oleh

Interupsi Kekuasaan : Bahagia atau Bahaya

(Sebuah Catatan Kritis Kekuasaan Politik FAM-SAH)

Oleh : Risman Tidore
(Pemerhati Kebijakan Publik & Civil Society)

Salah satu mitos paling umum yang sering kita jumpai dalam kancah dunia demokrasi elektoral, adalah kalimat klasik yang berbunyi “vox populi vox dei” yang memiliki arti kurang lebih “suara rakyat adalah suara Tuhan”, yang dalam pandangan Hans Kelsen disebut sebagai pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.

Dan yang melaksanakan kekuasaan ialah pemimpin yang terpilih secara demokratis melalui instrumen demokrasi lokal yang disebut pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti gubernur/wakil gubernur bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota. Di mana rakyat meyakini bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan.

Melalui instrumen demokrasi pula, banyak pihak menaruh harapan tentang sebuah tatanan kehidupan sosial politik yang ideal. Bahkan dengan demokrasi, diharapkan semua cita-cita vital tentang kemajuan kesejahteraan dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terakomodir melalui instrumen kebijakan/keputusan politik formal.

Design keputusan politik/kebijakan publik yang menjadi elan vital dari tujuan demokrasi harus diawasi oleh kalangan publik civil society agar dalam praktek dan kendali kekuasaan tetap “On The Track” alias sesuai aturan main.

Situasi ini pula sontak membenarkan argumentasi bahwa kekuasaan adalah persoalan yang sangat substantif, esensial, bahkan merupakan hakikat ilmu politik. Dan pemerintahan bukan sekedar lembaga bagi kekuasaan.

Berangkat dari titik inilah diskursus tentang politik balas dendam dan konflik kepentingan dalam praktek kekuasaan kepemimpinan politik lokal menjadi semakin ramai dipermukaan setidaknya mendapat sorotan tajam kaitannya dengan project otonomi daerah dalam bingkai demokrasi lokal.

Semangat tentang otonomi daerah ditandai dengan tingginya ekspektasi publik tentang perubahan. Senada dengan hal itu, rakyat di kabupaten kepulauan sula kini merindukan sentuhan-sentuhan kebijakan yang riil dalam performa SULA BAHAGIA sebagaimana visi kepemimpinan baru Hj. Fifin Adiningsi Mus dan Hi. M. Saleh Marasabessy (FAM SAH).

“Defisit periodisasi & Dendam Politik”

Berkurangnya masa periodesasi kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pilkada serentak tahun 2020 sebagai konsekwensi dari tidak direvisinya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pasal 201 ayat 7 yang sempat menjadi perdebatan di parlemen oleh sejumlah elit partai politik.

Hampir semua kepala daerah hasil pilkada 2020 akan dipotong masa jabatannya. Ada yang masa jabatannya hanya 4 tahun, ada pula yang 3,5 tahun, bahkan ada yang nyaris 3 tahun saja karena keserentakan pilkada secara nasional akan dilangsungkan di bulan November 2024 setelah pilpres dan pileg dilaksanakan.

Ini merupakan tantangan yang cukup kompleks sekaligus ujian berat bagi para kepala daerah terpilih. Selain masa jabatannya yang pendek, para kepala daerah juga dituntut untuk bisa merealisasikan visi-misi dan program pemerintahan yang dijanjikan selama masa kampanye.

Tentu, ini waktu yang tidak normal bagi para kepala daerah untuk menjawab segala kebutuhan publik sebagaimana yang termaktub dalam blue print sebagai project besar pemerintahan yang merupakan derivasi logis dari visi dan misi kepala daerah terpilih.

Disaat yang bersamaan, para kepala daerah diinterupsi oleh waktu yang tidak panjang dalam bekerja. Nyaris hanya dua tahun sampai dua tahun setengah saja para kepala daerah ini bisa maksimal bekerja dikarenakan tahun ketiga para kepala daerah yang berstatus petahana akan bersiap-siap lagi untuk menghadapi pilkada 2024.

Sama halnya dengan kepemimpinan daerah di kabupaten kepulauan sula saat ini, dengan sejumlah tantangan dan ekspektasi yang luar biasa. Sebagai konsekwensinya, publik terus akan menagih manisnya madu – janji politik bupati Hj. Fifian Adiningsi Mus dan wakil bupati Hi. M. Saleh Marasabessy (FAM-SAH) dalam performa “SULA BAHAGIA”.

Melihat latar belakang (background) seorang puan dan tuan sebagai ex-birokrat yang handal semestinya memperkaya referensi/pengalaman sekaligus menjadi preferensi kebijakan politik dalam mengelola birokrasi guna menjawab segala kompleksitas daerah yang masih “minor” dalam berbagai spektrum pembangunan.

