oleh

Buku Adalah Subversif?

Syaiful Bahri Ruray

A room without books

banner 1200x500

is like body without soul, (Cicero).

Di tengah hiruk pikuk pandemik yang belum juga selesai, tiba-tiba saja jagad maya kita dikagetkan dengan tarik menarik soal buku. Dan itu berawal ketika ada postingan Anis Rasyid Baswedan yang berkain sarung, sedang membaca How Democracies Die, karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dua orang ilmuan Harvard.

Lalu sebuah meme satiris pun muncul dengan menampilkan presiden sedang membaca komik. Juga komentar Ketua KPK , bahwa ia telah membaca buku tersebut sejak 2002 walau buku tersebut baru diterbitkan pada 2018. Maka ramailah pro dan kontra atas buku.

Buku, sesungguhnya soal terpenting dalam sebuah peradaban. Sejarah mengajarkan kita bahwa tidak ada peradaban dapat maju tanpa buku. Mengutip filsuf Cicero: if you have a garden and a library, you have everything you need –  jika engkau memiliki sebuah taman dan sebuah perpustakaan maka engkau telah memiliki segala yang kau butuhkan.

Sayangnya bagi kita Indonesia, persoalan budaya literasi masih jauh di bawah harapan.

Dalam riset UNESCO atas 72 negara dunia tentang budaya membaca, World’s Literate Nations menempatkan Indonesia adalah terendah kedua setelah Bostwana, Afrika.

Artinya buku, belum menjadi sebuah kebutuhan apalagi tradisi. Kita bisa bandingkan negara tetangga seperti Singapore yang menerbitkan bukunya sangat banyak diantara 10 negara ASEAN.

Bangsa Jepang, dalam kendaraan umum, seperti bis kota maupun kereta api, penumpangnya jarang sekali berisik, apalagi bergosip, karena rata-rata penumpang sibuk membaca buku masing-masing.

Pertama kali berkunjung ke Tokyo, saya disampaikan bahwa sangat mudah mengenali orang Indonesia di kendaraan umum, karena cukup melihat siapa yang suka berkerumunan dan sibuk berbicara dengan suara lantang, dapat dipastikan itulah orang Indonesia. Karena hanya kita yang tidak membaca dalam perjalanan.

Kita kadang lupa, bahwa negara ini dibangun oleh the founding fathers, karena (dan dengan) buku. Soekarno, Syahrir, Tan Malaka, Bung Hatta, Mr. Mohamad Yamin, adalah kutu buku sejak muda. Bahkan Hatta membawa sekian banyak peti berisi buku-buku bacaannya, ketika di penjara oleh Kolonial Belanda, dari Banda hingga Boven Digoel.

Soekarno telah melahap karya Lothrop Stoddard: The New World of Islam, dan Rising Tide of Color, yang terbit 1920 tersebut. Ia juga membaca dengan tekun karya Otto Bauer hingga Ernest Renan. Dari situlah konsep kebangsaan dirumuskan sejak 1926 (lihat: Di bawah Bendera Revolusi Jilid 1). 

Tan Malaka, bahkan di tengah pelariannya dari kejaran pemerintah kolonial Belanda, menulis sedemikian (berbagai) judul buku, untuk kepentingan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sebutlah saja Madilog, Aksi Massa dan Menuju Republik Indonesia. Ia bahkan dihormati ketika melarikan diri ke Filipina dan membantu gerakan kemerdekaan Filipina. Ia disebut sebagai Joze Rizal nya Indonesia.

Hatta dari tengah rawa-rawa Boven Digoel yang penuh sarang malaria sebagai penjara alam terkejam, malah menulis Alam Pikiran Yunani, sebuah karya yang luar biasa. Buku tersebut menjadi mahar pada saat Bung Hatta menikahi Ibu Rahmi Hatta. Mas kawinnya adalah sebuah buku dari penjara alam terkejam, Boven Digoel tersebut. Boven Digoel, adalah Gulag Archipelago, penjara kolonial Belanda untuk meredam hasrat merdeka bangsa Indonesia.

Mr. Mohamad Yamin menulis Tata Negara Majapahit. Ternyata penjara tidak dapat menghentikan pikiran, dan itu berawal dari buku.

Bahkan perang modern, selalu diawali dengan menghancurkan buku. Genosida bangsa Bosnia dalam Perang Balkan pada 1992, diawali dengan serbuan tembakan mortir Pasukan Serbia terhadap Perpustakaan Pusat Bosnia Herzegovina. Karena buku dapat menghapus memori, menghilangkan identitas sebuah bangsa, bahkan menghancurkan national pride –  kebanggaan nasional sebuah bangsa.

Fernando Baez, seorang penulis Venezuela, menulis Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (2013), melukisan librisida atau bibliosida, sebuah tindakan pembunuhan buku, dimana buku dihancurkan dan dilarang karena motif politik dan lainnya. Baez mencatat praktek penghancuran buku sejak zaman Sumeria kuno (4100-3300 SM) di Kuil Uruk, yang ditemukan oleh arkeolog, hingga yang termodern seperti Bosnia, yang menghancurkan dua juta lebih dokumen penting dan buku peninggalan Kekaisaran Turki-Ottoman dan Austro-Hongaria, juga pembakaran perpustakaan Baghdad, Irak pada saat penggulingan Saddam Husein antara 9-10 April 2003.

