Jazirah.id – Sejak bangkit kembali di 2017, ekspor perikanan Maluku Utara (Malut) mengalami peningkatan hingga 2019 dan turun drastis di 2020 dengan alasan pandemi Covid-19. Kendati demikian, ekspor sebagai kepentingan bisnis ke luar, evaluasi terhadap persaingan, pengelolaan dan kontribusi tak dapat dihindarkan.
Perikanan Malut sebelumnya menyisahkan catatan buruk bagi perekonomian Malut, karena selama puluhan tahun banyak menyumbangkan devisa bagi daerah lain dalam kepentingan ekspor daerah itu. Sementara ekspor perikanan di daerah yang sebelumnya dinumpangi produksi perikanan Malut, hingga saat ini terus mengalami peningkatan tajam.
Daerah tersebut adalah, Sulaweisi Utara, Sulawesi Selatan, Bali dan Subaya dengan capaian ekspor puluhan ribu ton ikan per tahun. Sedangkan ekspor perikanan Malut per tahun di tiga tahun terakhir belum mampu tembus diatas seribu ton.
Sulawesi Utara di 2019 misalnya, volume ekspor perikanan mencapai 21.594 ton dengan devisa sebesar 131 923 242,64 Dolar AS, angka ini masih dibawah angka tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 33.000 ton.
Demikian juga Sulsel, ekspor perikanan belakangan mengalami kenaikan tajam. Sulsel pada periode Mei 2019 tercatat sebesar 15.089 ton dengan nilai mencapai Rp 444,1 miliar. Jumlah ini meningkat hingga 602,8 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2018 yang hanya sebesar 2.147 ton.
Selain itu, provinsi tetangga seperti Maluku bahkan nilai ekspor perikanan naik di tengah Covid-19 yakni, Pada periode Januari-Mei 2020, nilai ekspor provinsi ini tembus di angka 29,5 juta USD. Angka ini fantastis dibandingkan sepanjang tahun 2019, nilai ekspor diangka 14,8 juta USD.
Sedangkan, untuk nilai ekspor perikanan Malut Pada 2018 baru mencapai US$3.126.255,81 atau Rp.45.504.715.514, hingga maret Maret 2019 sebesar US$1 juta, sedangkan periode Juni 2020 devisa hanya di kisaran 700 juta, menunjukan perunan tajam dengan alasan Covid-19.
Volume ekspor perikanan tangkap Malut di 2017 akhirnya mencapai Rp3,1 miliar. Kemudian hingga akhir 2018 mencapai Rp18,5 miliar. Jenis ikan yang ekspor yakni tuna mencapai 26.000 kg, frozen yellowfin tuna 72,362 kg, jenis cakalang, tongkol dan kembung mencapai 61,480 kg.
Sedangkan untuk negara tujuan ekspor tertinggi, dengan berbagai jenis ikan berada di negara Vietnam, sebesar 286,485 kg, disusul Jepang 89.000 kg dan Amerika Serikat 26.000 kg. Demikian devisa ekspor di 2018 perikanan Malut mencapai US$3.126.255,81 atau Rp.45.504.715.514.
Daerah seperti Sulut, telah memiliki negara tujuan ekspor perikanan yang lebih luas, yakni, Jepang, Jerman, Amerika Serikat, Mesir, Yaman, Saudi Arabia, Thailand, Belgia, Ukraina, Yordania, Singapur. Sedangan malut baru menembus Singapura, Vietnam, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat dan terkahir disebut Philipina dan Thailand.
Upaya mengejar nilai ekspor oleh pemerintah dapat menghadapi problem produksi ikan, sedangkan Malut terkenal dengan wilayah yang memiliki potensi ikan terbesar, disaat yang sama menemukan problem penyediaan sarana penangkapan nelayan. Sering terjadi ketidakseimbangan stok ikan bagi kebutuhan lokal menyebabkan juga melonjaknya harga ikan. Kurangnya produksi menyebabkan terbatasnya stok ikan di pusat produksi ikan seperti PPI, TPI.
