jazirah.id – Papua resmi menjadi wilayah NKRI, hingga saat ini diakui banyak yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terkait pembangunan di Papua. Namun, sejalan pembangunan itu, euforia sering muncul di Papua.
Betapa itu mewarnai kehidupan sosial politik Papua sampai saat ini, mengindikasikan keinginan mereka untuk diperlakukan adil bahkan lebihnya menjadi desakan untuk memisahkan diri dari NKRI.
“Sosial politik Papua hari ini masih diwarnai peristiwa kelam. Pembangunan belum tepat sasaran, kekerasan, intimidasi masih terjadi. Desakan untuk memisahkan diri keluar dari Indonesia semakin kuat, hingga menggelora di generasi muda dan mahasiswa”, demikian kata Mamberob Y. Rumakiek, anggota DPD asal Papua Barat saat ditemui jazirah.id di lobby Said Hotel Ternate, Kamis (19/11/2020).
Euforia yang menggelora itu disebut Mamberob mengingatkan bagaimana protes terhadap Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada saat itu. Ini menimbulkan kecurigaan yang cukup besar antara pemerintah pusat dan Papua, memunculkan pula stigma orang Papua itu identik dengan OPM.
Kesan pelaksanaan pembangunan katanya juga setengah hati, diwarnai pendekatan-pendekatan kekerasan, militeristik, penegakan hukum yang kadang-kadang juga diskriminatif.
“Banyak orang yang ditangkap dengan berbagai alasan hukum, Papua diperlakukan seperti warga negara kelas dua, belum diakui sepenuhnya bagian dari NKRI. Perlakuan seperti ini yang menggelora di generasi muda dan mahasiswa untuk turut bersuara memisahkan diri dari NKRI” kata Mamberob.
Sehari sebelumnya, Mamberob bersama kolega DPD RI Dr. Filep Wamafwa hadir di Kedaton Kesultana Tidore dalam rangka FGD bertemakan “Rekonstruksi Hubungan Sejarah dan Budaya Tidore-Papua Untuk Memperketat Ketahanan Nasional Dalam Bingkai NKRI”.
Terkait itu, kedatangan di Kedaton Kesultanan Tidore antara lain untuk bagaimana merajut kembali membangun Papua untuk menjadi bagian dari NKRI yang utuh dan merasa memiliki Indonesia, dibalik tilas pengaruh budaya Kesultanan Tidore ratusan tahun silam di tanah Papua.
Mengulas Papua dalam NKRI saat ini katanya, yang muncul selalu pada soal perbandingan tentang apa yang dilakukan Indonesia dan apa yang pernah dilakukan Belanda, karena Belanda pernah berpemerintahan di Papua. Demikian referensi orang Papua dalam membangun Papua hanya satu saja yakni Belanda.
“Orang Papua sering menyebut Belanda, karena Belanda pernah berpemerintahan di sana, sedangkan Tidore tidak banyak disebut, kecuali orang di wilayah pesisir seperti Raja Ampat, Fak fak, Kaimana sampai ke Biak”. Katanya.
Memasuki wilayah nusantara dan beralih menjadi Indonesia, konflik panjang antara Belanda dan Indonesia pun terjadi dalam memperebutkan Papua. Sedangkan hubungan sejarah budaya Tidore dan Papua, tak punya jejak kekerasan, pemberontakan ataupun peperangan yang ditinggalkan oleh Kesultanan Tidore.
Meski masih dalam penelusuran, namun wilayah pengaruh Kesultanan Tidore disebutkan Mamberob sampai ke Papua daratan. Untuk wilayah pesisir, tercatat termasuk wilayah kerajaan Tidore. Raja Ampat sebagai pengaruh terbesar, akhirnya meluas hingga ke Biak, Kepala Burung (Sorong) sampai ke Fak Fak dan Kaimana.
Beragam catatan dan sudut pandang terkait hubungan sejarah dan budaya Tidore – Papua, salah satu yang diulas sebagai fakta oleh senator asal Papua Barat ini adalah soal interaksi antara suku Biak dengan orang – orang Tidore dimana Raja Ampat sebagai pusat interaksi.
Awalnya, Raja Ampat dijadikan sebagai tempat persinggahan orang-orang Biak ketika mau melaut, dan mencapai Tidore dari setelah berinteraksi dengan orang orang dari kesultanan Tidore di Raja Ampat. Dalam perkembangannya, orang Biak hendak bepergian ke Tidore maka Raja Ampat dijadikan sebagai tempat transit, karena jarak lintas Biak ke Tidore cukup jauh.
Disini, berkembanglah generasi suku Biak di Raja Ampat yang dapat dipengaruhi dari dua hal, yakni dari pengaruh kerajaan Tidore ataupun dari persinggahan karena melaut. Ditemukan bahasa yang sama persis yang dipakai di Biak dan yang dipakai di Tidore saat ini.
Arkeolog Hari Suroto juga menyampaikan, “Suku Biak Numfor pada zaman dulu, mereka dengan perahu menjelajahi lautan dari Teluk Cenderawasih ke arah barat, dari satu pulau ke pulau lain, hingga kemudian menetap di Raja Ampat,” kata Hari Suroto.
