Jazirah Indonesia – Sejumlah tetua mengenakan jubah dengan destar di kepala, berkumpul di masjid atau Sigi Heku Kesultanan Ternate, Kelurahan Akehuda, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Senin (13/9/2021).
Sesaat kemudian, rombongan imam atau Joguru, bergerak ke lokasi pembangunan Masjid Makarimal Akhlak di Kelurahan Dufa-Dufa, Ternate Utara.
Mereka dikawal para Baru-Baru atau komunitas adat Kesultanan Ternate, dan lembaga pegiat budaya Ternate seperti Keluarga Malamo Tarnate (Karamat), Baba Ete, serta Buku Suba Institue.
Dengan berjalan kaki, 4 orang imam membawa masing-masing 4 buah batu, sembari melantunkan salawat nabi di sepanjang jalan.
Pagi itu adalah prosesi peletakan batu pertama, atau dalam bahasa Ternate disebut Uto Mari, untuk pembangunan Masjid Makarimal Akhlak.
Empat buah batu tersebut diambil dari bekas lava Gunung Gamalama, untuk diletakan pada masing-masing tiang masjid, yang sudah disimpan lebih dulu di Masjid Heku Kesultanan Ternate.
Oleh masyarakat adat Kesultanan Ternate dikenal dengan istilah Sihotu Mari atau menidurkan batu. Prosesi itu memakan waktu hampir sepekan. Lalu dilanjutkan dengan Sikata Mari atau mengantar batu ke lokasi Uto Mari digelar.
Kiemalaha Labuha Sigi Heku Kesultanan Ternate, Masud Subarjo kepada Jazirah Indonesia, berujar, ritual Uto Mari bermula di masa Kaucil Muhammad Said Fatahillah.
Kala itu, Sultan Ternate ke – 26 yang disapa Jou Barakati ini, sedang mencari siapa yang bisa menentukan arah kiblat dalam pembangunan masjid besar, atau Sigi Lamo Kesultanan Ternate.
Dalam pembangunan masjid yang dimulai pada 1667 itu, sang sultan juga menginginkan agar menghadirkan 4 buah batu dan diritualkan.
Dari situ, dipanggil 4 imam atau Joguru, di antaranya Imam Tabanga dan Imam Heku didampingi 3 perangkatnya, yakni Imam Takome, Imam Mado, serta Imam Faudu.
“Empat imam tadi ditanya oleh sultan, siapa yang mampu Sihotu Mari dan menentukan arah kiblat masjid Kesultanan Ternate,” ujar Masud.
Salah satu dari 4 imam menyebut, yang bisa melakukan itu adalah seseorang bergelar Sangaji Siko di Gunange, Kayoa, sebuah wilayah di Kabupaten Halmahera Selatan.
“Maka 4 imam tadi diperintahkan menemui Sangaji Siko, meminta kesediannya ke Ternate,” jelasnya.
Di Ternate, Sangaji Siko pun menyanggupi permintaan sultan dan meminta waktu 7 hari 7 malam, untuk prosesi Sihotu Mari. “Batunya ditidurkan di kedaton,” katanya.
Memasuki masa Maulana Saidana Kaucil Muhammad Yamin, Sultan Ternate ke – 39, terjadi bencana letusan Gunung Gamalama pada 1676.
Dari peristiwa itu, sang sultan pun memerintahkan apabila ada pembangunan musala atau masjid, maka batu yang diambil adalah bekas lava Gunung Gamalama, atau di Ternate secara umum dikenal dengan sebutan batu angus.
Kini, rangkaian peristiwa sejarah itu terulang dalam proses pembangunan Masjid Makarimal Akhlak.
Menggunakan batu angus dalam peletakan batu pertama, pada masing-masing tiang masjid terdapat 4 imam, ditambah unsur pemerintahan. Sedangkan yang bertugas membacakan doa adalah Imam Jawa.
Menurut Masud, ritual Sihotu Mari, Sikata Mari, hingga Uto Mari adalah hak dan tanggung jawab Sigi Heku Kesultanan Ternate.
Karena Heku meliputi unsur-unsur alam semesta. “Ada hak Allah, hak Muhammad, hak manusia, dan hak diri. Asas ini yang melekat di Heku,” terangnya.
Sebelum pembongkaran fisik bangunan, para badan sara dari Masjid Makarimal Akhlaq dan Sigi Heku, melaksanakan prosesi Singali Sigi atau Singali Jumat.
“Singali adalah pemindahan perangkat kelengkapan salat Jumat seperti tifa masjid, tongkat khatib, sajadah dan tasbih imam, serta panji-panji mimbar,” ujar Busranto Latif Doa, pembina Karamat.
Sehingga selama tahap pembangunan, pelaksanaan salat Jumat dipindahkan ke Musala Al-Mukarrabun, yang jaraknya sekira 250 meter dari lokasi.
Konsep Tradisional dan Modern Menyatu
Berdasarkan desain gambar yang diperoleh Jazirah Indonesia, masjid tersebut bakal dibangun 2 lantai.
Fanyira Tolongara Kesultanan Ternate, yang juga masuk dalam unsur kepanitiaan pembangunan masjid, Rinto Mahmud mengaku, pada fisik masjid, ada perpaduan antara tradisional dan modern.
“Kubahnya sama seperti masjid kesultanan, baik Sigi Heku maupun Sigi Lamo. Sedangkan bangunannya berbentuk kubus, jadi ada nuansa modern di sini,” katanya.
Alasan renovasi karena jumlah penduduk di Dufa-Dufa semakin meningkat. Apalagi keberadaan masjid tepat di kawasan pasar dan pelabuhan.
“Jadi dibuat dua lantai dan minimalis, untuk mensiasati jumlah jemaah. Apalagi di hari-hari besar umat Islam,” ujar Presidium Karamat ini.
Terkait anggaran, menurut dia, dibutuhkan sekira Rp3 miliar. Dan sejauh ini, yang terkumpul dari para penyumbang lewat skema lelang kurang lebih sekira Rp1 miliar.
“Bagi yang mau menyumbang, kami tetap buka skema lelang selama proses pembangunan berlangsung,” pungkasnya.
Presidium Madopolo Karamat, M. Ronny Saleh, menambahkan, mewakili masyarakat Dufa – Dufa, ia bersama Pembina Karamat Sukarjan Hirto sebagai panitia peletakan batu pertama, mengucapkan terimakasih kepada para penyumbang.
“Semoga pembangunan Masjid Makaraimal Akhlaq ini berjalan lancar dan aman sampai selesai,” harapnya.
Penulis : Nurkholis Lamaau
Editor : Nurkholis Lamaau
Komentar