Jazirah Indonesia – Pemerintah Kota Ternate akhirnya membuka diri, dalam tahapan penyusunan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Ternate 2021 – 2026.
Sikap ini merespon berbagai kritik, saran dan masukan dari Keluarga Malamo Tarnate (Karamat), Pusat Studi Mahasiswa Ternate (Pusmat), dan Buku Suba Institute.
Dewan Pembina Karamat, Busranto Latif Doa mengaku, sudah tiga malam mereka menelaah poin-poin terkait kebudayaan yang tercantum dalam dokumen tersebut.
“Kami temukan ada yang tidak substansif,” ungkap Busranto dalam pertemuan di Kantor Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kota Ternate, Selasa (24/8/2021).
Berawal dari narasi pada misi Wali Kota Ternate, dalam aspek kebudayaan yang tertuang di butir ke 4 dan 8 halaman 163, yakni:(4) menumbuh-kembangkan kelembagaan sosial dalam bingkai kearifan lokal (Adat se Atorang)’ dan (8) daerah memberikan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya budaya masyarakat dengan memperhatikan sistem nilai dan norma sosial.
Dua butir yang diuraikan pada 5.2.1 dan 5.2.2 itu, menurut Busranto, tidak mengarah ke pengertian budaya yang sebenarnya.
Dalam uraian narasi tersebut, pemahaman terhadap lembaga sosial diartikan sebagai aktivitas ekonomi kreatif berbasis komunitas kepemudaan.
“Sementara, Kota Ternate dengan identitas budaya yang sangat kuat dan lembaga kesultanan sebagai instrumen utama budaya, tidak diakomodir dalam narasi itu,” ucapnya.
Busranto menilai, ini tidak sesuai dengan amanat RPJMN 2020-2024 butir 5 dan RPJMD Kota Ternate 2005-2025 misi 2 butir 1 hingga 4.
“Jadi setelah kami inventarisir, terdapat 4 catatan penting sebagai causa prima, sekaligus jawaban atas pertanyaan tersebut,” katanya.
Adapun pandangan Presidium Madopolo Karamat, M. Ronny Saleh, ekonomi kreatif adalah salah satu unsur dari budaya.
Namun, dalam perspektif budaya lokal Ternate, arah dan kebijakan pembangunan harus tetap pada instrumen utama budaya, yakni kedaton kesultanan sebagai benteng terakhir identitas.
“Kedaton dalam konteks ini, tidak sekadar institusi sosial biasa, tapi mengandung nilai sosial budaya dan agama yang terlembagakan secara turun-temurun,” papar Ronny, yang juga Kapita Alfiris Kesultanan Ternate ini.
Di dalamnya, urai Ronny, terkandung kekuatan yang telah melahirkan pandangan, sikap dan keterampilan hidup masyarakat Ternate, bahkan Moloku Kie Raha.
“Sebab, mengabaikan kebudayaan Ternate yang berpangkal pada tradisi kesultanan, adalah sebuah desain pembangunan yang kering. Ibarat tanpa pijakan,” tuturnya.
Hilangnya Ruh Keternatean
Direktur Buku Suba Institute, Sukarno M. Adam lebih cenderung menelaah RPJMD tersebut dari konsep hingga kata-perkata.
Dimana, dalam gambaran umum ketika RPJMD tersebut hadir, menurut dia, ruh keternatean nyaris tak ada.
“Di situ ada yang namanya sosio, kulture dan story, tapi mainnya hanya di konteks kekinian. Ruhnya tidak sampai. Ini perspektif kami,” ujarnya.
Diakui Sukarno, bahwa RPJMD tersebut memang belum dimanivestasikan. Akan tetapi, dari hasil amatan, berpeluang tidak sampai pada program yang diinginkan.
“Jadi alasan kami boboti ini karena dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, budaya kita seakan dianaktirikan. Padahal kita terlahir dari tatanan itu,” ucapnya.
Di satu sisi, Sukarno menilai, narasi pada draf RPJMD lebih menekankan pada cagar budaya.
Sementara, cagar adalah bagian dari budaya dalam bentuk fisik. Di sini, yang diminta adalah tidak semata-mata bangunannya, tetapi nilai.
“Kalau hanya cagar, orang mainnya event. Seremonial. Setelah itu ya selesai,” pungkasnya.
Senada, Ketua PUSMAT Ternate, Hasrillah berpendapat, jika RPJMD sebagai dasar pijak program tidak tepat sasaran, maka semua basis kulture akan melenceng.
“Makanya, berangkat dari sini, kami lahirkan satu bentuk tawaran ide yang menjadi dasar dalam perumusan RPJMD tersebut,” ujarnya.
Kepala Bappelitbangda Kota Ternate, Rizal Marsaoly, dalam kesempatan itu berkali-kali mengakui bahwa poin terkait kebudayaan masih lemah.
Rizal mengaku terkesima melihat penyampaian Busranto lewat pesan WhatsApp ke Wali Kota Ternate, Tauhid Soleman beberapa waktu lalu.
“Saya sudah baca poin-poinnya, luar biasa. Tentu itu menjadi catatan penting bagi kami,” ujar Rizal.
Akan tetapi menurut dia, narasi dalam RPJMD tersebut masih sebatas bahasa program. “Belum bercerita output,” katanya.
Bagi Rizal, semua akan berada pada output ketika ada rencana strategis di setiap organisasi perangkat daerah.
“Dari situ nanti tarikannya ke Dinas Pariwisata, Dinas Kebudayaan,” tandasnya.
Sementara, dalam tahapan konsultasi publik, tim hanya melibatkan unsur yang bersifat umum. “Misalnya disabilitas. Kalau budaya belum,” katanya.
Alasannya, aspek budaya dibutuhkan satu ruang untuk pematangan yang lebih mendalam.
Di akhir pertemuan, Rizal pun mengundang Pusmat, Buku Suba Institute dan Karamat, untuk bersama-sama memperkuat beberapa poin, terutama pada aspek kebudayaan. “Saya butuh 4 – 5 orang untuk boboti bab ini,” tandas Rizal.
Penulis : Nurkholis Lamau
Editor : Dedy Zunaidi
Komentar