Menurut sumber lain disebut Sultan Tidore Husain Syah, kesultanan Tidore yang berjaya pada masa pemerintahan Sultan Nuku, pernah mengangkat bala tentara laut asal Biak yang dipimpin oleh Gurabesi.
Karena ketangguhan dan kecakapannya dalam memimpin perang laut, akhirnya Gurabesi dan pengikutnya diberikan tempat di daerah Raja Ampat. Gurabesi pun diangkat menjadi raja di wilayah itu dan memiliki 4 orang anak yang masing-masing memimpin 4 pulau besar di gugusan kepulauan itu.
Kesultanan Tidore dikenal sebagai kerajaan islam, akan tetapi disebut Mamberob pengaruh Islam di Papua oleh kesultanan Tidore tidak dengan suatu pemaksaan. Terjalin suatu hubungan kekeluargaan dari kedua pihak, baik muslim maupun nonmuslim hingga saat ini.
“Saudara saudara kita dari biak yang berdomisili disini, ada juga sudah menjadi muslim, tanpa pemaksaan. Kita di pesisir punya hubungan dengan orang Tidore yang sangat dekat, jika natal kita rayakan natal, lebaran muslim, kita lakukan halal bi halal secara bersama”, katanya.
Cendekiawan Papua alumni Fispol UGM, Frans Maniagasi, dalam sebuah tulisan 2017 juga menginformasikan bahwa dalam satu keluarga di Papua ditemukan ada yang berbeda agama.
“Jangan heran bila di keluarga itu banyak ditemukan anggota yang berbeda agama, yakni Islam dan Kristen. Tapi mereka tetap bersaudara. Sedangkan wilayah penyebaran agama Islam itu bermula dari Raja Ampat ke Fakfak dan Kaimana (Papua Barat) “, tulis Frans Maniagasi.
Filep Wamafwa, pada FGD 18 November di Istana Sultan Tidore juga menguraikan peran Kesultanan Tidore dengan pedekatan kebudayaan itu bisa menjadi kekuatan dan jalan pemersatu.
“Tidore berhasil membangun kekeluargaan dengan Papua, karena pendekatan akulturasi dengan mempertautkan budaya, menciptakan rasa saling menghormati, menghargai tanpa rasa takut, utamanya juga menciptakan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,” ucap Filep.
Soal sumbangsi Kesultanan Tidore dalam pekabaran injil di tanah Papua juga di kilas Mamberob. Bahwa, Carl Williem Ottow dan Johan Gottlob Geissler, penginjil berkebangsaan Belanda dan Jerman ini mencapai Papua pada tahun 1855 M karena melalui Kesultanan Tidore.
Sebelum penginjilan ini, sudah terbangun hubungan Papua dengan kesultanan Tidore melalui Kepulauan Raja Ampat. Ajaran Kristen pun menyebar ke kawasan Teluk Cendrwasih, di Biak, dan Yapen (Serui), hingga ke wilayah ‘Kepala Burung’ (Sorong).
Demikian jelas bahwa, peradaban Islam dan Kristen adalah peradaban yang berjalan di Papua dan dan hingga kini tak ada masalah. Bahkan, hubungan sudah sampai berlangsung hubungan keluarga.
Jejak sejarah budaya ini, menjadi pra solusi dalam konteks hubungan Papua dan Negara. Papua saat ini bagi Mamberob tidak perlu dengan tekanan yang berlebihan, bersifat pemaksaan, perlakukan sejajar dengan daerah lain sebagaimana tugas negara yang sesungguhnya.
“Papua tidak usah dipaksa untuk menjadi bagian dari Indonesia, tapi lakukan saja apa yang menjadi tugas negara dan dia akan merasakan sendiri bagian dari Indonesia, tanpa diskriminasi, kecurigaan stigma dan sebagainya”, katanya.
Pernyataan Sultan Tidore Husain Syah dikutip Mamberob, “Soal Papua keluar dari NKRI itu bukan urusan saya, tetapi jika Papua keluar dari Kesultanan Tidore itu baru urusan saya”, Ini diartikan Mamberob, Sultan begitu menaruh perhatian dengan tetap menjaga wilayah kesultanan Tidore dan Papua ada didalamnya.
Jadi, FGD yang dilakukan di kesultanan Tidore itu kata Mamberob, bagaimana merajut ini kembali dalam membangun Papua dengan sejarah peradaban Papua yang sesungguhnya, yang mempunyai hubungan dengan kesultanan Tidore.
Papua kemudian sudah mendapat otonomi khusus, kata Mamberob harapan disini membawa perubahan yang signifikan, namun sampai sekarang belum menunjukan perubahan yang menjawab ketertinggalan Papua.
Sementara dari Kesultanan Tidore sebagai induk dari Papua yang masih eksis sampai saat ini, belum mendapat perhatian khusus oleh pemerintah. Pemerintah agar bisa memperhatikan Tidore sebagai daerah khusus, Tidore harus mendapat keadilan dan perlakuan yang sama dengan Yogyakarta dan Aceh, demikian kata senator asal Papua Barat ini.
Reporter : Rahmat Wijaya
Penulis : Rizkiansah Yakub.
Komentar