oleh

Bola Maya

Rusly Saraha (Penikmat Bola)

Entah apa kabar maya, dunianya terlanjur di sekap oleh sepakbola. Betapa tidak, tulisan-tulisan telah berhamburan menyesaki penjuru beranda, foto dan gambar menari di depan mata, pun video-video sambung menyambung tak terkira jumlahnya, itu samua terhampar di dunia maya, di facebook terutama.

Saya menyaksikan itu, setidaknya momen piala Eropa dan copa Amerika menyulap segalanya menjadi rupa-rupa warnanya. Di copa Amerika, rivalitas si kuning Brazilia dan si biru muda Argentina menjadi yang paling panas. Dua poros ini seolah punya blok tersendiri yang terus menyulut api perlawanan. Apakah Neymar atau Messi, seniorita Thiago Silva ataukah Nicolas Otamendi, juga apakah sang penyelamat gawang Emerson Moraes atau Emiliano Martinez.

Ada sebuah foto yang legend sangat dari Ruslan Talib, seorang pendukung Brazil dari Moti. Ia memperlihatkan ritual mangko dengan background bendera Brazil. Tubuhnya dililit kain putih dengan kopiah yang membulati kepala.

Di depan kursi tempat Ruslan duduk terdapat sebuah meja yang berisi dua buah mangkok putih, entah apa maksud menempatkan dua mangkok itu, pikiran saya tak menjangkau kesana, juga mata saya tak melihat tujuh kembang gambir mengapung di mangkok itu. Tetapi di foto itu, Olan sedang terlihat seolah membaca wirid-wirid pendek, yang bisa saja usai ia membacanya mangkok itu berpotensi pica dua.

Pendukung Argentina lain lagi, foto-foto Il Capitano Leo menaklukkan banyak beranda. La Pulga yang belasan tahun bermain untuk tim kaliber Barcelona benar-benar menjadi super star, magnetnya seolah melebihi maestro Diego Armando Maradona yang sempat mempecundangi kiper Inggris, Peter Shilton dengan gol “tangan Tuhan” pada Perempat final Piala Dunia tahun 1986. Tapi jagat facebook juga dikurung oleh sebuah video dari Gemia Patani. Seorang lelaki senior terlihat memaparkan strategi jitu Tim Tango yang dikerumuni banyak pemuda.

Lagak presentasenya seperti lebih hebat dari manager Lionel Scaloni. Diatas hamparan tanah yang dipasang beberapa batu kecil yang merepresentasekan pemain-pemain Argen itu, ia mengurai kata-kata. Jurus-jurusnya menancap, menggerakkan kerikil itu sambil menggaris-garis tanah dengan irama tersendiri.

Beruntung debu tak berhamburan menyesakkan mata dan dadanya, dan tak sampai beberapa detik kemudian simulasi lapangannya buyar dan bubar.  Lapangan simulasinya disiram oleh setengah gelas kopi hitam. Untung saja yang menyiram bukan istrinya.

This is sepakbola. Penonton selalu lebih piawai dari pemain, apalagi pelatih. Penonton bisa saja berteriak di pinggir lapangan atau layar, mereka bisa memberi instruksi, mencoba mengatur arah bola, kata-kata mereka terdengar lebih tegas, tak pelak juga diisi luapan yang melukai hati.

Caci maki-pun mengalir tak henti jika tim kesayangannnya kebobolan atau kalah bermain. Pun begitu usai peluit terakhir dibunyikan wasit, penonton bisa jauh lebih genius dalam mengevaluasi tim-timnya, lebih total dan heboh dari John Halmahera, atau Binder Singh yang kini begitu terkenal sebagai komentator papan wahid Indonesia.

Bulan ini memang selain disebut sebagai bulan Bung Karno oleh orang Indonesia, juga adalah bulannya sepakbola. Betapa Copa Amerika dan Piala Eropa disuguhkan dalam satu momentum yang hampir beririsan setipis irisan bawang merah. Laga super hot sebenarnya adalah Piala Eropa, kenapa begitu..?. Karena pendukung fanatiknya tak tersebar hanya di dua blok seperti Argentina – Brazil dalam laga Conmebol itu.

