oleh

Membangun Keberlanjutan dengan Menciptakan Nilai Baru dalam Industri Ekstraktif

Oleh: Agustinus Toko Susetio (Vice President CSR, Human Capital & Finance PT.ANTAM Tbk. UBPN Maluku Utara)

Tantangan Keberlanjutan

Konsep Tanggung jawab sosial perusahaan/Corporate Social Responsibility (CSR) dari sejak munculnya gagasan tersebut hingga saat ini terus mengalami perkembangan dan selalu memunculkan dialog diantara para pakar dan praktisi yang berkecimpung di dalamnya.

Terlepas dari perbedaan dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan CSR, pada dasarnya CSR  selalu berarti bahwa perusahaan harus bertanggung jawab penuh atas dampak negatif dan positif yang timbul dari keputusan dan aktivitasnya.

Tujuannya adalah agar pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan oleh perusahaan saat ini tidak mengorbankan kesempatan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya untuk hidup secara layak dan berkualitas, atau dengan kata lain CSR ditujukan untuk pembangunan berkelanjutan (Jalal, Tersesat dalam Rimba Istilah: CSR, CSV, SROI, 2014). Artinya, apapun konsep CSR yang diimplementasikan oleh suatu perusahaan harus mampu menjawab tantangan keberlanjutan.

Salah satu perkembangan konsep dan implementasi CSR yang sampai saat ini menjadi topik hangat para pakar dan praktisi di bidang CSR adalah ketika Michael Porter and Mark Kramer memunculkan Creating Shared Value (CSV) yang mereka yakini sebagai suatu konsep baru dalam bisnis yang merupakan kelanjutan dari CSR.

Namun demikian, sebagian pakar tetap mempercayai bahwa CSV sebenarnya tidak lebih sebagai salah satu pendekatan atau CSR Strategik yang menghubungkan keuntungan kompetitif perusahaan dengan tanggung jawab sosial perusahaan dengan menekankan pentingnya penciptaan nilai baru dalam industry pertambangan.

Terlepas dari perdebatan tersebut, sebagai sebuah konsep CSR tentunya CSV harus dapat menjawab tantangan pembangunan keberlanjutan yang merupakan tujuan utama dari CSR. Sejauh apakah CSV mampu menjawab tantangan tersebut, dan adakah konsep lain yang dapat ditawarkan jika konsep CSV saja tidak cukup mampu menjawab tantangan tersebut?

Creating Shared Value

Sebagaimana dikemukakan oleh penggagasnya, konsep Creating shared value (CSV) adalah kebijakan dan praktik pengelolaan usaha untuk meningkatkan daya saing perusahaan sekaligus menjawab berbagai isu sosial ekonomi masyarakat di sekitar wilayah usahanya (Michael E.Porter & Mark R.Kramer, Creating Shared Value, Harvard Business Review January-February 2011).

Alih-alih menggunakan kekuatan finansial perusahaan untuk melaksanakan tanggungjawab sosial, CSV menjadikan isu sosial sebagai jendela untuk menggali inovasi dan mengembangkan bisnisnya sekaligus menjawab isu sosial tersebut.

Dengan Creating Shared Value, perusahaan diuntungkan tidak hanya melalui peningkatan kepercayaan dan dukungan seluruh stakeholder, namun lebih dari itu perusahaan mendapatkan manfaat ekonomi dari program yang mereka jalankan sehingga perusahaan semakin tumbuh dan berkembang.

Ide dasar dari Konsep Creating Shared Value sebenarnya telah dikemukakan sejak lama oleh Michael E.Porter & Mark R. Kramer dan terus mengalami perkembangan hingga menjadi konsep CSV. Dalam makalahnya yang berjudul The Competitive Advantage of Corporate Philantrophy, yang dimuat dalam Harvard Business Review, December 2002, Michael E.Porter & Mark R.Kramer telah menyampaikan ide Strategic Philantrophy.

ide Strategic Philantrophy, dimana perusahaan dapat menyatukan tujuan bisnis dan tujuan sosial dengan melakukan suatu program yang dapat memenuhi kebutuhan perusahaan dan kebutuhan sosial. Beberapa contoh perusahaan yang telah melaksanakan hal tersebut adalah Cisco, American Express, Exxon Mobile,  Dreams Work SKG, dan Apple Computer.