Lebih dari satu juta koleksi hilang, belum termasuk yang musnah terbakar di Museum Arkeologi, Arsip Nasional, dan kantor-kantor kementerian. Baez sendiri sedang berada di Baghdad ketika kota itu diserang.

Indonesia pun pernah mengalami hal yang sama, sejak masa kolonial ada pelarangan buku seperti Student Hidjo  karya Mas Marco Kartodikromo dan penangkapan sejumlah aktivis pergerakan karena tulisan-tulisan mereka.

Sejak kemerdekaan, buku karya Mochtar Lubis juga dilarang beredar, termasuk gempuran PKI untuk melarang buku karya Buya Hamka, seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang dicap plagiat. Memang hitam putihnya dunia sangat ditentukan.

Sebutlah ideologi komunisme diawali oleh Das Kapital (1867) karya Karl Marx. Perang Dunia II karena amuk fasisme Jerman, berawal dari karya Adolf Hitler yang ditulis dari dalam penjara, Mein Kampf (1925). Hitler memiliki perpustakaan pribadi di Berschtesgaden yang berisi 16,000 judul buku. 1.200 judul buku Hitler ini, dibawa tentara Amerika dan dikirim ke Library of Congress pada 1952.

Dampak buku ini, cukup tragis, karena menciptakan tragedi kemanusian, anti semitisme, yang menyebabkan terbantainya 6 juta penduduk Yahudi di seantero Eropa.

Pemboman Kota London oleh Luftwaffe Jerman pada 1940, sasarannya strategisnya adalah Holland House of Library di kota London, untuk menghancurkan perpustakaan terbesar Inggris tersebut. Perang Dunia II ini berakhir dengan dijatuhkannya bom atom dari pesawat Boeing B-29 Enola Gay pada 6 Agustus 1945, jam 8.15 pagi, di kota Nagasaki Jepang. Pusat buku Jepang di Nagasaki, termasuk naskah-naskah dari Cina sejak abad 19, tersapu bersih dari muka bumi.

Revolusi Amerika juga, yang melahirkan bangsa Amerika, tidak dapat terlepas dari buku, Uncle Tom’s Cabin karya Harriet Beecher Stowe (1852).

Dinasti Abbasiyah, dihancurkan Bangsa Mongol pada 1258, juga dengan membakar buku-buku, hingga membuat warna sungai Eufrat dan Tigris menjadi cokelat karena penuh dengan debu buku dalam penyerangan selama 12 hari tersebut.

Peradaban besar Dinasti Umayyad selama 700 tahun lebih di Andalusia, Spanyol, adalah jembatan peradaban yang mempertemukan Islam dan Eropa. Namun Andalusia itu runtuh berawal dari buku. Ketika karya-karya intelektual mulai dilarang dan dibakar, sebutlah kasus Maimonides (Moses ibnu Maimon), seorang teolog unitaris Yahudi terkemuka, karya-karyanya dilarang.

Tanpa jembatan peradaban ini, dunia modern tidak akan mengenal filsafat Yunani, negeri raksasa akal tersebut. Tak akan ada renaissans (aufklarung) yang membuka peradaban modern hingga sekarang yang kita kenal. Indonesia, diperebutkan oleh Portugis dan Spanyol, lalu Inggris dan Belanda, berawal dari buku. Dunia mengenal the battle of the books – pertempuran buku-buku, antara John Sheldon yang menulis Mare Clausum (Laut Tertutup), mewakili Inggris, melawan ilmuan Belanda Hugo de Groot (Grotius) yang menulis Mare Liberum (Laut Bebas), untuk memperebutkan kebebasan berlayar dan klaim pemilikan atas laut dalam mencari jalur-jalur laut menuju kepulauan rempah-rempah Maluku dan Nusantara.

Pertarungan buku-buku ini terjadi karena Colombus nyasar dalam dua kali ekspedisinya mencari Maluku. Ia malah menemukan Amerika sebagai benua baru pada 1492 tersebut. Sayangnya tidak ada cengkih dan pala yang ia temukan di Amerika. Hanya aroma tembakau yang dihisap penduduk Indian Amerika

Jika melihat ramainya kita mencibir buku, karena dibaca, kita bagaikan memposisikan buku sebagai subversif, kata teman saya dosen sebuah perguruan tinggi terkemuka di negeri ini. Tanpa buku, peradaban akan terhenti, bahkan runtuh tak berbekas.

Tak terbayangkan, sebuah bangsa hanya bersibuk ria dengan gadget dan medsos, namun ingkar akan pentingnya buku. Jika elit sebuah bangsa jauh dari buku, bahkan membencinya, maka kita secara sadar telah memasuki librisida atau bibliosida. Kita seakan terbalik fakta dengan elite bangsa para pendiri awal negara. Lihat saja keringnya debat-debat kandidat Pilkada menandai akan hal itu. Ternyata kita nekat mau menjadi elite tanpa buku. Sementara indikator keberhasilan pendidikan sebuah bangsa, justeru terlihat dari budaya literasi.

Markus Tullius Cicero berucap: a room without books is like a body without soul – sebuah ruangan tanpa buku bagaikan tubuh tanpa jiwa. Padahal agama pun berawal dari perintah tegas untuk iqra (membaca).

Nah, apakah kita masih layak disebut memiliki jiwa bahkan beragama ?? | 30 November 2020

  • Dr. Syaiful Bahri Ruray, putera Ternate, lulusan Universitas Hasanuddin dan Universiteit Utrecht, anggota DPR RI 2014-2019 daerah pemilihan Maluku Utara

Komentar