Oleh: Arifin Muhammad Ade (Alumni Pascasarjana Institut Teknologi Yogyakarta & Penulis Buku Narasi Ekologi)
Indonesia memiliki 838 juta hektar hutan. Di dalamnya berisi 30.000-40.000 tumbuhan atau 51 persen dari tumbuhan yang ada di dunia. Di lautnya ada 6.869 jenis biota laut dan 126.000 biota di teresterial. Keragaman flora yang begitu kaya itu menjadi tumpuan ekonomi negara dan masyarakatnya (Kompas, 6/10/2017).
Meskipun kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah, tetapi aktifitas pertambangan di Indonesia yang kian semakin masif, telah menghilangkan keberagaman tersebut. Padahal, sektor pertambangan tidak bisa jadi sandaran kesejahteraan masyarakat, terutama yang berada di daerah sekitar kawasan pertambangan.
Setidaknya, sekitar 44 persen dari luat total daratan Indonesia dikuasai izin pertambangan. Fenomena ini membuat lahan-lahan hijau habis terkupas oleh alat-alat berat dan menjadi lebih gersang, kekayaan keragaman itu kemudian perlahan hilang.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, sekitar 6.000 izin pertambangan di Indonesia bermasalah atau berstatus non clean and clear, sebagian besar tak punya nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan tak bayar pajak, serta tak memiliki jaminan reklamasi pasca-tambang.
Selain deretan beberapa masalah di atas, salah satu persoalan serius yang terkadang diabaikan oleh perusahaan pertambangan adalah yang berkaitan dengan keselamatan para pekerja. Sekadar diketahui, kegiatan pertambangan memiliki resiko bahaya yang dapat menimbulkan tindakan tidak aman bagi manusia dan lingkungan kerja.
Bila bahaya tersebut tidak dicegah dan dikendalikan maka bisa menimbulkan kecelakaan tambang, penyakit dan bencana tambang yang menimbulkan korban manusia, kerusakan peralatan serta lingkungan.
Beberapa waktu lalu, kecelakaan kerja di sektor pertambangan kembali terjadi. Kali ini, peristiwa nahas itu menimpa salah satu perusahaan asal negeri Tirai Bambu. Salah satu perusahan pertambangan yang “mengeksplorasi” dan “mengeksploitasi” kekayaan sumber daya alam dan mineral (biji nikel) di Bumi Halmahera.
Berdasarkan berita yang dimuat Malut Post (17/6), dikabarkan bahwa kebakaran akibat ledakan Smelter A Tungku Satu PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), Selasa (15/6), mengakibatkan jatuhnya puluhan korban.
Sekurangnya 20 orang mengalami luka bakar yang terdiri dari 14 orang luka ringan dan 6 orang luka sedang maupun berat. Adapun dari korban tersebut adalah beberapa tenaga kerja asing (TKA/China) dan tenaga kerja lokal yang kini tengah menjalani perawatan intensif. Kita semua terkejut dan berkomentar. Namun, setelah itu semuanya kembali seperti normal.
Belakangan, dilansir Suara Halmahera (20/6), salah satu karyawan PT IWIP yang menjadi korban kebakaran Smelter A akibat ledakan tungku pabrik beberapa waktu lalu, dikabarkan telah menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta, Minggu 20 Juni 2021, setelah dirujuk dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Chasan Basoeri, Ternate.
Tenaga Kerja Minim Perhatian
Peristiwa kebakaran dan kecelakaan kerja yang memakan korban hingga berujung pada kematian di atas, merupakan salah satu contoh kasus dimana perusahaan belum memprioritaskan perbaikan atas nasib para pekerja.
Pihak pemerintah pun terkesan apatis, padahal kecelakaan kerja yang terjadi di PT IWIP beberapa waktu lalu, bukan yang kali pertama terjadi. Hal tersebut tak boleh dianggap sepele tanpa ada usaha pemerintah untuk berbenah dalam hal pengawasan ketenagakerjaan secara umum dan keselamatan kerja pada khususnya.