Demikian kontribusi perikanan Malut menunjukan angka yang belum signifikan bagi perekonomian Malut. Statistik Malut 2019 mengemukakan, pertumbuhan ekonomi Malut 2018 tertinggi terjadi pada lapangan usaha industri pengolahan, yakni 32,13 persen, sedangkan perikanan termasuk pertanian dan kehutanan hanya mampu tumbuh sebesar 3,16 persen.
Padahal, BPKM Malut mengemukakan Perkiraan Potensi pelagis; Tuna, Ckalang dan Tongkol (TCT) di Peraiaran Malutper tahun sebesar 106.510 ton, namun produksi per tahun baru sebanyak 37.614 ton, pemanfaatannya masih sekitar 35,17%.Sedangkan, potensi Ikan Demersal (potensi dasar) per tahun sebesar 83.840 Ton. Tingkat produksi per tahun sebanyak 32.140 Ton, pemanfaatannya masih sekitar 38,33%.
Demikian juga hasil analisis question (LQ) 2010-2015 oleh Suhana 2017, menyebutkan Malut termasuk dalam 10 besar provinsi yang menjadi basis produksi ikan nasional, Malut berada pada urutan ke-5 dari 34 provinsi dan berada di posisi diatas Sulut dan Sulsel dengan dengan kntribusi terhadap PDRB sebesar 0,8 persen dengan nilai LQ 4,7 dari Sulut dan Sulsel yang sama sama 0,7 untuk PRDB dan nilai LQ masing 3,41 dan 3,27.
Bangkit Kembali dan Problem Persaingan
CV Markindo Raya, perusahaan exportir dan pengolahan ditopang UKM kembali memprakarsai pengusaha pemasaran ikan Malut secara mandiri di pasar internasional di 2017.
Perusahaan yang dipimpin Ricky Young Dodo dan UKM, mengawali kembali pengusaha eksportir Malut setelah puluhan tahun tidak beroperasinya PT Usaha Mina yang dikenal memperantarai ekspor perikanan tangkap terbesar Indonesia Timur yang bermangkal di Bacan Halmahera Selatan (Halsel).
Perjalanan ekspor perikanan Malut meningkat hingga tahun 2019 seiring hadirnya beberapa perusahaan. Setelah CV Markindo Raya yang berdomisili Tobelo (Halut), PT Perikanan Nusantara (Perinus) di Babang Halsel, PT Harta Samudra yang merupakan perusahaan pengolahan tuna yang menempati Kawasan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di Morotai serta berapa perusahaan eksportir lainnya.
Perusahaan perusahaan tersebut pun turut berperan dalam mengembalikan devisa yang sebelumnya banyak mengalir ke daerah lain selama puluhan tahun, antaranya Bitung, Makasar, Bali dan Surabaya, karena hasil tangkap nelayan di Malut saat itu harus dibawah ke pelabuhan daerah ini untuk selanjut dibawah Negara tujuan ekspor.
Upaya ekspor di awal 2017, harus di dimulai dengan suatu upaya yang membutuhkan waktu guna mengintegrasikan pihak-pihak terkait, Pengusaha, Bea Cukai, DKP, KKP, Badan Karantina serta negara-negara importir.
Meski itu, uapaya ekspor perikanan Malut secara mandiri belum mencapai usia 3 tahun, kembali terbendung pandemi Covid-19. Nilai ekspor pun turun drastis di periode Januari – Juni 2020 dengan volume ekspor hanya sebesar 168 ton dengan nilai Rp 603 juta lebih. Padahal, pada periode yang sama di 2019 mencapai 700 ton lebih dengan nilai 3.337 372.22 USD.
