oleh

Hilirisasi Setengah Hati

Oleh: Masgul Abdullah
(Direktur Lembaga Study Perlindungan Masyarakat Tambang (LESPERMATA) Maluku Utara)

 

RANCANGAN hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) khususnya sektor pertambangan sebenarnya sudah digagas Presiden SBY 10 tahun lalu, kemudian melalui Undang-Undang Minerba Tahun 2014 larangan ekspor bahan mentah diberlakukan.

Namun, dimasa Presiden Jokowi periode pertama kebijakan ini tidak tuntas, malah kran ekspor dibuka kembali selama lima tahun.

Waktu itu, skemanya, proses hilirisasi berjalan, namun izin ekspor juga diberikan kepada korporasi yang menunjukan komitmennya melaksanakan hilirisasi dengan konsisten melaporkan progres membangun Pabrik Smelter.

Malah,  yang berhasil membangun Pabrik Smelter adalah swasta yang didominasi Investor Cina, misalnya Morowali di Sulawesi dan di Kawasih Hamahera Selatan serta IWIP di Weda Halmahera Tengah adalah sebagai contoh nyata asing bercokol melalui kebijakan hilirisasi SDA kita.

Saya ingat, kebijakan hilirisasi itu kembali mencuat tanggal 1 Januari 2020, larangan ekspor bahan mentah diberlakukan lagi. Lalu untuk apa hilirisasi itu dilakukan kalau yang bermain di dalamnya adalah pihak asing, pertanyaannya, dimana BUMN-BUMN kita ?

Jika program hilirisasi itu menjadi bagian dari upaya Nasionalisasi SDA kita, kenapa pemerintah tidak ikut mendorong BUMN kita agar dapat membangun Pabric Smelter dengan cepat, jika BUMN kita dilepas bersaing dengan swasta, ya kalah lah. Lah, mereka selama ini mencari uang untuk APBN, melalui kewajiban Deviden dll. Berapa uang yangg mereka simpan..?

Sedangkan swasta mencari uang untuk pemilik perusahan, pemilik modal, lingkungan dan K3 tidak menjadi prioritas, yang penting untung besar. Swasta menciptakan ruang konflik antara kelas sosial. Selama masih ada ruang disparitas antara pemilik modal dan  Kaum Pekerja (Proletar) maka konflik antara kelas terus terjadi.

Kalau BUMN-BUMN kita yang ‘mati’ bersaing dengan swasta itu dibiarkan di ‘gebungkin’  oleh publik, sengaja Opini yang dibangun mereka tidak mampu, ujung nya KP mereka sebagian dialihkan ke pihak swasta. Disinilah salah kaprah program hilirisasi SDA kita. Siapa yg sesungguhnya bermain disini..?

Mirisnya, industri hilirisasi pertambangan di negara luar sudah menjadi ancaman polusi, karena penanganan limbahnya sudah mulai mengancam lingkungan. Mereka sengaja membuat terobosan bisnis agar industri mereka direlokasi ke negara-negara pemilik bahan baku termasuk Indonesia. Mesin-mesin mereka bekerja di negara kita, tapi produknya dibawa ke negara mereka.

Sama saja, mereka sedang mengangkut limbah ke negara kita. Dulu, limbah-limbah  mesin pengolah tambang itu mengalir diatas tanah mereka, sekarang mengalir diatas tanah kita.

Begini, dulu kita menjual bahan mentah (ore) dengan mengangkut (ekspor) keluar Negeri, sekarang kita jualnya di dalam negeri, yang mau beli harus datang  dan mengolahnya disini. Sama saja, karena yang beli mereka-mereka itu juga, terus kita berdikari di bidang Sumber Daya Alam nya dimana..?

Toh, mereka datang membawa SDM mereka, Teknologi mereka, produknya di bawa ke negara mereka, kita dapat jatah lingkungan yang sudah rusak, untung-untung ada reklamasi dan reboisasi. Kita berdikari jika proses hilirisasi itu yang kerjakan adalah anak anak negeri melalui BUMN-BUMN kita, menggunakan teknologi kita, produknya kita yang gunakan, keuntungannya masuk ke kantong negara.

Komentar