Selanjutnya pada tahun 2006 Michael E.Porter & Mark R.Kramer lebih gamblang membahas shared value dalam makalahnya strategy and society the link between competitive advantage and corporate social responsibility yang dimuat dalam Harvard Business Review, Desember 2006 dimana upaya untuk menciptakan shared value baik dalam praktik bisnis maupun dalam dimensi sosial tidak hanya penting untuk mendorong pembangunan sosial ekonomi, namun juga untuk mengubah cara berpikir perusahaan dan masyarakat tentang peran mereka masing-masing, dimana untuk menciptakan shared value tersebut bukanlah tanggung jawab perusahaan semata, namun juga menjadi tanggung jawab seluruh stakeholder.

Melaksanakan CSR dalam kerangka Creating Shared Value membutuhkan perubahan pola pikir menjalankan bisnis jika dibandingkan dengan menjalankan CSR hanya sebagai kontrol terhadap gangguan bagi perusahaan ataupun hanya sebagai kampanye untuk menaikkan citra perusahaan.

Dalam konsep CSV perusahaan dapat menciptakan nilai ekonomi dengan menciptakan nilai sosial. Sedikitnya terdapat tiga cara yang berbeda untuk melaksanakan hal tersebut yaitu reconceiving products and markets, redefining productivity in value chains, dan enabling local cluster development (Michael E.Porter & Mark R.Kramer, Creating Shared Value, Harvard Business Review January-February 2011). 

Pada strategi pertama  perusahaan fokus pada penciptaan dan distribusi produk yang memenuhi kebutuhan masyarakat yang sebelumnya tak terpenuhi. Strategi kedua menekankan pada tata cara yang meningkatkan produktivitas dan inklusivitas di sepanjang rantai nilai. 

Sementara, strategi ketiga menekankan pada penguatan hubungan antara kesuksesan perusahaan dengan berkembangnya bisnis di masyarakat setempat  (Jalal, Tersesat dalam Rimba Istilah: CSR, CSV, SROI, 2014). Ketiga hal tersebut adalah bagian yang saling terkait dari shared value, sehingga dengan meningkatkan nilai dari salah satu hal tersebut, akan menciptakan peluang peningkatan bagi yang lain.

Meskipun terdapat kelemahan-kelemahan CSV sebagai sebuah konsep CSR Strategik, praktik integrasi issue sosial ekonomi dan financial  perusahaan telah dilakukan oleh banyak perusahaan. Adanya Isu kelangkaan energi dan kerusakan lingkungan telah mengarahkan toyota untuk mengembangkan teknologi hybrid yang melahirkan Toyota Prius sebagai salah satu produk kendaraan unggulan mereka.

Contoh lainnya adalah Nestle yang berhasil mengubah kehidupan masyarakat India di sekitar pabrik yang mereka dirikan dengan menjadikan masyarakat sekitar sebagai penyuplai utama bahan baku mereka. Masyarakat dibina untuk mengembangkan usahanya sehingga kebutuhan bahan baku dapat terpenuhi sesuai standar kualitas yang mereka terapkan kepada para peternak binaannya.

Dengan strategi tersebut, Nestle tidak hanya berhasil mengembangkan bisnisnya, namun telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas hidup mereka. Kisah sukses ini telah menginspirasi banyak perusahaan untuk memanfaatkan isu sosial sebagai peluang dalam pengembangan bisnis.

Creating New Value

Pemikiran mengenai konsep CSV dalam menjawab tantangan keberlanjutan sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada perusahaan ekstraktif yang mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, menimbulkan sebuah gagasan untuk mengubah strategi menjalankan konsep CSR yang mampu menjawab tantangan tersebut.

Memodifikasi konsep CSV, perusahaan ekstraktif harus mampu mendorong keberlanjutan melalui upaya menciptakan sumber-sumber ekonomi baru yang tidak tergantung pada usaha pertambangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Konsep inilah yang dinamakan Creating New Value (CNV). Mengapa ini mejadi penting? Perusahaan  ekstraktif seperti pertambangan selalu mengandalkan sumberdaya alam yang suatu saat pasti akan habis cadangannya.

