oleh

Kebijakan Politik “Sapu Bersih” Ala Sang Puan

Oleh : Risman Tidore
(Pemerhati Kebijakan Publik & Civil Society)

Ada sebuah preposisi klasik yang mengatakan bahwa, Kekuasaan itu ibarat gula. Dimana ada gula pasti banyak ‘semut’ (penikmat kue kuasa) yang berebutan mencicipi manisnya gula kekuasaan itu. Karena itu, tidak heran jika kita menyaksikan sekian banyak individu yang coba menaklukan hati penguasa pasca digulirnya kontestasi politik .

Tindakan semacam ini tentunya dilatar belakangi oleh anggapan bahwa dalam dan melalui kekuasaan politik, berbagai kepentingan (interest) politik baik personal maupun kelompok relatif terakomodasi dengan baik.

Optimisme untuk mendapat porsi kue kekuasaan semakin menjanjikan, ada kalimat ekstrim misalnya “ketika kita ‘berjuang habis-habisan’ saat kontestasi berlangsung. Tanpa sungkan kita akan ‘menagih’ apa yang menjadi buah dari keringat politik di musim pilkada itu”.

Kabupaten kepulauan sula pada konteks hari ini, dalam setiap etape tentang sirkulasi kepemimpinan daerah seringkali mendapat sorotan yang tajam. Daerah dengan eforia serta dinamika politik yang kompleks ini terlihat makin “seksi” dimata praktisi, akademisi dan civil society.

Dimana buah “kepemimpinan” hasil dari suksesi demokrasi 5 tahunan kini masih dibayangi politik balas jasa dan balas dendam yang memperdagangkan kewenangan birokrasi.

Kondisi yang tak lazim ini sepertinya menjadi keniscayaan “takdir ” yang terus menerus menyertainya baik sebelum maupun sesudah kontestasi pilkada.

Tentunya sorotan publik kini mengarah pada situasi birokrasi pemerintah daerah yang diawali dengan kebijakan “Bongkar Pasang” kabinet baru era kepemimpinan Hj. Fifian Adiningsih Mus & Hi. Saleh Marasabessy (FAM-SAH) pada masa periode yang relatif singkat.

Peristiwa tersebut tentunya relevan dengan pendapat habermas yang mengatakan bahwa setiap kebijakan publik selalu diselubungi oleh muatan kepentingan (politik) dan cenderung mengabaikan etika publik. Sedangkan dalam term politik (arsitoteles), meniscayakan setiap pemimpin berupaya menciptakan setidaknya kehidupan politik yang baik/populis.

Kongkretnya, ketika realitas politik menyelubungi konspirasi oportunis dengan kebijakan maka, akan berakibat pada terjadinya fragmentasi – konflik kepentingan politik kedalam wilayah birokrasi yang syarat dengan norma/aturan yang sistematis.

Usai pelantikan kepala daerah, biasanya akan ada kekhawatiran di kalangan Pegawai Negeri Sipil khususnya para SKPD, karena mereka rawan disingkirkan oleh kepala daerah yang baru. Rotasi, mutasi, dan pergantian jabatan publik selama ini, memang penuh dengan drama intervensi politik dari sang pemenang kontestasi.

Bisa dibayangkan bahwa para pemimpin politik terpilih akan melakukan tindakan-tindakan yang dikhawatirkan yang berujung pada dua program.

Satu, program balas jasa, dan satu lagi balas dendam. Pelantikan kepala daerah seakan berbanding lurus dengan ‘pergantian pejabat birokrasi’. Kepala daerah yang baru seolah mempunyai hak veto untuk mengutak-atik personel birokrasi sesuai dengan selera politiknya.

Kondisi ini justru memperkuat dugaan bahwa, ada kemungkinan pemahaman kekuasaan politik tidak terpusat pada satu titik atau satu sumber otoritas, tetapi berasal dari perbedaan dalam relasi kekuasaan guna mempertegas nilai tawar dalam kekuasaan .

Tindakan Politik Sapu Bersih.

Politik Cuci gudang atau sapu bersih adalah kata yang sering didengar dalam pengertian yang umum. Istilah ini sangat spesifik merujuk pada sebuah upaya menghilangkan jejak/objek lama dengan harapan dapat menghasilkan keadaan atau suasana baru yang merupakan tujuan utama.

Dalam terminologi politik, istilah Sapu Bersih atau Pembersihan digunakan untuk merepresentasikan sebuah ekspresi seorang pemimpin yang memiliki keyakinan irasional tentang superioritas dengan model kekuasaan yang cenderung pragmatis serta oportunis.

Dalam konteks ini, sosok seorang pemimpin seperti Fifian Adiningsih Mus (FAM) selaku kepala daerah, tentunya memiliki kecenderungan kepemimpinan yang dilandasi perasaan takut akan kehilangan pamor, prestise, previlige dan kehormatan sebagai pemimpin. Disinilah asal muasal tumbunya hasrat politik ‘populis’.

Dalam pandangan politik populis, setiap kekuasaan tentu berkepentingan untuk mengeksploitasi semua sumber daya ekonomi melalui otoritas birokrasi yang dipimpinnya. Disamping berupaya menekankan gaya retorika yang membangkitkan emosi (perasaan) massa rakyat dengan beragam jenis pendekatan politik.

Kaitannya dengan hasrat superioritas atau populisme politik, sang mantan birokrat, si puan (FAM) tentu memiliki ikhtiar tersendiri dalam mengelola, mengatur dan merumuskan kebijakan yang populis guna menopang kekuatan kepemimpinannya.
Termasuk menghabisi semua pejabat birokrasi yang “konon” dianggap sebagai lawan politik pada musim kompetisi pilkada lalu.

