Jazirah Indonesia – Tindak korupsi di Indonesia masih marak terjadi, ini semakin menumbuhkan keresahan masyarakat. Kejahatan korupsi semakin menjadi ancaman nyata meskipun pandemi tengah melanda.
Korupsi memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap ketahanan suatu negara. Sementara faktor yang memicu adanya tindak korupsi pun hadir melalui berbagai aspek.
Dalam catatan KPK pada Oktober 2021 lalu, sebanyak 22 gubernur sudah dijerat lantaran terlibat korupsi.
Untuk kepala daerah setingkat bupati dan wali kota sudah 122 orang yang dijerat KPK dari 542 pemerintahan kota/kabupaten.
Kepala daerah dalam pusaran kasus korupsi masih terus tersangkut. Terbaru, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi diduga terlibat tindak pidana suap pengadaan barang jasa dan jual beli jabatan di Pemkot Bekasi.
Sebelumnya, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai, maraknya kepala daerah kerap korupsi didasarkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor dominannya adalah biaya politik yang mahal.
“Menjadi kepala daerah itu biayanya tidak sedikit, sehingga saat dia sudah menjadi kepala daerah dia berusahan keras untuk mengembalikan uang yang telah dipakai berkampanye tersebut,”ujarnya saat dikutip republika beberapa waktu lalu.
Faktor selanjutnya menurutnya adalah faktor internal pelaku. Ia menagtakan, orang yang melakukan pratik koruptif sebenarnya bukan berdasarkan kebutuhan melainkan karena sifat tamak atau rakus.
“Faktor kedua adalah tamak, gaya hidup yang tinggi, merasa ingin dihormati dan dihargai”, katanya.
Dia mengatakan, setiap datang ke masyarakat inginnya memberi terus. Ini lah yang membuat mereka mencari uang dengan cara yang tidak pantas, seperti korupsi.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani pada Kamis (6/1/2022) juga mengatakan hal yang sama yakni, penyebab kepala daerah, anggota legislatif hingga pejabat pemerintahan ditangkap lembaga antirasuah disebabkan pelbagai hal. Salah satunya terkait biaya politik yang mahal.
“Soal banyaknya pejabat pemerintahan dan juga anggota legislatif baik di pusat maupun di daerah itu, termasuk kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi penyebabnya sebetulnya sudah sama-sama kita ketahui, yakni penyebab yang sistemik. Biaya politik yang mahal itu hanya salah satunya,” ujar Arsul.
Basaria Panjaitan semenjak masih menjabat Wakil Ketua KPK menggariskan, ada beberapa faktor kenapa kepala daerah masih melakukan korupsi.
Pertama kata Basaria, para kepala daerah tidak konsisten dan tidak menjalankan program dan kegiatan pencegahan korupsi di lingkungan pemerintah daerah masing-masing.
Padahal kata Dia, KPK sudah sering kali turun ke daerah dan melakukan pendampingan termasuk Provinsi Kepri sejak 2018.
“Ini kembali kepada orangnya. Dia sudah punya komitmen (pencegahan korupsi), dia sudah sumpah sebelum menduduki jabatan itu, kembali kemudian dia ingkari. Kita sudah melakukan pencegahan tapi tidak diikuti,” ujarnya.
Kedua, kepala daerah dan pemda masing-masing cenderung tidak menjalankan proses pelayanan publik secara transparan termasuk di antaranya dalam proses pengajuan dan pengurusan perizinan.
Padahal untuk mengantisipasi korupsi di aspek perizinan harusnya ada kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan menggunakan sistem online (elektronik) guna menghindari tatap muka.
“Dengan PTSP secara online tidak ada lagi yang mendatangi kepala daerah. PTSP dihampir seluruh daerah sudah ada, tapi yang secara online dan kita pantau ternyata belum semuanya jalan”, katanya.
Untuk pembenahan kedepan, menurut Arsul Sani, diperlukan langka sistemik. Salah satu perubahan yang menyangkut hal tersebut adalah mengenai Pilkada langsung.
Menurut Arsul, perlu dikaji kembali Pilkada asimetris. Yaitu pilkada yang tidak seluruh daerah menggelar pilkada langsung. Ada daerah yang kepala daerah dipilih oleh DPRD.
“Langkah sistemik tentu menyangkut perubahan sejumlah hal, antara lain soal Pilkada langsung. Menurut saya ide atau gagasan Pilkada asimetris itu perlu dikaji lebih dalam untuk kita terapkan,” ujarnya.
“Artinya tidak semua daerah bisa Pilkada langsung. Perlu ada parameter agar daerah tersebut dalam memilih kepala daerahnya dengan langsung atau oleh DPRD,” kata wakil ketua umum PPP ini.
Tingkat korupsi di daerah itu bisa menjadi parameter apakah pilkada digelar secara langsung atau tidak. Daerah yang korupsinya tinggi bisa digelar Pilkada tidak langsung.
“Parameter ya ya bisa bermacam-macam termasuk penilaian tingkat korupsinya. Atau misalnya jika ada korupsi di daerah tersebut yang masih tinggi tingkatannya maka iya daerah tersebut tidak bisa Pilkada langsung,” kata Arsul.
Untuk mencegah rentetan daftar panjang pejabat daerah yang korupsi, Ujang Komarudin berpendapat, berbagai pihak perlu meningkatkan pengawasan.
Terutama kata Dia, KPK pun perlu melipat gandakan penindakan terhadap pelaku–pelaku korupsi.
“Pertama mereka harus benar–benar disumpah agar tidak melakukan korupsi. Semua pihak, mulai inspektorat pemda, DPRD, KPK sampai masyarakat perlu meningkatkan pengawasan,”tuturnya.
Komentar