Jika kita tidak mampu menyiapkan sumber-sumber ekonomi baru yang menggantikan industry berbasis pertambangan, maka aka nada ancaman  terhadap keberlanjutan setelah sumberdaya mineral tersebut habis ditambang, atau tidak ekonomis lagi untuk ditambang.

Berdasarkan pemikiran di atas, CNV menitikberatkan pada upaya untuk menggali berbagai potensi, baik modal personal (personal capital), modal ekonomi (economic capital), modal sosial budaya (socio-cultural capital), maupun modal lingkungan (natural capital) yang dapat mendorong terciptanya sumber ekonomi baru untuk menjawab kebutuhan masyarakat baik saat ini maupun di masa yang akan datang diluar bisnis ekstraktif.

Di sisi lain, konsep CNV juga dapat digunakan sebagi jendela untuk  melahirkan inovasi yang mungkin tidak terkait langsung dengan bisnis inti perusahaan namun justru dapat menjadi jawaban untuk mewujudkan tujuan jangka panjang perusahaan.

Konsep CNV tidak lagi melihat tanggung jawab sosial sebagai beban perusahaan, namun lebih sebagai investasi sosial dan bahkan investasi bagi perusahaan itu sendiri dalam mengembangkan bisnisnya jika perusahaan mau memanfaatkan peluang-peluang dan potensi lainnya untk dijadikan bisnis baru bagi perusahaan.

Bagi perusahaan yang menganggap bahwa CSR adalah semata tanggung jawab, pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dimasukkan sebagai beban biaya, bukan bagian dari investasi perusahaan. Tanggung jawab sosial akan selalu dipisahkan dari bisnis inti perusahaan dan dianggap sebagai pekerjaan tambahan yang menjadi beban.

Artinya, jika dilaksanakan dengan baik dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan melalui kepercayaan stakeholder yang meningkat terhadap perusahaan dan produknya, dan jika tidak dilaksanakan dengan baik maka dapat berakibat sebaliknya bagi perusahaan. Kenyataannya, reputasi mendatangkan kepercayaan dan kepercayaan terhadap perusahaan dan produknya tersebut pada akhirnya mendatangkan keuntungan finansial bagi perusahaan.

Pelaksanaan CSR dengan konsep CNV ini lebih menegaskan bahwa investasi sosial dapat disinergikan dengan investasi perusahaan, untuk menciptakan dan mengembangkan bisnis baru yang mungkin sama sekali tidak terkait dengan bisnis inti perusahaan.

Sebuah perusahaan yang beroperasi di wilayah dengan potensi sumberdaya alam berupa perikanan tangkap yang belum dimanfaatkan secara optimal misalnya,  dapat menjadikan peluang tersebut untuk pengembangan usaha perikanan sebagai salah satu program CSR, sekaligus sebagai peluang pengembangan bisnis baru di bidang perikanan.

Dengan pengembangan usaha perikanan tangkap, perusahaan membuka peluang usaha baru bagi masyarakat dan sekaligus menjadi cikal bakal pengganti  industri pertambangan pada saat sumberdaya mineral di wilayah tersebut sudah habis cadangannya.

Dengan demikian, pertumbuhan di wilayah tersebut tidak akan berhenti meskipun sudah tidak ada lagi bisnis pertambangan. Perusahaan pun akan tetap hidup dengan bisnis yang baru tersebut, sehingga bisnis perusahaan tersebut berkelanjutan.

Potensi lokal lainnya misalnya potensi potensi wisata. Sebuah perusahaan tambang dapat merancang bisnis pariwisata sebagai bagian dari program pasca tambang, sehingga pada saat cadangan mineral habis, perusahan tersebut dapat terus melanjutkan bisnis pariwisata dan masyarakat tidak akan kehilangan pekerjaan dan peluang usaha karena adanya industri pariwisata tersebut.

Kondisi pascatambang yang khas, misalnya adanya lubang-lubang bekas tambang underground atau danau buatan yang terjadi karena adanya aktivitas penambangan open pit, dapat dijadikan obyek wisata pada saat pasca tambang.

