oleh

GALASI, Sebuah Culture Ecology

Oleh: Arifin Muhammad Ade (Alumni Pascasarjana Institut Teknologi Yogyakarta & Penulis Buku Narasi Ekologi)

Jazirah Indonesia – Perubahan iklim global terus berlangsung, perubahan tersebut sangat mempengaruhi berbagai kerusakan lingkungan baik di tataran global, kawasan, nasional maupun lokal. Hal itu berpengaruh pula terhadap keberadaan manusia secara keseluruhan. Mengingat perubahan lingkungan yang terjadi begitu cepat, sudah sepatutnya dilakukan langkah penyelamatan bersama dari semua pihak.

banner 1200x500

Penyelamatan tersebut tentunya harus melibatkan berbagai pelaku dengan multi pendekatan. Salah satu pendekatan tersebut adalah melalui kajian ekologi budaya (culture ecology). Untuk pertama kali, kajian mengenai culture ecology dikenalkan oleh Julian Steward pada tahun 1930. Inti dari ekologi budaya adalah memahami lingkungan dalam perspektif budaya ataupun sebaliknya, memahami budaya dalam perspektif lingkungan.

Kerusakan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini, diberbagai belahan dunia adalah akibat dari perubahan pola pikir manusia yang lebih melihat alam sebagai komoditas untuk di eksploitasi. Dan, dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih dan modern, dalam waktu singkat kondisi lingkungan/alam dapat dirubah dalam sekejap. Sehingga dapat dibenarkan bahwa, kemajuan teknologi yang semakin pesat di abad ke-21 ini, semakin memperburuk kondisi alam (bumi) yang kita huni ini.

Dengan pesatnya perkembangan teknologi, banyak para pakar berpendapat bahwa, masalah-masalah lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini dapat diselesaikan dengan penggunaan teknologi mutakhir. Namun nyatanya, hadirnya teknologi justru lebih banyak memberikan dampak negatif daripada dampak positif bagi lingkungan.

Menyudahi persoalan lingkungan yang semakin kritis memang terasa sulit, di kala masyarakat modern sudah tergantung dengan teknologi yang semakin memudahkan manusia untuk beraktivitas. Kita juga tidak bisa kembali kemasa lalu untuk mengembalikan kondisi lingkungan/alam seperti sedia kala. Tetapi, paling tidak untuk membangun keharmonisan dengan alam dapat dilakukan dengan menggali kembali kearifan-kearifan lokal yang tenggelam dalam arus globalisasi.

Kearifan lokal (local wisdom) yang tradisional memang terdengar kuno dan ketinggalan zaman di era milenium ini. Akan tetapi, melestarikan lingkungan berbasis kearifan lokal justru semakin terasa efeknya. Karena, kearifan lokal mencakup semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupannya di dalam komunitas ekologis (Sonny Keraf, 2002).

Mengacu pada pemikiran Sonny Keraf diatas maka, tradisi galasi yang berada di Kota Tidore Kepulauan merupakan salah satu pemahaman, wawasan dan kebiasaan yang melekat pada masyarakat tradisional Tidore yang dalam implementasinya lebih memperhatikan aspek lingkungan (ekologis).

Sepintas, tradisi galasi adalah salah satu kearifan lokal yang diterapkan dalam aktifitas bercocok tanam, atau dalam penerapannya lebih ke mengelola lahan pertanian. Galasi merupakan bentuk kerjasama pada aktifitas/pekerjaan dibidang pertanian. Pekerjaan yang dilakukan seperti membuka lahan tanam yang baru atau membersihkan kebun dengan diiringi nyanyian-nyanyian yang disebut dengan romoro. Dengan sistem bekerja yang menggunakan waktu (jam pasir), galasi dalam penerapannya bersifat timbal balik karena yang pernah dibantu, harus membantu kembali bila saatnya diperlukan.

Ada dua poin penting mengapa galasi sebagai salah satu kearifan lokal disebut sebagai sebuah culture ecology, yaitu:

Pertama, galasi telah menerapkan sistem pertanian berkelanjutan karena berhasil mengintegrasikan secara komprehensif antara aspek lingkungan hingga sosial ekonomi masyarakat pertanian. Suatu mekanisme bertani yang dapat memenuhi kriteria keuntungan ekonomi, keuntungan sosial bagi keluarga tani dan masyarakat, dan konservasi lingkungan secara berkelanjutan.

Filosofi galasi juga berisi suatu ajakan moral untuk berbuat kebajikan pada lingkungan sumber daya alam dengan mempertimbangkan tiga alasan yaitu (1). Kesadaran lingkungan. Sistem budi daya pertanian tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis yang ada. (2). Bernilai Ekonomis. Sistem pertanian harus mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain untuk jangka pendek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar sistem ekologi. (3). Berwatak Sosial dan Kemasyarakatan. Sistem pertanian harus selaras dengan norma-norma sosial dan budaya yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.

Kedua, saling membantu/timbal balik. Dengan saling membantu satu sama lain (timbal balik) dalam tradisi galasi untuk bercocok tanam sebenarnya tersirat pesan bahwa, timbal balik yang dimaksud bukan hanya antara sesama manusia tetapi juga antara alam dan manusia. Artinya, hubungan timbal balik antara sesama petani dan antara petani dan alam (lingkungan) akan memberikan keharmonisan dalam melangsungkan kegiatan pertaniannya.

Prof. Djulrizka Iskandar, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran Bandung mengatakan terjadinya tingkah laku perlindungan lingkungan dapat pula dipengaruhi oleh dukungan sosial. Adanya dukungan sosial yang merupakan suatu dinamika dalam masyarakat yang memiliki hubungan kekentalan yang kuat, maka dukungan sosial akan memperkuat tingkah laku pemeliharaan atau melindungi lingkungan (Djulrizka Iskandar, 2012).

Tradisi galasi sebenarnya memerlukan dukungan sosial, kesepakatan bersama atas dasar pemikiran antara beberapa individu untuk mencapai suatu tujuan yang sama. Galasi mengisyaratkan bagaimana membina suatu hubungan tingkah laku (sosial) yang berdampak baik pada pemeliharaan lingkungan.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa tradisi galasi merupakan salah satu kearifan lokal atau kearifan ekologis yang diterapkan dalam sistem pertanian yang telah ada sejak lama. Melestarikan kearifan ekologis yang telah menjadi keyakinan dan kebiasaan dalam suatu masyarakat adalah suatu keharusan, untuk membendung lajunya arus globalisasi dan industrialisasi yang juga berdampak pula pada degradasi lingkungan.

Dengan kata lain, ilmu pengetahuan modern tidak bisa merumuskan hubungan yang harmonis antara alam dengan manusia kini. Ilmu pengetahuan modern telah terbukti meletakkan pandangan eksploitatif dengan mengabaikan kepentingan alam. Demi menjaga keberlangsungan lingkungan, bukan saatnya lagi mempertentangkan pandangan ilmu ilmiah (modern) dengan sistem pengetahuan lokal. Penghormatan dan pemanfaatan kearifan ekologis yang terkandung dalam sistem pengetahuan lokal menjadi kebutuhan yang mutlak bagi semua pihak.

Akhirnya, Hugh Downs mengatakan bahwa “orang yang bahagia bukan orang yang hidup pada lingkungan tertentu, melainkan orang dengan sikap-sikap tertentu”. Untuk itu, marilah kita merubah sikap dan tingkah laku untuk selalu selaras dan harmoni dengan alam.

Komentar