Dengan kata lain, pemerintah harus hadir dengan mengintensifkan pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara berkesinambungan untuk menekan angka kecelakaan kerja.
Kecelakaan kerja bisa dicegah seandainya semua prosedur standar diikuti. Kecelakaan kerja selalu diawali dengan pelanggaran kecil yang dibiarkan. Undang-Undang Keselamatan Kerja dan turunannya harus menjadi pedoman bagaimana proyek harus dikerjakan.
Karena bagaimana pun juga, kebakaran yang menimpa PT IWIP ̶ juga perusahaan-perusahaan yang lainnya ̶ selalu menjadi peristiwa in between. Pernah terjadi, sedang terjadi, dan bisa terjadi lagi pada masa yang mendatang.
Itulah yang harus disadari, bagaimana meminimalkan angka kecelakaan kerja dan memberikan santunan kepada korban atau keluarga korban. Kesadaran akan K3 harus lebih ditingkatkan mulai dari pemimpin level tertinggi sampai pekerja di lapangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, menimbang bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional dan serta setiap orang lainnya ang berada di tempat kerja terjamin keselamatannya.
Hal yang sama juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2012 pasal 5 mengemukakan bahwa “Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.
Bahkan pada level internasional, International Labour Organization (ILO) sebagai badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bergerak di bidang ketenagakerjaan juga memberikan 11 pedoman kunci pengawasan ketenagakerjaan yang efektif di bawah standar-standar global.
Ke-11 faktor itu antara lain mencakup kelembagaan yang kuat dan independen, cakupan pengawasan, kualifikasi dan jumlah pegawai pengawas yang memadai, frekuensi pengawasan hingga membuat kolaborasi untuk memastikan efektivitas pelaksanaan.
Meskipun demikian, berbagai peraturan baik pada level nasional maupun sampai pada tataran internasional, belum sepenuhnya dijalankan. Data dari ILO tahun 2018 menyebutkan bahwa lebih dari 1,8 juta kematian akibat kerja terjadi setiap tahunnya di kawasan Asia dan Pasifik.
Bahkan dua pertiga kematian akibat kerja di dunia terjadi di Asia. Di tingkat global, lebih dari 2,78 juta orang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Selain itu, terdapat sekitar 374 juta cedera dan penyakit akibat kerja yang tidak fatal setiap tahunnya, yang banyak mengakibatkan absensi kerja (Darwis., dkk, 2020).
Di Indonesia, merujuk data dari BPJS Ketenagakerjaan, jumlah kecelakaan tenaga kerja yang dilaporkan setiap tahun sangat mengkhawatirkan. Sepanjang 2019 terjadi 114.000 kasus kecelakaan kerja. Sementara di 2020, tercatat 177.000 kasus.
Artinya, dalam dua tahun terakhir terjadi peningkatan kecelakaan kerja yang cukup besar dan bahkan berujung pada kematian. Angka tersebut tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya, sebab tidak semua perusahan ikut BPJS. Atau, jika sudah terdaftar, tidak semua tenaga kerja didaftarkan ke BPJS.
Hal ini harus menjadi alarm bagi pemerintah dan perusahaan untuk lebih memperhatikan kesehatan dan keselamatan para pekerja. Karena mereka (tenaga kerja, buruh, pegawai, karyawan) adalah sumber daya manusia yang juga merupakan investasi perusahaan, jadi harus dijaga dengan baik dan benar. Para pekerja merupakan salah satu aset bangsa yang perlu dijaga kesejahteraannya.
Untuk itu, pemerintah, perusahaan, dan pekerja harus dapat saling bekerja sama. Ketiganya terikat dan akan selalu saling terkait. Kerja sama yang baik akan menghasilkan “simbiosis mutualisme”. Jika sebuah perusahan dapat memberikan kenyamanan dan keamanan, loyalitas akan perlahan tumbuh. Apabila pekerja sudah nyaman dan loyal, maka ia akan menjadi lebih produktif.
Komentar