Perusahaan dapat mengembangkan sarana dan prasarana pendukung lainnya atau mengembangkan obyek wisata lainnya seperti wanawisata, wisata budaya, wisata agro, dan obyek wisata lainnya sehingga lokasi pascatambang tersebut menjadi suatu kawasan wisata terpadu. 

Dengan mengambil peran sebagai pelaku usaha, perusahaan yang memiliki sistem manajemen, akses terhadap teknologi, permodalan dan pasar yang lebih baik akan mengembangkan potensi sumberdaya yang ada di wilayah tersebut lebih optimal dan peluang keberhasilannya juga akan lebih baik.

Sebagai contoh dalam pengembangan usaha perikanan, perusahaan dapat mengarahkan program CSR dengan memberikan bantuan alat tangkap, bantuan modal pengembangan pabrik es, pelatihan budidaya dan kegiatan pascatangkap,  bantuan pembangunan TPI, dan program-program lainnya yang sejalan dengan pengembangan usaha perikanan.

Akan lebih maksimal lagi jika program-program CSR  tersebut dihasilkan dari sebuah kesepakatan dengan forum multistakeholder dan disetujui oleh pemerintah, sehingga terjadi pembagian peran dan tanggung jawab untuk setiap stakeholder baik dari cakupan wilyahnya maupun  ruang lingkup kegiatan/programnya.

Dengan demikian tidak akan ada tumpang tindih program dan anggaran. Semua stakeholder menjalankan program sesuai dengan kesepakatan antar stakeholder. Perusahaan akan lebih fokus dalam menjalankan program CSR karena sudah ada kesepakatan lebih detil mengenai cakupan wilayah, ruang lingkup dan anggaran dari suatu program kegiatan CSR dengan stakeholder lainnya. Setiap usulan program yang tidak sejalan dengan program yang telah disepakati dengan sendirinya akan tereliminasi.

Sangat sedikit perusahaan ekstraktif khususnya yang bergerak di bidang pertambangan di Indonesia yang sudah berhasil menciptakan nilai baru dan bertransformasi dari perusahaan pertambangan menjadi perusahaan yang berbasis sumberdaya alam yang dapat diperbaharui.

Meskipun demikian, transformasi tersebut sudah mulai muncul di beberapa perusahaan besar dimana perusahaan tersebut mulai menyadari bahwa bisnis masa depan adalah bisnis yang tidak hanya berbasis pada sumberdaya mineral/tambang namun harus diperluas dan mengarah pada bisnis yang berbasis pada sumberdaya alam.

Salah satu perusahaan BUMN terbesar di Indonesia misalnya, telah mengubah visinya dari semula “Menjadi korporasi global berbasis pertambangan dengan pertumbuhan sehat dan standar kelas dunia” menjadi “Menjadi korporasi global terkemuka melalui diversifikasi dan integrasi usaha berbasis Sumber Daya Alam”.

Sangat jelas dari visi tersebut bahwa perusahaan menyadari pentingnya bertransformasi dari perusahaan pertambangan menjadi perusahaan yang berbasis sumberdaya alam. Salah satu implementasinya adalah dalam perencanaan pascatambang perusahaan tersebut sudah mengarah pada pengembangan potensi lain yang telah mulai digarap antara lain potensi wisata tambang, wisata pertanian, dan wisata pendidikan dengan mengembangkan konsep wisata terpadu yang menggabungkan potensi-potensi tersebut.

Jika digarap secara serius bukan tidak mungkin perusahaan pertambangan tersebut bertransformasi menjadi perusahaan yang menjalankan bisnis wisata, pendidikan pelatihan, dan pertanian. Tentunya, jika transformasi tersebut terwujud sangat sesuai dengan visi dari perusahaan tersebut untuk Menjadi korporasi global terkemuka melalui diversifikasi dan integrasi usaha berbasis Sumber Daya Alam.

Program CSR juga dapat dimanfaatkan untuk menciptakan peluang-peluang usaha baru bagi masyarakat yang selanjutnya dapat dijadikan mitra binaannya. Perusahaan harus meningkatkan pengelolaan CSR nya melalui peningkatan kapasitas sumberdaya manusia yang menjadi pengelola program dan pengembangan sistem pengelolaan dan pola pembinaan UMKM, sehingga akan lebih banyak tercipta pelaku usaha handal yang mampu memanfaatkan setiap potensi sumberdaya secara optimal.