Eropa selain bertaburan bintang, juga berhamburan para penantang. Italia berdiri digdaya di grup A, Belgia mengendalikan grup B, Der Oranye Holland Berjaya di grup C, di Grup D ada The Three Lion Inggris yang mengaum beringas, Spanyol yang pernah tiga kali menjuarai Piala Eropa ada di Grup E, sedangkan Grup F adalah yang paling sengit, karena diisi oleh tiga kompetitor tangguh, yakni finalis Piala Eropa 2016, Portugal dan Perancis, serta tim hitam merah kuning El Germany.

Jika membaca urutan peringkat berdasarkan catatan FIFA, maka Belgia menjadi tim yang paling diunggulkan. Dengan poin 1783 dari FIFA, Belgia menjadi pemuncak dengan sokongan pemain berkelas, dimulai dari Thibaut Courtois yang menjadi andalan Real Madrid, juga Eden Hazard.

Kevin De Bruyne yang menjadi pemain pilihan Pep Guardiola di Manchester City merupakan salah satu punggawa anyar tim ini, di barisan paling muka si pembawa Internazionale dalam raihan scudetto yang tampil memukau, siapa lagi kalau bukan Romelu Lukaku. Tim Rode Duivels ini dimanageri oleh peracik strategi terbaik Roberto Martinez, dengan Thierry Henry sebagai salah satu asistennya.

Belgia yang belum pernah merasakan indahnya mengecup piala Eropa juga World cup itu bisa saja belajar banyak dari asisten pelatih mereka, King Henry. Pria yang sempat merumput di Arsenal dan Barcelona ini pernah membawa Prancis juara Piala Eropa 2000 bersama Zinedine Zidane dengan mengkandaskan mimpi armada Dino Zoff Italia.

Dalam sebuah video latihan timnas Belgia, tampak Henry mencoba sepakan kaki kirinya pada sebuah tendangan bebas yang membikin Lukaku dan De Bruyne terkagum-kagum.  Video itu diberi label “class is permanent” sesuai kapasitas skill King Henry yang seolah tak lekang oleh waktu.

Setelah Belgia, ada Prancis di posisi kedua. Tim yang menjuarai piala dunia 2018 itu masih dihuni oleh bintang-bintang yang kian bersinar, ada N’Gola Kante yang beberapa bulan lalu menjadi man of the match pada laga final Liga Champion 2021 dan membawa Chelsea menjadi kampiun dan pengecup tropi si kuping besar. Selain Kante, nama-nama beken lainnya seperti Mbappe, Griezman, Pogba, Varane dan Lloris menghiasi skuad ayam jantan biru tua ini.

Posisi berikutnya Inggris, Portugal, Spanyol dan Italia. Inggris sangat diuntungkan dengan situasi kompetisi Premier League yang disesaki tim-tim berkualitas dengan pemain-pemain berkapabilitas. Lihat saja Partai Final Liga Champions di Estadio Do Dragao Porto itu menghadirkan all England Final.

Dua klub sohor, Manchester City dan Chelsea bertarung dalam laga puncak itu. Mereka-mereka yang turun pada laga bergengsi antar klub di benua biru itu saat ini juga menghiasi skuad Gareth Southgate, sekitar 7 orang diantaranya adalah Raheem Sterling, Phil Foden, Mason Mount, Kyle Walker, John Stones, Reece James dan Ben Chilwell.

Dibawah Inggris ada Portugal yang menempati status sebagai juara bertahan. Jika di Pilkada, tim seperti Portugal bisa dibilang sebagai incumbent karena merupakan pemenang di laga sebelumnya. Sang Kapten Cristiano Ronaldo masih menjadi sumber kepercayaan diri bagi armada Seleccao das Quinas ini.

Bernardo Silva dan Bruno Fernandes yang tampil apik bersama duo Manchester masih didaulat menjadi pengatur ritme di lapangan tengah. Di sektor belakang ada Ruben Dias yang sukses membawa Citizen meraih tropi liga terbaik di dunia, premier league.

Bagaimana dengan Spanyol yang datang tanpa pemain Real Madrid..?. Ini sebuah keberanian dari sang entrenador Luis Enrique. Entah kenapa Don Luis, yang mantan pelatih Barcelona itu tak membawa satu-pun punggawa El Real dalam skuad La Furia Roja.

