oleh

Refleksi Sumpah Pemuda, “Melawan Kemunduran Demokrasi”

Oleh: Wiranto Fihri
(Pegiat Literasi Halmahera)

“Common enemy kita hari ini bukanlah rezim otoriter, tetapi demokrasi itu sendiri. Demokrasi telah dikorupsi oleh elit politik yang berhasil mentransformasikan diri melalui pintu demokrasi”

Sistem demokrasi yang baik adalah yang dalam dirinya terkandung mekanisme untuk mampu mengoreksi dan meluruskan dirinya sendiri serta mendorong pertumbuhan dan perkembangan ke arah yang lebih baik.

Demokrasi akan membawa kebaikan jika demokrasi dijalankan sesuai dengan definisi demokrasi itu sendiri, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Orang-orang yang dipercaya mewakili rakyat atau “pengemban demokrasi”, menjadi utusan yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat.

Sebaliknya, demokrasi akan membawa keburukan jika dijadikan alat oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan gamblang sejarah telah mencatat bagaimana demokrasi menunjukan wajah menakutkan.

Fenomena demokrasi pasca gelombang ketiga demokrasi (democracy’s third wave) hingga abad 21 menunjukan bahwa kemunduran demokrasi berada di tangan para politisi yang terpilih secara demokratis, dari pada didorong oleh aktor-aktor extra sistemik seperti militer (militaries) atau kelompok pemberontak (insurgent groups).

Regresi demokrasi ini dalam konteks Indonesia pasca pemilu 2019 ditunjukan oleh setidaknya tiga hal. Pertama,  revisi UU KPK dan disahkanya UU Omnibuslaw yang dilakukan secara kilat dinilai melemahkan institusi KPK dan membuka kerang ketidak adilan serta mencederai narasi anti korupsi yang menjadi semangat reformasi. 

Pemberlakukan secara otomatis UU KPK (UU No. 19 Tahun 2019), dan Omnibuslaw dianggap menguntungkan elit politik tanpa melalui proses yang mengakomodasi aspirasi publik. Dengan demikian gerakan mahasiswa mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perppu pembatalan UU KPK juga Omnibuslaw sebagai ujian keberpihakan presiden terhadap narasi antikorupsi tersebut.

Kedua, regresi demokrasi terlihat dari pendekatan pemerintah dalam merespon tuntutan gerakan demonstrasi. Pemerintah menggunakan pendekatan represif dalam merespon aksi demonstrasi. Dalam konteks ini pendekatan represif dilakukan dengan melakukan penangkapan terhadap warga masyarakat sipil yang menyampaikan aspirasi lewat demonstrasi.

Ketiga, regresi demokrasi berkaitan dengan porsi oposisi dalam pemerintahan. Hasil pemilu 2019 menunjukan minimnya porsi oposisi yang kuat di dalam parlemen berimplikasi pada minimnya pengawasan terhadap pemerintah, akibatnya tidak ada check and balances di dalam proses demokrasi (74% kursi DPR dikuasai koalisi pemerintah).

Orientasi pemerintahan Jokowi yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi melalui stabilitas politik mengingatkan kita pada rezim Orde Baru yang meninabobokan rakyat Indonesia selama 32 tahun. Presiden Jokowi mestinya belajar dari kegagalan Orde Baru yang menggaungkan pembangunan dengan menciptakan stabilitas politik semu melalui pendekatan represif.

Dalam sistem politik yang lebih terbuka seperti sekarang, pendekatan ini hanya akan memancing perlawanan yang lebih besar dari masyarakat. Pemerintahan dan parlemen yang dihasilkan melalui proses demokratis seharusnya juga merapkan kebijakan dan cara-cara yang demokratis pula.

Hal ini cukup berbeda dengan konteks Malaysia yang memiliki oposisi kuat di dalam pemerintahan. Terpilihnya Mahathir Muhammad sebagai Perdana Menteri melalui pemilu menjadi tanda kemenangan oposisi dan keberhasilan dari gerakan demonstrasi yang pernah dilakukan.