Pemerintah harus mendorong perusahaan pertambangan menjadi agen perubahan di setiap wilayah usahanya, untuk menciptakan nilai baru bagi masyarakat dan bagi perusahaan itu sendiri melalui pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang berbasis industri kreatif, dengan memanfaatkan setiap potensi dan peluang yang ada di wilayahnya masing-masing.

Implementasi Creating Shared Value dan Creating New Value

Salah satu contoh program CSR yang menggabungkan konsep Creating shared value dan creating new value adalah program pengembangan industry kelapa terpadu yang dilakukan oleh PT. ANTAM Tbk UBP Nikel Maluku Utara.

Melihat potensi komoditas tanaman kelapa di Maluku Utara yang belum teroptimalkan, perusahaan ini mencoba menerapkan konsep Creating Shared Value dan Konsep Creating New Value dalam rangka menciptakan keberlanjutan di sekitar wilayah operasi mereka.

Maluku Utara begitu kaya akan sumberdaya alam, mulai dari sumberdaya mineral, perikanan laut, kehutanan, perkebunan dan pertanian, potensi wisata, dan beragam sumberdaya alam lainnya yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya sebagai modal dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan.

Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki oleh Provinsi Maluku Utara adalah perkebunan kelapa yang keberadaannya cukup melimpah, dan tanaman ini tumbuh di sepanjang pesisir puau-pulau di Maluku Utara.

Kelapa merupakan salah satu tanaman perkebunan yang sebarannya cukup luas di Provinsi Maluku Utara dengan total luas lahan sebesar 217,141 Ha yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota, dengan Kabupaten terluas tanaman kelapanya adalah Halmahera Utara seluas 48,958 Ha diikuti Halmahera barat, Kelupauan Sula, Halmahera Selatan dan Taliabu memiliki masing-masing sekitar 30 an Ha.

Sementara Halteng, Haltim, Pulau Morotai berkisar antara 10,000 ha sampai 13,000 Ha. Tidore Kepulauan seluas 8,541 Ha, dan Ternate sekitar 1,794 Ha. Dengan lahan tanaman perkebunan kelapa seluas itu, Provinsi Maluku Utara mampu memproduksi kelapa dalam bentuk kopra sebanyak 232,277 ton per tahun pada tahun 2017 (Maluku Utara Dalam Angka, 2017).

Halmahera Timur yang merupakan Kabupaten dimana ANTAM mengoperasikan pertambangan nikel, memiliki lahan tanaman kelapa seluas 11,696 Ha dengan produksi per tahun pada Tahun 2017 mencapai 6,783 ton kopra. Sayangnya dengan potensi sebesar itu, sampai saat ini belum ada industri pengolahan baik pengolahan kopra maupun produk lainnya.

Selain itu, petani kelapa sering mengeluhkan rendahnya harga kopra yang mereka terima sehingga hasil yang mereka peroleh tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka. Akibatnya adalah tidak ada dorongan bagi mereka untuk memanen kelapa secara optimal dan mempertahankan tanaman yang mereka miliki dengan melakukan penanaman kembali tanaman kelapa untuk menggantikan tanaman ainnya yang umurnya sudah sangat tua dan tidak produktif.

Jika tidak ada upaya untuk memecahkan masalah ini maka keberadaan komoditas kelapa tidak akan berkelanjutan dan petani tidak dapat meningkatkan pendapatannya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Generasi muda pun tidak akan tertarik untuk menjadi petani karena mereka melihat bahwa pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan pertanian sangat minim dan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup.

Memperhatikan hal tersebut, PT. ANTAM Unit Bisnis Pertambangan Nikel Maluku utara melalui program CSR berupaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan komoditas kelapa dengan mengembangkan produk berbahan sabut kelapa, yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain untuk media tanam dalam kegiatan reklamasi lahan tambang, pembuatan kerajinan tangan, dan lain-lain. 

Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa sehingga mereka dapat meningkat kesejahteraanya dan terdorong untuk terus meningkatkan produkstivitas dan mempertahankan dan memelihara kebun kelapa yang mereka miliki.