Sejauh mata memandang, trend politik kepemimpinan FAM-SAH dengan platform “SULA BAHAGIA” secara praksis (aktual) belum menunjukan perforna kinerja yang menonjol pasca dilantik beberapa pekan lalu.

Justru yang ramai dipermukaan publik saat ini adalah pro-kontra dan perdebatan-perdebatan penuh ambigu akibat dari inkonsistensi yang diawali dengan sejumlah kebijakan yang syarat kepentingan politis bahkan disinyalir sebagai aksi politik balas dendam.

Kebijakan yang mengalami disoreintasi tujuan dari spirit visi “Sula Bahagia” tentunya ditandai dengan adanya protes dari berbagai pihak bahkan diduga terjadi bias kendali kekuasaan (abuse of power) yang diduga kuat menabrak sejumlah norma peraturan perundang-undangan.

Sebut saja keputusan pemberhentian dan pengangkatan sejumlah pejabat pelaksana tugas di 57 jabatan esselon II dan III yang kini mendapat teguran dari pemerintah provinsi maluku utara dan kementrian dalam negeri sesuai surat yang viral beredar diberbagai media.

Belum sampai disitu, kebijakan politis dengan alibi bahwa telah mengantongi ijin dari dirjen Otda kementerian dalam negeri tersebut berakhir dengan sanksi adanya Pemutusan Jaringan Pelayanan Kependudukan oleh Dirjen Capilduk Kementrian Dalam Negeri.

Tentunya berdampak buruk bagi pelayanan publik, dimana kebijakan yang dibekingi motif politik balas dendam tersebut akhirnya melumpuhkan salah satu unit pelayanan vital  di kepulauan sula seperti layanan pengurusan administrasi kependudukan seperti pembuatan kartu keluarga, KTP, Akta kelahiran dan kematian serta administrasi lainnya di dinas kependudukan dan pencatatan sipil.

Belum sampai disitu, sejumlah Honorer Daerah yang tersebar di sejumlah OPD yang telah mengabdi bertahun-tahun pun ikut diberhentikan dengan dalil dirumahkan sementara.

Kebahagian sejumlah maayarakat yang bekerja (honorer daerah) yang sudah sekian tahun mengabdi, kini seperti dirampas begitu saja lewat kebijakan tangan besi kekuasaan. Tanpa disadari bahwa pengangguran meningkat seiring dengan kebijakan yang kontras dengan semangat “SULA BAHAGIA”.

Kondisi yang sedemikian rupa dapat memicu  perhatian dan penilaian publik bahwasannya iklim politik diawal kepemimpinan FAM-SAH belum mampu memberikan kesan publik yang membahagiakan bahkan sebagian orang menjadi pesimistik ketika mendengar nyanyian suara merdu visi “SULA BAHAGIA”.

Potret buram kekuasaan politik diatas kiranya dianggap relevan dengan pendapat sang mantan presiden ke 6 RI bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang menyatakan bahwa Kekuasaan itu bisa menggoda, dan kalau berlebihan pasti tidak membawa kebaikan.

Begitu juga dengan performa negeri kabupaten kepulauan sula saat ini yang masih masih “minor” dari berbagai spektrum pembangunan, semestinya dikelola dengan serius agar setidaknya dapat mengeliminasi label ‘daerah tertinggal’ yang menjadi raport merah dari pemerintah pusat.

Kepemimpinan FAM-SAH seharusnya hadir sebagai pelopor yang mampu merintis jalan baru sebagai upaya memperkecil problem krisis pembangunan daerah warisan rezim sebelumnya tanpa harus mewarisi kembali trauma sosial akan dendam politik yang ustru mengabaikan kepentingan besar daerah.

Sudah saatnya negeri senapan kepulauan sula harus bangkit di bawa kendali kepemimpinan FAM-SAH. Sehingga segala bentuk perbedaan pandangan politik dan pembelahan kelas sosial akibat suksesi pilkada beberapa waktu yang lalu dapat dikesampingkan.

Semua elemen masyarakat harus bersatu dalam bingkai falsafah “DAD HIA TED SUA” sebagai payung pemersatu dalam berbagai spektrum pembangunan dan etos kearifan lokal.

Sang puan dan tuan harus mampu mengendalikan dauat kekuasaan dengan performa kinerja yang humanis bagi semua kalangan masyarakat kepulauan sula sesuai visi besar “SULA BAHAGIA”. Jika mengalami disorentasi maka, akan membuahkan kesan politik yang berbahaya (negatif) bagi legacy dan masa depan kepemimpinan politik yang relatif singkat.

Komentar