Situasi ini seolah menyuplai emosi dalam hati pendukung Espana yang juga adalah Fans Real Madrid. Meski begitu saya belum melihat satu-pun warga Los Galacticos yang menyatakan keluar dari dukungannya terhadap Spanyol.

Pun-begitu tanpa Madrid bukan berarti Spanyol datang dengan pasukan yang biasa-biasa saja. Cesar Azpilicuita, kapten Chelsea yang membawa klubnya juara Liga Champion 2021 ada di skuad ini. Selain itu punggawa senior El Barca seperti Sergio Busquets dan Jordi Alba ikut berada dalam barisan El Matador, disamping Alvaro Morata, Ferran Torres dan Koke.

Italia dibawah Roberto Mancini adalah salah satu tim yang cukup menakjubkan. Mayoritas  (17 dari 22 pemain) yang masuk skuad Gli Azzuri bermain di Seri A Italy. Mereka seolah begitu memahami spirit catenaccio khas negeri pizza ini, pun memafhumi bumbu-bumbu Il Principe yang diracik Niccolo Machiavelli, tak peduli proses, hasil akhir tetap yang utama. “akhir menjustifikasi makna”. Pengalaman Mancini membawa Man City sekali menjuarai Liga Inggris adalah sebuah bonus bagus, ditopang beberapa punggawa yang merumput di klub luar Italia seperti Marco Verratti di PSG dan Jorginho di Chelsea.   

Jika ada yang bertanya dimana posisi Jerman dan Belanda, kedua tim ini tak berada pada daftar sepuluh besar sebagaimana pemeringkatan FIFA. Meski begitu dua negara bertetangga di Eropa Barat yang tak pernah akur gara-gara sepakbola ini selalu menjadi tim yang paling disegani dalam perhelatan piala Eropa.

Tim manapun yang mendapatkan takdir berhadapan dengan Holland dan Germany pasti akan mendekap selaksa gelisah, yang paling tegang pasti para fansnya yang nyaris kental dimana-mana.

Jika tampil konsisten dan menang di dua laga (16 besar dan perempat final), maka akan ada big match yang paling dinanti publik sepakbola, Jerman vs Belanda. Jika itu terjadi, maka api permusuhan yang dihembuskan semenjak perang dunia II itu akan membara kembali.

Di lapangan, akan ada gemuruh nyanyian “bring back my bicycle” (kembalikan sepeda saya) oleh massa De Oranje sebagai sirine perlawanan atas invasi kaki tangan Nazi dibawah Adolf Hitler pada 10 Mei 1940 yang mengoyak-ngoyak Rotterdam sekaligus mengambil semua sepeda di negeri kincir angin itu dengan alasan yang jelas berada dalam ketidakjelasan.

Yang paling jelas saat ini, adalah sudah ditetapkannya enam belas tim yang lolos fase gugur Piala Eropa. Ahmad Sembiring Usman, pesepakbola yang saat ini menginspirasi pembangunan generasi sepakbola di bumi khatulistiwa Kayoa menulis sebuah tulisan menarik berjudul “EORO : Antara Dominasi dan Kejutan”.

Coach Sembiring seperti mengingatkan ada potensi kejutan yang bisa saja bermunculan di kompetisi ini, seperti yang pernah mendera Denmark di tahun 1992 dan tim “tanpa nama” seperti Yunani yang memenangi Tropi Eropa 2004. Beberapa nama seperti Wales, Ukraina, Austria dan Swiss dan kawan-kawannya mungkin saja adalah negara-negara yang berpotensi membikin “surprise” seperti itu.

Kejutan seperti itu memang agak jarang terjadi, sebab sepakbola selalu berdinamisasi seperti bergulirnya bola di lapangan. Di beranda dunia maya, telah banyak yang ikut menganalisis, membikin bagan sendiri dengan alur tim dan siapa yang berpotensi lolos hingga pada partai pamungkas di Wembley.

Sekali lagi, kita yang penonton, pengamat, penikmat atau apalah sebutannya boleh-boleh saja memprediksi, pun bisa baku terek sesekali, tetapi tak perlulah sampai terlampau baku malawang mati. Sebab sepakbola hanya melapangkan ruang baku malawang, sepakbola takkan pernah mati.

Komentar