Oba Utara, dimana salah satu Kecamatan di Kota Tidore Kepulauan ini juga bagian dari pusat aktivitas Pemerintahan Provinsi Maluku Utara.
Repoter : A.A Yono
Penulis : A.A Yono
Komentar