Oleh : Asgar Saleh.
Bosan dengar cerita para veteran perang yang stres dan bunuh diri usai pulang perang, Clay Vissel lalu membuat “lompatan”. Bersama beberapa jenius, ia mengkloning seorang jagoan yang tak pernah kalah.
Pembunuh kelas satu ini (diperankan dengan old style oleh Will Smith) dibuat tipe barunya. Lebih muda, mahir, lebih cepat dan tanpa kompromi. Bagi Clay, inilah jalan pintas untuk mengukuhkan kembali dominasi negaranya meski sejarah tak pernah lepas dari manusia sebagaimana ending film “Gemini Man” yang tengah tayang.
Sejarah selalu mencatat dengan detil, setiap “lompatan” selalu berinteraksi dengan manusia. “Lompatan” itu selalu bertujuan merubah sesuatu yang mendasar dengan cepat. Ia kadang hadir tanpa direncanakan, atau bisa juga dengan banyak rencana. Karenanya ” lompatan” itu yang kita sebut dengan revolusi kadang menggandeng kekerasan untuk memaksa, atau ada juga yang “melompat” dalam damai.
Saat Tiongkok dipimpin Mao Zedong, nasehat hidup ala Konghucu yang menganjurkan orang “berlaku pelan asal tidak berhenti bekerja” dilarang. Mao menginginkan semua serba cepat. Semua harus melakukan “lompatan” agar Tiongkok bisa maju dan bersaing dengan negara lain. Dalam bukunya “Mao’s War Against Future”, Judith Shapiro menyebut, semasa Mao berkuasa, satu hari di Tiongkok sama dengan 20 tahun.
Inspirasi tentang “lompatan” bisa jadi juga membuat Soekarni, Wikana, Aidit dan Chaerul Saleh bersama geng Menteng 31 berani menculik Soekarno dan Hatta. Kamis dinihari 16 Agustus 1945, Soekarno Hatta dibawa ke Rengasdengklok, mereka dipaksa untuk segera membuat pengumuman, Indonesia Merdeka. Mengapa harus cepat diumumkan?.
Kita tahu dari buku sejarah, saat itu Jepang telah kalah dan Belanda mengintai untuk masuk menjajah lagi. Besoknya, usai naskah proklamasi selesai diketik di rumah seorang China, Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dunia segera tahu telah lahir sebuah negara baru, Republik Indonesia yang berdaulat.
Awal Maret 1999, usai hujan membasahi Ternate, 11 anak muda yang tak dikenal juga membuat “lompatan”. Mereka yang kebetulan semuanya aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memilih mogok makan. Ini bentuk protes karena DPR di Jakarta kabarnya tak akan membahas usulan provinsi baru bernama Maluku Utara.
Mengapa mogok makan?. Abdul Kader Bubu, satu dari 11 anak muda itu bilang, pemerintah pusat tak peduli, mereka juga lelah berdemonstrasi. Usai beberapa kali demonstrasi yang tak digubris, DPR tak bergeming. Agenda sidang tak akan membahas usulan ini.
“Kita sepakat mogok makan dengan konsekuensi mati karena semua jalan perjuangan buntu”. Safia Marsaoly, satu-satunya perempuan pemberani dalam aksi mogok makan itu menegaskan hal yang sama. Mereka hanya ingin ada perhatian Jakarta. Safia sangat yakin jika Maluku bagian Utara yang hanya punya dua kabupaten dan satu kota administratif mekar jadi provinsi sendiri lepas dari Maluku, maka rakyat akan sejahtera.