Meminjam pandangan Max Weber (sosiolog) dengan istilah “Value-Rationality”, yang mempersoalkan apakah tujuan (kebijakan) yang ditetapkan itu dapat dibenarkan secara rasional dan apakah cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kelayakannya.

Biasanya pembenaran itu bertitik tolak dari tindakan rasional dalam pengertian Weber, tujuan menentukan pemilihan sarana. Prinsip rasionalitas tindakan ini membawa perbedaan antara pandangan pakar secara umum dan politik itu sendiri.

Politik populis mendasarkan pada komitmen terhadap nilai-nilai yang diyakini, sedangkan analisis rasional tindakan adalah masalah koherensi tujuan, penyesuaian sarana efektif dan akibat-akibat yang dapat diperhitungkan pula secara politik dan normatif.

Fenomena kebijakan politik ‘Genosida’ pada struktur kabinet birokrasi pemerintah daerah kepulauan sula memberi peluang tentang pemahaman adanya proses legitimasi “kejahatan” secara kasuistik jika langkah tersebut tidak diperkuat dengan dalil normatif yang sah (basic legal-formal).

Dalam pengertian lain, kejahatan yang menjadi akibat langsung politik kekuasaan ialah kejahatan struktural. Meminjam istilah Rene Girard dengan sebutan “Hasrat Mimesis” yang merefleksikan bahwa faktor-faktor negatif seperti kebencian, balas dendam dan kemarahan adalah tindakan yang terinklud dalam kalkulasi politik.

Dalam konsepsi etika sosial dan individual, permasalahan-permasalahan yang demikian terjadi biasanya dikaitkan dengan keputusan atau tindakan seorang pemimpin. Pada prinsipnya hal ini ditentukan oleh 3 dimensi tindakan manusia.

Pertama, berkaitan dengan diri subjek pelaku yakni masalah kehendak bebas (baik atau jahat), masalah kebebasan dan pengetahuan. Tindakan dikatakan bisa dipertanggungjawabkan secara moral jika secara sadar dikehendaki dan bebas dilakukan.

Si puan (FAM) tentunya memiliki pengalaman sebagai mantan birokrat sekaligus politisi. Pengetahuan dan pengalaman inilah yang sesungguhnya menghendaki adanya tindakan dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Kedua, masalah konteks atau situasi yaitu masalah ketepatan waktu termasuk dampak dari tindakan (pengambilan keputusan) dilihat dari dimensi waktu: Jangka pendek, menengah, atau berdaya ledak jangka panjang dalam pengertian lain, ada keunggulan politik sebagai misi utama atas tindakan yang diambil.

Kepemimpinan daerah hasil pilkada serentak 2020 tentunya cukup membatasi masa pengabdian (sekitat 3,5 tahun), sehingga aspek interval waktu menjadi skala prioritas dalam eksekusi kebijakan. Dititik inilah kesabaran seorang pemimpin mulai diuji. Kadang dinilai terlalu terburu-buru.

Ketiga, adalah masalah tujuan dan resiko. Pada dimensi ini secara utuh berkaitan pencaoaian tujuan akhir (final) dengan sejumlah konsekwensi atau resiko, baik secara politik maupun kelembagaan/institusi dan pribadi atau kelompok secara politik atas sebuah keputusan.

Pada konteks ini, yang lebih mendominasi bahkan mendapat sorotan dan perhatian publik secara umum. Pada fase inilah sesungguhnya seorang pemimpin diuji dalam spektrum etika dan norma sosial.

Dalam setiap tindakan ada tujuan yang dikehendaki dan bisa diramal hasilnya. Akibatnya yang berlawanan adalah jika keputusan tersebut tidak dapat diramal hasilnya atau berlawanan dengan yang dikehendaki.

Masalahnya akan menjadi berbeda ketika “Dampaknya” dilihat tidak hanya sebagai hasil tindakan individu seorang kepala daerah (FAM), tetapi adanya eksterioritas atau faktor diluar dari dirinya.

Secara umum, setiap kepala daerah dibatasi oleh norma perundang-undangan yang berlaku. Fenomena perombakan struktural 57 pejabat esselon II dan III oleh sang puan adalah hal yang wajar dalam siklus birokrasi formal jika selama keputusan itu tidak bertentangan dengan norma dalam berpemerintahan.

Dalam norma UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pasal 73 ayat 7 menegaskan bahwa Mutasi PNS dilakukan dengan memperhatikan prinsip larangan konflik kepentingan.

Begitu juga dengan UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Pada pasal 62 ayat 3, menegaskan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota yang akan melakukan pergantian pejabat di lingkungan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

Dari sinilah domain etika dan norma sosial seorang Fifian Adiningsi Mus (FAM) sebagai kepala daerah akan benar-benar diuji oleh publik sebagai konsekwensi logis atas tindakan politik (kebijakan) yang diambil.

Belajar dari pengalaman kepemimpinan populis, seorang pemimpin akan disebut pahlawan (hero) jika kebijakan benar-benar mampu memanjakan selera rakyat, begitupun sebaliknya menjadi cemohan publik bahkan lebih fatal jika mengarah pada aspek pelanggaran hukum.

Karena itulah, Populisme Politik mengandung sejumlah resiko.!

Mengutip kalimat bijaksana sahabat Nabi SAW bahwa sedikit sabar dalam kemarahan, bisa mencegah seribu penyesalan. (Ali Bin Abi Thalib) Wallahu’ Alam

Komentar