Program ini diawali dengan melakukan kegiatan pelatihan menganyam sabut kelapa dan membuat coconet, dimana peserta pelatihan ini sebagian besar adalah kaum perempuan/ibu rumah tangga. Pelatihan dilaksanakan pada Tahun 2019 dimana target pelatihan tesebut adalah terbentuknya kelompok perajin coconet yang dapat memproduksi coconet dengan target produksi sebesar 4 set coconet ukruan 2 x 25 m per hari.

Saat ini dengan keterampilan yang dimiliki kelompok perajin yang tergabung dalam lembaga Varamao sudah bisa menghasilkan 5 set coconet berukuran 2 x 25 m yang diamnfaatkan untuk reklamasi lahan bekas tambang oleh ANTAM. Sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan coconet dalam rekalmasi lahan, antam membelinya dari Pulau Jawa dengan harga yang pebih tinggi. Setelah adanya produk lokal, antam mendapatkan coconet dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang sama dengan kualitas coconet dari Jawa.

Untuk memenuhi kebutuhan sabut kelapa, kelompok Varamao yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga, memebelinya dari petani kelapa seharga Rp.150 per butir kelapa. Selain itu, petanni kelapa juga mendapatkan nilai tambah dari tempurung kelapa yang dibeli oleh para perajin/pembuat arang kelapa seharga Rp.200 per butir kelapa. Jadi tambahan nilai manfaat dari pemanfaatan sabut kelapa dan tempurung kelapa adalah sebesar Rp.350,- per butir.

Pada saat harga murah, harga 1 kilo gram kopra hanya Rp.3000,-. Untuk membuat 1 kilogram kopra petani membutuhkan 8-10 butir kelapa. Artinya jika digunakan angka 8 butir kelapa untk 1 kilogram kopra, harga kelapa yang diterima petani per butir hanya Rp. 375,-. Dengan memanfaatkan sabut dan tempurungnya, petani mendapatkan tambahan Rp.350,- per butir kelapa, artinya pendapatan petani meningkat hamper 2 kali lipat pada saat harga kopra mengalami penurunan sampai Rp.3000,- per kg.

Kelompok perajin yang tergabung dalam lembaga varamao terdiri dari sekitar 12 orang yang sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga. Dengan produkivitas yang mereka miliki saat ini, setiap hari kelompok tersebut mendapatkan penghasilan sekitar Rp.800,000,- s.d. Rp.1,200,000 per hari.

Bahkan, beberapa anggota kelompok juga membuat sendiri coconet di rumahnya sehingga pendapatan yang dihasilkan bisa mencapai tiga setengah juta rupiah per bulan. Beberapa anggota kelompok adalah pasangan suami istri, sehingga pendapatan mereka per bulan sekitar 4 – 6 juta rupiah per bulan. Dengan pendapatan sebesar itu, beberapa diantara mereka akhirnya mampu menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi. Sebagian biaya kuliah juga mendapatkan bantuan beasiswa dari ANTAM.

Salah satu kendala dalam pengembangan usaha ini adalah keterbatasan pasar, dimana saat ini satu-satunya pembeli produk coconet adalah ANTAM yang menggunakan produk tersebut untuk reklamasi lahan tambang, terutama pada area-area bekas tambang yang terjal dan berbatu. Coconet digunakan sebagai media tanam pada area yang miring dan berbatu.

Aplikasinya dilakukan dengan menggunakan hydroseeding, dimana benih tanaman yang akan ditanam sudah dicampur dengan bahan organik dan media perekat untuk disemprotkan pada coconet yang dibentangkan pada area reklamasi.

Kebutuhan coconet dari ANTAM cukup besar, dimana setiap tahun perusahaan ini membutuhkan sekitar 2000-3000 set coconet ukuran 2×25 m persegi. Saat ini lembaga varamao sedang mengembangkan juga produk kerajinan tangan dari sabut kelapa seperti pot tanaman dan produk-produk lainnya. Harapannya dengan produk kerajinan ini akan semakin berkembang pemasaran produk dan semakin banyak sabut kelapa yang bisa diolah untuk menciptakan nilai tambah.

Kendala lainnya adalah masih rendahnya minat petani kelapa untuk menjual sabut kelapa sesuai permintaan perajin coconet. Hal ini karena saat ini sebagian besar sabut kelapa dimanfaatkan untuk mengolah kelapa mereka menjadi kopra.