Meski berjuang untuk rakyat yang bisa jadi tak merasa diwakili, Safia dan kawan – kawannya konsisten. Selama empat hari, mereka, 11 anak muda itu tidur beralaskan tikar di jalanan depan kantor Bupati Maluku Utara. Tak makan sama sekali. Wajah mereka keras. Mereka juga menolak dibawa ke rumah sakit meski dokter datang membujuk. Banyak dukungan mengalir. Hari kedua, Anas Urbaningrum,
Ketua Umum PB HMI datang menjenguk. Anas bahkan naik di sebuah kursi (kadera) kayu untuk berorasi menegaskan dukungannya pada perjuangan rakyat. Seperti juga pada banyak lakon perjuangan, pasti ada cibiran. Safia merekamnya dalam memori saat mogok makan memasuki hari ke empat, saat tubuh menyerah dan nyawa menunggu pergi, ada seorang pegawai yang menyumpah di tengah kerumunan. “Bodoh..tinggal la mampos”.
Di hari ke empat, Tuhan mengerakkan hati Bupati Maluku Utara Abdullah Assagaf, Bupati Halmahera Tengah Bahar Andili dan Walikota Syamsir Andili datang membujuk. 11 anak muda itu akhirnya rela diangkut ke rumah sakit setelah para Bupati dan Walikota berjanji mendukung penuh perjuangan pemekaran provinsi. Tak sekedar kata tetapi juga lewat dokumen resmi pemerintah daerah.
Lalu dimulailah “lompatan” bersama yang lebih besar dan terstruktur. Nyaris semua elemen bergerak di tiap daerah. Mulai dari Ternate, Tidore, Ambon, Manado, Makassar, Surabaya, Malang, Jogja, Bandung hingga Jakarta. Di Bandung, sebuah catatan fenomenal ditulis saat DPRD Jawa Barat atas desakan mahasiswa – jadi satu-satunya di luar Maluku – membuat surat keputusan untuk mendukung perjuangan pemekaran provinsi Maluku Utara.
Saya beruntung menyaksikan beberapa episode perjuangan ini. Semua orang bergerak tanpa pamrih. Tak ada ambisi mau jadi apa kelak. Apalagi bagi – bagi kuasa nanti. Yang penting perjuangan ini yang sudah mengorbankan banyak darah dan airmata sejak tahun 50-an harus tuntas. Now or Never.
Dalam setiap “lompatan” itu, menurut saya ada dua elemen yang sangat berpengaruh. Mahasiswa dan Media. Hamid Usman, politisi senior yang terlibat sangat aktif dalam perjuangan pemekaran mengakui jika para politisi entah yang di parlemen atau birokrasi hanya “memperjuangkan” sesuatu yang telah “diperjuangkan” mahasiswa di jalanan.
Momennya mungkin agak ajaib karena berkelindan dengan aksi-aksi reformasi. Sofyan Daud, salah satu penggerak aksi mahasiswa bertutur, sukses menumbangkan Soeharto juga jadi stimulan. Di pusat kekuasaan, Republik juga tengah menata diri. Gerakan mahasiswa adalah api perjuangan. “Malam itu, saya menulis sendiri tulisan Maklumat Rakyat Moloku Kie Raha yang berisi beberapa tuntutan atau referendum di kain hitam berukuran 8 x 4 meter. Pake cat matex, siapa yang menyuruh? Hati kami yang menyuruh, hati para mahasiswa”.
Peran tak kalah krusial dikontribusi oleh para jurnalis. Ada beberapa yang didatangkan dari Jakarta untuk memotret perjuangan lewat kamera TV. Namun yang lokal juga tak kalah penting. RRI Ternate jadi corong. Kantor Berita Antara yang dikelola almarhum Sagaf Yahya bertugas menyebar aksi dan tuntutan lewat berita koran yang banyak dikutip.
Saat tensi perjuangan menurun, Tabloid Ternate Post yang dipimpin Abdurahman Lahabato dan Redaktur Rusli Djajil terus membakar lewat tulisan dan reportase yang provokatif. Media saat itu tak secepat saat ini. Kaset besar hasil shooting TV masih dikirim dengan pesawat komersil via Manado. Berita Antara mesti di faksimile. Ternate Post masih dicetak di Manado. Tokoh media jadi prioritas. Tak ada kata menyerah untuk mengabarkan setiap jejak perjuangan.
