Banyak Kekayaan Alam Hilang, Bahlil; Karena Kita Seperti Zaman VOC

Jazirah Indonesia – Setelah melepaskan profesi sebagai pengusaha dan menjadi Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengakui banyak SDA RI pada masanya tak memberikan nilai tambah dalam negeri.

Ini disebut Bahlil dengan dalih Indonesia sebelumnya lebih mengandalkan ekspor bahan baku dari kekayaan SDA kita seperti pada masa VOC.

Dia mengakui termasuk keterlibatan dirinya dalam usaha terkait, hanya dengan usaha mau uang cepat. Indonesia tidak mendapatkan nilai tambah apapun karena praktik ekspor bahan baku seperti itu.

Dia mengatakan, tidak ada yang tidak kenal hutan Indonesia dari Kalimantan hingga Papua.

Bahlil pun  menyadari termasuk suatu kesalahan dengan pertanyaan, berapa perusahaan besar kita yang masuk 10 besar dunia sebagai pemain mebel? “Tidak ada”, jawabnya.

“Kita mengekspor kayu log, termasuk saya dulu, karena dulu mau dapat uang cepat, tahun 2002,” kata Bahlil dalam Rakornas Percepatan Investasi, yang digelar Hipmi, Sabtu, 19 Juni 2021.

Dengan andalan praktek ekspor seperti itu, negara-negara pengimpor kayu dari Indonesia disebut Bahlil menjadi pemain industry mebel terbesar di dunia seperti Cina, Malaysia, Jepang, Korea.

“Nilai tambah dirasakan negara-negara yang menerima kayu log, Negara Negara tersebut, sekarang yang jadi pemain industri mebel terbesar dunia. Bahan bakunya dari Indonesia. Gila nggak? Kenapa kita tidak membangun hilirisasi?” katanya.

Praktek ekspor yang demikian juga terjadi di komoditas lain, yakni emas. Bahlil menyebut 90 persen cadangan emas Freeport di seluruh dunia berasal dari Indonesia. Namun, Indonesia justru tidak memiliki industri hilirnya.

“Bahkan kita kirim ekspor tembaga ke luar negeri, nilai tambahnya siapa yang dapat? Di luar. Hampir habis,” katanya.

Kemudian komoditas perikanan. Indonesia kata Bahlil, kalah bersaing dengan Vietnam dan Thailand. Demikian pula dengan komoditas batu bara yang mayoritas diekspor, tapi di sisi lain Indonesia masih mengimpor gas.

“Padahal kalau itu dibikin hilirisasi, itu bisa dapat. Sekarang baru saya urus investasinya antara PT Bukit Asam dengan Air Products (proyek gasifikasi batu bara)” katanya seperti diberitakan temp 19 Juni 2021.

Mantan Ketua BPP HIPMI ini mengataka, batu bara kalori rendah tidak boleh ekspor lagi.

“Kita bangun industri substitusi impor supaya gas kita ada di sini. Ini sekarang kita lakukan,” jelasnya.

Mendorong Hilirisasi Industri

Hilirisasi industri untuk SDA disadari akan memberikan nilai tambah dalam negeri melalui proses pengolahan SDA dalam suatu industri manufaktur dalam negeri.

Bahlil menyatakan mendorong semangat hilirisasi, dimananya, pemerintah kini tengah gencar untuk mengembangkan industri baterai untuk kendaraan listrik yang bahan baku utamanya, yakni nikel, melimpah di Tanah Air.

Pemerintah pun dengan tegas melarang ekspor bijih nikel agar nantinya mimpi untuk bisa menjadi pemasok baterai kendaraan listrik dunia bisa tercapai.

“Saat ini, saya konsisten tidak izinkan ekspor ore nikel agar Indonesia menjadi negara produsen baterai untuk dunia. Jadi kita tidak boleh hanya ekspor-ekspor bahan baku terus seperti zaman VOC,” katanya.

Dia mengatakan, saat ini sudah ada dua perusahaan raksasa yakni LG dan CATL yang akan segera membangun industri baterai kendaraan listrik terintegrasi.

Dipaparkan, rencana investasi LG mencapai 9,8 miliar dolar AS (sekitar Rp142 triliun), sementara rencana investasi CATL mencapai 5,2 miliar dolar AS. 

“Untuk LG, sudah mulai groundbreaking akhir Juli, paling lambat awal Agustus. Itu kita bangun. Jadi, ini bukan hanya cerita dongeng,” kata Bahlil.

Sejalan dengan hal tersebut, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan resminya pada beberapa waktu lalu mengatakan, hilirisasi industri harus didorong, karena berdampak besar bagi ekonomi.

“Kita harus fokus pada hilirisasi industri, yang tentunya akan membawa lompatan kemajuan bagi ekonomi kita’, kata Agus.

Dia menambahkan, hilirisasi industri memberikan multiplier effect yang luas, baik itu penerimaan negara melalui ekspornya maupun penyerapan tenaga kerja yang bertambah.

Meski itu, menurut Agus, hilirisasi perlu ditopang dengan penggunaan teknologi baru, termasuk penerapan era industri 4.0 untuk menggenjot produktivitasnya secara lebih efisien.

Pengulas : Nazirul
Editor : Nazirul

Komentar