Pandemi Covid-19, sejatinya merupakan waktu evaluasi standar mutu produk pangan yang berkompetisi di pasar internasional, juga syarat ekspor lainnya. Tak terkecuali termasuk ekspor perikanan Malut, KKP mengungkap tingginya pelayanan sertifikasi ekspor perikanan sepanjang pademi, sejalan ketatnya persaingan mutu produk perikanan di pasar global.
Kondisi ini memperlihatkan beberapa negara harus menolak ekspor ikan dari Malut di tengah Pandemi seperti Amerika Serikat, Tiongkok dan Vietnam, membuat pihak terkait harus mencari jalan belok atau menjajaki negara mitra impor baru yang tak butuh banyak persyaratan impor.
PT Harta Samudera Halsel misalnya, pada ekspor tahap dua April 2020, sebanyak 6 kontainer ikan dispersiapkan dengan tujuan Vietnam, harus mencari negara tujuan ekspor lain, karena Vietnam masih menolak impor ikan ini dengan alasan pandemi. Padahal Vietnam sebelumnya termasuk pengimpor tertinggi ikan Malut.
Demikian, ekspor ikan Malut hanya mencapai negara phlipina dan Thailand masing masing 1 kali di 2020 dengan volume hanya sedikit. Disebutkan diatas bulan juni 2020 belum ada ekspor ikan Malut.
Namun itu, mengapa provinsi atau negara lain masih bisa tembus ekspor ikan ke Amerika, Cina, Jepang dan beberapa negara ASEAN di tengah pandemi Covid-19. Negara tersebut dkenal dengan ketat melatakan persyaratan impor ikan.
Seperti yang disebut KKP Oktober 2020, ekspor ikan dari Indonesia malah naik 7,13% periode Januari – September 2020, Amerika Serikat dengan porsi 40,82%. Sedangkan Vietnam lebih dipercaya Amerika dalam mengimpor ikan ke negaranya, tidak saja pada kondisi pandemi.
Amerika Serikat, disebut merupakan negara yang paling ketat dari beberapa persayaratan impor ikan bukan hanya pada musim pandemi. Pengetatan itu terkait keamanan pangan (food safety) maupun dari unsur keberlanjutan (sustainability) sebagaimana tertuang dalam Food Safety Modernization Act, Seafood Import Monitoring Program, serta rencana pemberlakuan ketentuan impor baru yaitu terkait Marine Mammal Protection Act (MMPA).
Ini merupakan tantangan eksportir produksi perikanan Malut, dimana dituntut kebijakan yang sejalan dengan negera negara yang mengetatkan produk perikanan dalam hal keamanan produk pangan dan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam, belum juga persyaratan lainnya, seperti pengetatan bea masuk dan lainnya.
Masalah Pengelolaan
Di satu sisi, diakui terobosan pemerintah pusat terkait upaya mengoptimal pengelolaan produksi perikanan terintegrasi dalam mendukung pemasaran hasil produk, namun sejauh mana diterjemahkan oleh unsur teknis daerah untuk kepentingan ini dan kepentingan kesejahteraan masyarakat nelayan.
Terkait ini, Kismanto Koroy dalam tulisanya Juni 2018 mengemukakan secara khusus beberapa masalah klasik yang menyebabkan pengelolaan perikanan sangat lambat terealisasi, Beberapa kebijakan yang dianggap tidak pro terhadap kepentingan masyarakat nelayan.
Dalam naskahnya dia menyampaikan, permasalahan yang ditemukan dalam pengelolaan perikanan secara terpadu di Maluku Utara, hendaknya tidak cukup pula pada penyaluran bantuan atau secara materil, akan tetapi fokus masalah juga harus memperhatikan sistem bisnis perikanan yang erat kaitannya dengan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
“Kebijakan yang dianggap tidak pro terhadap kepentingan rakyat, mulai dari penyaluran bantuan yang salah sasaran dan pilih kasih, pemberian bantuan yang tidak dapat dioperasikan, penarikan kembali bantuan, hingga penjualan kembali bantuan kepada pihak ketiga, serta lemahnya sistem kelembagaan ekonomi nelayan”, tulis Kismanto.