22 tahun setelah “merdeka” sebagai provinsi sendiri. Yang berganti hanya nama. Ibukota kitapun masih desa. Banyak mimpi besar 11 anak muda itu belum sepenuhnya terwujud. Sejahtera masih jadi imajinasi.
Kalaupun hadir hanya untuk sebagian yang sedikit. Sebagian yang banyak masih berjuang dengan cara sendiri untuk maju atau sekedar bertahan. Sikap Republik juga tak berubah. Otonomi Daerah yang jadi anak kandung reformasi mulai berbalik arus.
Dulu kekuasaan yang adil dipercaya akan membawa nikmat bagi rakyat kebanyakan yang ada di daerah. Makanya otonomi didorong tanpa kecuali. Saat ini, otonomi hanya nama karena semua urusan mudik lagi ke Jakarta.
Sepertinya kita butuh satu “lompatan” lagi. Lompatan ini meski masih mencari bentuk tetapi baiknya disepakati dengan keyakinan yang sama. Kita butuh sebuah otonomi yang diperluas. Sesuatu yang khusus untuk mempercepat sejahtera. Apa dasarnya? Jawabnya sangat mudah. Daerah ini dulu punya banyak negara berdaulat, punya rakyat dan wilayah.
Kita saat itu sangat sejahtera. Relasi perdagangan dibangun dengan bangsa lain. Kita sempat dijajah tetapi kita berperang dan merdeka. “Kita” yang diwakili para pemimpin saat itu memilih bergabung dengan Indonesia yang masih sangat muda karena kita percaya rumah besar ini akan jadi rumah bersama. Di dalamnya keadilan dan sejahtera dengan “K” dan “S” akan jadi milik semua.
Saat keduanya tak hadir, kita pantas bertanya. Tak dijawab kita juga pantas meminta. Kita bisa sedikit kurang ajar sebagaimana puisi Orang Bertujuh punya Mohamad Saleeh Rahamad, “kalau perlu kita kurang ajar kerana kita sudah lama mati dalam sabar”.
Otonomi Khusus dalam tafsir Hendra Kasim, dosen hukum dan pegiat demokrasi lokal, adalah hal yang biasa dalam dimensi ketatanegaraan. Hendra menyebutnya sebagai desentralisasi asymetris. Memberikan kewenangan khusus ke daerah tertentu sesuai potensinya.
Mungkin kita disini lebih pada pengelolaan kelautan karena alasan geografis dan demografi. Apapun dasarnya, saya lebih suka bicara sejarah dan budaya yang jadi dasar. Karena Tidore (Maloku Kie Raha), Papua jadi bagian dari Indonesia yang utuh dari Sabang hingga Merauke. Ada pertalian keadaban yang sangat kuat. Kita juga sudah mati berkali kali untuk NKRI. Kita juga terbiasa mengelola kemajemukan. Dan itu social capital yang dibutuhkan Indonesia nanti.
Saya tulis catatan ini bukan untuk mendebat diskursus yang tak penting. Otonomi khusus adalah kebutuhan masa depan. Bukan keinginan saat ini yang sempit dan tak bulat. Daerah ini dan banyak rakyat di dalamnya butuh “merdeka”. Ini tentang hati. Seperti yang selalu diucap berulang kali oleh Lafran Pane, Guru Bangsa pendiri HMI dan Pahlawan Nasional, bahwa merdeka itu sejak dalam hati. Karenanya setiap perjuangan butuh kesepakatan hati dari para pejuangnya.
Dengan ini selayaknya kita mengenang 11 anak muda yang rela jadi martir itu. Abdul Kadir Bubu, Ahmat Samuda, Almarhum Asnawi Serang (meninggal dalam kerusuhan di Mamuya), Ibnu Khaldun Yahya, Nyong Alkatiri, Bahrudin Abdul Hamid, Abdul Kadir Din, Almarhum Kusmayadi Taher (meninggal saat rusuh di Duma), dua kakak beradik Maneke, Idrus dan Irwanto serta Safia Marsaoly. Biar sejarah tak lupa karena tua. Lagipula dengan segala prosesnya, perjuangan butuh orang jujur.
Komentar