Jazirah Indonesia – Harga ikan yang melejit di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Goto, Kecamatan Tidore, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, sepertinya sulit dikendalikan. Hal itu membuat konsumen harus merogok kocek lebih dalam.
Amatan pada awal pekan ini, tiga ekor ikan jenis sorihi (malalugis) sempat dijual Rp10 ribu hingga Rp25 ribu perekor. Sedangkan cakalang ukuran kecil dibanderol Rp35 ribu hingga Rp50 ribu perekor.
“Ikan mahal karena kapal belum masuk,” ucap seorang pedagang kepada Jazirah.id pada Senin (15/8/2021) yang menolak namanya diwartakan.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Tidore Kepulauan, Hamid Abd Latif mengungkapkan, di PPI Goto ada sekitar 6 orang tengkulak.
Praktiknya, mereka membeli ikan di nelayan Rp12 ribu perkilo. Lalu kembali dijual ke dibo-dibo atau pedagang Rp17 ribu perkilo.
“Akhirnya dibo-dibo jual Rp20 ribu perkilo,” ungkap Hamid kepada Jazirah.id, Selasa (16/8).
Sebelumnya, salah satu pengusaha pengumpul ikan sempat diminta menjual Rp14 ribu perkilo. Harapannya, dibo-dibo menjual dikisaran Rp16 ribu perkilo.
“Tapi saat itu hampir baku pukul. Dorang (mereka – tengkulak) mau pukul si pengusaha itu,” katanya.
Dia bilang, di Tidore sudah ada standar harga yang ditetapkan. Angkanya berkisar Rp20 ribu perkilo. “Itu sesuai peraturan wali kota,” tandasnya.
Di PPI Goto, terdapat 3 pengusaha pengepul ikan. Salah satunya adalah Perusahaan Umum Daerah (Perusda) Aman Mandiri.
Tapi komitmen Perusda Aman Mandiri dalam mengendalikan harga, menurut Hamid, sulit terlaksana. “Karena mereka tidak dengar saran kami,” katanya.
Lantas kenapa harga ikan di Pasar Rum, Kecamatan Tidore Utara, tergolong murah ketimbang PPI Goto?
Alasan Hamid, dibo-dibo di Pasar Rum takut dengan kehadiran kapal nelayan dari Pulau Maitara. “Orang Maitara jual sekaligus kase, hehehe,” katanya dengan seloroh.
Sejauh ini kapal nelayan yang masuk di PPI Goto tidak menentu, lantaran fasilitas sarana dan prasarana belum lengkap.
Berbeda dengan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di Ternate, yang dikelola Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Disamping itu, status pelabuhan perikanan adalah PPI yang hanya bisa disinggahi kapal di bawah 5 Gross Tonage (GT).
“(kapal nelayan) Inka Mina yang rata-rata di atas 30 GT tidak bisa masuk di sini,” katanya.
Ini membuat nelayan lebih memilih menjual ikan di Halmahera Selatan atau Kota Ternate.
“Karena fasilitas sarana dan prasarana, khususnya di PPN Ternate, cukup lengkap,” katanya.
Ini pula yang menjadi alasan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
“Kabupaten/kota belum mampu menganggarkan. Jadi diatur supaya bisa bersumber dari APBN maupun APBD Provinsi,” ujarnya.
Dengan skenario seperti itu, kabupaten/kota cukup mengusulkan revitalisasi lewat Dana Alokasi Khusus (DAK). “Kami usul di 2022.”
Sebelumnya, Kepala DKP Provinsi Malut, Buyung Radjilun (alm) sempat menyarankan agar PPI diserahkan dulu ke provinsi.
“Istilahnya ikut aturan dulu. Nanti skemanya, kota kelola mana, provinsi kelola mana. Supaya pembagian PAD, provinsi 40%, kota 60%. Itu sudah disampaikan ke DKP provinsi,” ujarnya.
Namun kembali soal harga, Hamid bilang ini juga tak terlepas dari peralihan kewenangan dari kota ke provinsi. “Fungsi kami DKP kota di PPI hilang,” katanya.
Bahkan DKP Kota Ternate pun, kata dia, awalnya ogah menyerahkan kewenangan pengelolaan PPI ke provinsi. “Mereka baru saja serahkan itu,” katanya.
Hal itu diakui Kepala DKP Kota Ternate, Ruslan Bian. “Karena ini perintah undang-undang,” kata Ruslan kepada jazirah.id.
Namun DKP Kota Ternate masih tetap melaksanakan aspek lain. Mulai dari pembinaan terhadap nelayan hingga monitoring.
“Kami berkewajiban membuat harga dasar serta memastikan ketersediaan stok di cold storage,” katanya.
Dan itu, sambung Ruslan, tergantung kondisi. “Kalau ikan kosong pasti harganya naik. Kalau stok banyak ya harga turun,” ujarnya.
Terkait peralihan kewenangan hingga penentuan harga, Kepala Balai Pengelolaan Pelabuhan Perikanan Daerah (BPPPD) Wilayah IV Provinsi Malut, yang membawahi PPI Goto Kota Tidore Kepulauan, PPI Weda Halmahera Tengah dan PPI Gebe Halmahera Timur, La Jumat, punya pandangan lain.
Peralihan status PPI dari kota ke provinsi, kata dia, bukan berarti DKP provinsi juga ikut mengatur sekaligus mengawasi harga.
“Tidak begitu. Lokasi PPI-nya kan ada di Tidore. Apakah harga ikan di Tidore harus dibawa ke Bacan?,” ujarnya.
Menurut dia, kewenangan mengendalikan harga ada di Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag).
“Bahkan misalnya dalam pelelangan pun, kami harus mengacu ke Disperindag soal harga,” terangnya.
Menurut dia, harga ikan dari nelayan ke pelaksana atau orang yang membiayai operasional kapal, tidak ada selisih yang signifikan. “Yang mahal itu di tingkat dibo-dibo,” katanya.
Misalnya, ikan jenis cakalang dibeli langsung di cold storage seharga Rp20 ribu perkilo. Tapi ketika di tingkat dibo-dibo, meski dari jenis ikan dan sumber pengambilan sama, harga bisa mencapai Rp100 ribu hingga Rp160 ribu.
“Itu yang terjadi di sini. Dan saya tidak tahu dasar perhitungannya seperti apa,” katanya.
Namun Kepala Disperindagkop Kota Tidore Kepulauan, Syaiful Abdul Latif mengatakan, yang menentukan harga ikan adalah DKP. “Bukan kami,” singkat Syaiful.
Senada disampaikan Kepala Bidang Fasilitas Sarana Distribusi Perdagangan Disperindagkop Tidore, Andi Kirana.
“Disperindagkop hanya mendata info harga per pekan, untuk dipublikasikan ke publik via akun facebook Disperindag,” ucapnya.
Penulis : Nurkholis Lamaau
Editor : Dedy Zunaidi
Komentar