Disentil juga, monopoli bisnis dan penguasaan pasar secara sepihak sering juga dipertontonkan. Kasus bisnis perikanan yang juga sering ditemukan adalah melonjaknya harga ikan hingga tak menentu pada musim-musim tertentu, terbatasnya stok ikan di PPI, TPI, dan pasar-pasar lokal. Padahal, di sisi lain kebijakan pemerintah dengan kampanye-nya “Gemar Makan Ikan”.
Belakangan, Pemda Malut terpicu dari dua program prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yakni Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) dan Lumbung Ikan Nasional (LIN). Program prioritas ini, barulah pemerintah Malut melalui DKP berpikir akan menyediakan masterplan pusat produksi perikanan.
“DKP Malut mendorong Sofifi sebagai kawasan pengembangan industri perikanan, juga Morotai tetap sebagai pintu keluar produksi hasil perikanan dan ini karena Malut memiliki luas laut yang cukup besar, namun yang menjadi kendala kita adalah bagaimana membangun konektivitas antara kabupaten/kota di Provinsi ini,”, ucap Kepala Dinas Kelauatan Malut, Buyung Radjilun, siaran pers BKIPM, Juni 2019.
Meski itu, masalah masih berada pada bagaimana formula membangun konektifitas yang mengaitkan sentra produksi Sofifi dengan daerah prduksi ikan yang disebutkan Buyung adalah enam kabupaten/kota prioritas yakni Halmahera Barat, Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Utara, Halmahera Selatan, dan Kota Tidore Kepulauan.
Sebelumnya, Morotai telah lebih dulu memacu secara mandiri pengelolaan produksi perikanan, atas manufernya, maka atas pembiayaa pemerintah pusat SKPT Morotai akhirnya terealisasi dan diresmikan 10 Oktober 2019 lalu, saat ini tengah melakukan ekspor ikan.
Disusul dengan penyematan Malut dan Maluku oleh pemerintah pusat sebagai kawasan LIN dengan rencana anggaran 2021 senilai Rp 3,2 Triliun. Malut disebut akan mendapat jatah LIN Rp 1 trilun. Angaran ini menurut DKP Malut, akan dibangun tiga sentra yaitu, sentra produksi, sentra penyangga dan sentra kalautan dan perikanan.
Sentra produksi sendiri, akan dibangun di kawasan – kawasan desa nelayan di pulau kecil yang akan menjadi aktifitas nelayan dan Pembudi daya itu menjadi satu kawasan yang nanti akan terjadi upaya pengembangan prodak perikanan baik itu perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.
Sedangkan untuk sentra perikanan, meskipun sentra perikanan sudah dibangun oleh pemerintah pusat di Mortai namun lewat program LIN ini pihaknya mengusulkan ada tiga diantaranya skor SKPT Sofifi, Bacan dan Sula.
Kendati demikian, masalah masalah pengelolaan produksi perikanan sebelumnya, menurut Kismanto mengindikasikan pengelolaan perikanan sangat lambat, disebabkan masalah masalah klasik. Demikian juga rencana-rencana belakangan yang akan dilakukan oleh Pemda Malut, tak dapat diwujudkan secara optimal jika tak ada keseriusan menyelesaikan masalah tersebut.
Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana di 2012, dan tentu masih terjadi hingga saat ini adalah tiga isu utama dalam kaitannya dengan evaluasi kinerja sektor kelautan dan perikanan, yakni, kegagalan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan terus berulang, ekonomi perikanan dikuasai asing (investasi sektor perikanan, impor ikan, abk asing, ekspor ikan), dan pembangunan di pulau-pulau kecil masih berparadigma daratan (pembangunan jalan).
Reporter : Aby
Penulis : Rizkiansah Y.
Komentar