Memang saat ini metode pembuatan kopra yang dilakukan oleh para petani adalah mengeringkan kelapa dengan menggunakan metode pengasapan. Selain sabut dan tempurung yang terpakai dan tidak memiliki nilai ekonomi, hasil dari pembuatan kopra dengan metode ini berupa kopra hitam yang kualitasnya lebih rendah dan harga lebih murah. Oleh Karena itu, lembaga Varamau yang dibina oleh antam kedepan akan membuat program pengolahan kopra putih.

Berbeda dengan kopra hitam, metode pembuatan kopra putih ini adalah dengan cara dijemur atau dioven. Jika menggunakan metode penjemuran diperlukan semacam greenhouse yang digunakan untuk mengeringkan kelapa menjadi kopra. Hasil dari pembuatan kopra dengan metode ini adalah warna kopra relatif putih dan bersih.

Kopra jenis ini memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan kopra hitam dan harga yang juga lebih tinggi. Pada saat ini, dengan harga kopra hitam sebesar Rp.9000,-, per kg, harga kopra putih bisa mencapai Rp.15,000,- per kg, sebagaiman disampaikan oleh Refly Ngantung, kepala Dinas Perkebunan Sulawesi Utara di Tribun Manado tangal 20 Oktober 2020.

Kopra putih dengan kadar air tertentu memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dan daya simpan lebih lama pada gudang standar sehingga petani memiliki lebih banyak peluang untuk mendapatkan harga lebih baik. Jadi selain nilai tambah dari sabut dan tempurung kelapa, dengan memproduksi kopra putih , petani kelapa akan mendapatkan nilai tambah dari harga kopranya yang lebih tinggi. 

Hampir setiap bagian dari tanaman kelapa memiliki nilai ekonomis yang dapat dioptimalkan dengan membuat produk turunan atau olahan, sehingga mampu menghasilkan nilai ekonomi yang lebih tinggi bagi para petani kelapa serta menciptakan peluang usaha dan lapangan kerja, dan berbagai multiplier impact lainnya.

Menciptakan nilai tambah adalah salah satu kunci dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam sehingga lebih berkeadilan dan berkelanjutan untuk membangun peradaban, kesejahteraan dan masa depan yang lebih baik. Untuk menuju ke sana diperlukan komitmen dari seluruh stakeholder, serta sinergi dan kolaborasi yan baik dari semua pihak.

Upaya-upaya yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat, membuka akses pasar, dan secara terus menerus meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi, meningkatkan kelembagaan, dan melakukan inovasi dan inisiatif yang mampu mengatasi berbagai kendala yang dihadapi oleh masyarakat. Lebih penting dari semua itu adalah, setiap stakeholder harus menyadari untuk bersinergi dan berkolaborasi dalam menciptakan kesejahteraan dan kemandirian.

Sebagai sebuah gagasan, tentunya Creating New Value perlu diuji melalui serangkaian proses dan pembuktian serta pengembangan metode-metode  dalam implementasinya yang sesuai dengan potensi dan tantangan di setiap wilayah, serta karakteristik sosial budaya masyarakat.

Selain itu diperlukan penyatuan visi dan sinkronisasi program baik di dalam lingkup perusahaan maupun antara perusahaan dengan pemangku kepentingan lainnya. Seluruh komponen di dalam perusahaan harus menyadari bahwa keberlanjutan usaha dapat diwujudkan jika perusahaan mampu memanfaatkan setiap peluang yang ada dengan baik termasuk potensi pengembangan bisnis baru yang tercipta dari kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat yang sekaligus juga menjadi tanggung jawabnya.

Selanjutnya perusahaan juga harus mampu meyakinkan stakeholder lainnya untuk berkolaborasi dan bersinergi sehingga setiap potensi sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menciptakan sumber-sumber ekonomi alternatif yang dapat menjadi harapan baru bagi keberlanjutan pembangunan.   

Perlu ditekankan bahwa Creating New Value bukanlah melulu mengenai peluang usaha atau sumber ekonomi baru. Hal ini mengingat keberlanjutan bukanlah semata mengenai aspek ekonomi dan finansial.