Kemunduran demokrasi di negara ini juga didasarkan pada catatan The Economist Intelligent Unit (EIU) pada Januari 2020, indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan dari posisi 48 menjadi 68. Sehingga Indonesia memegang predikat sebagai negara cacat demokrasi (flawed democracy).

Fenomena kemunduran demokrasi dipotret oleh Aspinall dkk dalam studi terbarunya tentang Elite, Massa, and Democratic Decline in Indonesia (2019), studi tersebut menunjukan satu fenomena baru bahwa mayoritas elit politik dan masyarakat secara luas mendukung demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik Indonesia saat ini.

Namun perbedaan diantara keduanya adalah mengenai cara pandang dalam memahami demokrasi; politisi cenderung memegang pandangan demokrasi prosedural yang mengartikan sebatas pada pelaksanaan pemilu yang bebas, sedangkan masyarakat secara luas memiliki interpretasi demokrasi substantive yang memahami demokrasi sebagai sistem yang memberikan kesejahteraan ekonomi dan kesetaraan.

Dalam kesempatan ini penulis menilai demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemunduran. Dengan menggunakan empat aspek penting untuk dijadikan indikator penilaian demokrasi Indonesia. Di antaranya, supremasi hukum, kebebasan sipil, partisipasi sipil, dan perlindungan hak asasi manusia. Yang terjadi hari ini adalah kita mundur sangat jauh.

Pertama perihal supremasi hukum, pemerintah Indonesia dinilai belum memiliki tekad kuat untuk agenda reformasi di sektor keamanan. Patut dipertanyakan fenomena ketika ada prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, tetapi diadili di peradilan militer.

Hal itu bisa mengakibatkan lahirnya rantai impunitas. Kedua soal penegakan terhadap hak asasi manusia. Pemerintah tidak menaruh perhatian serius terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu sampai sekang ini.

Mengutip kerja penyelidikan pro justisia Komnas HAM, hingga saat ini ada sembilan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menggantung di Kejaksaan Agung. Hal itu juga berbuntut pada ketiadaan perlindungan dan jaminan hak asasi manusia untuk saat ini.

Ketiga Pemerintah juga sangat minim melibatkan partisipasi publik dalam merumuskan suatu kebijakan. Skema perumusan legislasi di parlemen tidak partisipatif bahkan tertutup. Padahal dalam negara demokrasi, kunci negara demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat dan partisipasi rakyat adalah hal mutlak.

Keempat banyak kriminalisasi yang menyasar korban bahkan kelompok pembela HAM saat memperjuangkan nasibnya. Meskipun kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul menjadi barang mahal di kehidupan Indonesia sekarang.

Dari keempat aspek inilah dapat dinilai bahwa Indonesia sedang menggali kuburan kematian demokrasinya sendiri. Atas dasar itu, maka pengembalian kedaulatan demokrasi yang berpusat di tangan rakyat, agar pintu partisipasi dan kebebasan sipil diberikan selebar-lebarnya. Serta transparansi dan akuntabilitas kerja Pemerintah dan DPR juga partai politik, sebagaimana perintah demokrasi yang sejatinya.

Gerakan Mahasiswa dan pemuda pada momentum peringatan sumpah pemuda tahun kemarin dan hari ini sebetulnya menjadi pertanda bahwa gerakan perlawanan terhadap kemunduran demokrasi (fighting for democracy) termasuk di dalamnya narasi anti korupsi ini masih belum selesai.

Dan, secara mendalam gerakan ini berarti Indonesia memanggil rakyatnya untuk turut melakukan pengawasan terhadap eksekutif maupun legislatif agar tidak membiarkan reformasi kita dikorupsi.

Gerakan pemuda yang dilakukan mahasiswa di berbagai daerah adalah gerakan perlawanan terhadap kemunduran demokrasi yang dilakukan oleh elit-elit yang dihasilkan melalui proses yang demokratis. Gerakan-gerakan tersebut merupakan tuntutan untuk mengembalikan reformasi pada jalan yang dicita-citakan.

Komentar