Sebagaimana aspek-aspek yang mutlak bagi terwujudnya keberlanjutan, maka Creating New Value juga harus mencakup aspek pengembangan kapasitas sumberdaya manusia (baik sumberdaya manusia di masyarakat maupun sumberdaya manusia internal perusahaan), penyediaan infrastruktur, penguatan kelembagaan (kelembagaan masyarakat maupun organisasi perusahaan), pelestarian lingkungan untuk menjamin daya dukung lingkungan, serta political dan good will yang kuat (baik dari pemerintah maupun dari manajemen dan shareholder perusahaan) untuk mendorong keberlanjutan melalui konsep Creating New Value.

Aspek yang terakhir ini sangat vital mengingat perusahaan, pemda, masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya umumnya terjebak pada “kondisi nyaman” yang diciptakan oleh industri ekstraktif. Secara finansial usaha ekstraktif nilainya sangat besar dibandingkan potensi lain. Hal ini membuat para pelaku usaha di bidang pertambangan malas untuk melirik potensi lain yang mereka nilai relatif kecil.

Demikian pula para pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah dan masyarakat, mereka sering terjebak pada “nikmatnya” usaha pertambangan karena kemampuan usaha pertambangan dalam menghasilkan pendapatan daerah dan memutar roda ekonomi yang membuat mereka malas untuk berpikir dan berkreasi menggali potensi lain yang mereka miliki. Tanpa adanya political will dari pengambil kebijakan dan good will dari manajemen dan shareholder maka akan sulit untuk menciptakan nilai baru bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan.

Tumbuhnya sumber ekonomi baru yang tidak tergantung pada usaha pertambangan hanyalah salah satu indikator terciptanya nilai baru untuk pembangunan berkelanjutan. Jauh lebih penting dari itu, Creating New Value adalah bagaimana menciptakan kualitas sumberdaya manusia yang memiliki sikap dan jiwa mandiri, kesadaran dan kemauan, dan kompetensi yang memadai sehingga dapat memanfaatkan setiap peluang yang ada secara optimal untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Creating New Value adalah juga bagaimana menciptakan kelembagaan di masyarakat dan budaya organisasi di perusahaan yang mendukung penerapan Good Corporate Governance dan tumbuhnya kreativitas yang mampu melahirkan inovasi. Dan terakhir namun tidak kalah penting, Creating New Value adalah juga bagaimana perusahaan dan seluruh stakeholder mampu mempertahankan dan meningkatkan daya dukung lingkungan melalui inovasi dalam pengelolaan lingkungan baik yang terkait dengan operasional perusahaan maupun pengelolaan lingkungan masyarakat.

Berbagai kendala yang dihadapi oleh perusahaan ekstraktif di Indonesia yang umumnya beroperasi di wilayah-wilayah remote, dengan kapasitas sumberdaya manusia yang masih rendah, infrastruktur yang masih minim, dan ditambah lagi masih besarnya kecenderungan para pemangku kepentingan untuk lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya saja, justru menjadi tantangan dan sekaligus peluang yang membuat Creating New Value sebagai sebuah konsep CSR Strategik semakin menarik untuk diimplementasikan dan diuji kemampuannya dalam mewujudkan keberlanjutan yang menjadi tujuan utama CSR.

Referensi :

Andrew Crane, Guido Palazzo, Laura J. Spence, Dirk Matten, Contesting the Value of “Creating Shared Value” dalam California Management Review Vol. 56, No. 2 Winter 2014

Jalal, Tersesat dalam Rimba Istilah: CSR, CSV, SROI, 2014

Kementerian BUMN, Permen BUMN No: 09/MBU/07/2015 Tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan Badan Usaha Milik Negara, 2015

Michael E.Porter & Mark R.Kramer, Creating Shared Value, Harvard Business Review January-February 2011

Michael E.Porter & Mark R.Kramer, The Competitive Advantage of Corporate Philantrophy, Harvard Business Review, December 2002

Tom Albanese, Creating shared value through mining in Africa, The Mining on Top: Africa, London Summit, Juni 2014

Kata Kunci :

Pembangunan Berkelanjutan, Corporate Social Responsibility, Creating Shared Value, Creating New Value. 

Komentar