oleh

Respon Dosen Filsafat UGM Soal Penendang Sesajen Semeru

Jazirah Indonesia – Tradisi sesajen biasanya dikaitkan dengan ritual yang diadakan untuk tujuan tertentu, sehingga benda-benda yang disiapkan untuk tiap sesajen dapat berbeda. Tradisi ini sudah ada sejak sebelum Islam masuk, bahkan sebelum Hindu dan Budha.

Di masyarakat Indonesia tradisi sesajen sering diartikan sebagai bentuk persembahan, baik kepada dewa, roh leluhur atau nenek moyang dan mahluk-mahluk yang tidak terlihat lain.

Ini disampaikan Sartini, Dosen Filsafat UGM, sebagai reponnya terkait kasus penendang dan pembuang sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru.

Dimana pelaku telah ditangkap polisi di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis malam, 13 Januari 2022 dan telah ditetapkan sebagai tersangka.

Soal tradisi sesajen lanjut Sartini, masing-masing unsur dalam sesajen memiliki filosofi sendiri.

Di Jawa, kata Sartini, sesajen sering disebut uborampe atau kelengkapan. Di Lumajang, bila itu tradisi mungkin orang yang melakukan sesajenmenganggap Semeru sebagai mahluk.

“Memiliki kekuatan dan berharap Semeru tidak murka lagi. Dalam konteks sekarang, tentu di sana termuat permohonan kepada Tuhan agar mereka diberi keselamatan. Perlu penelitian khusus untuk mengkaji fenomena ini,” kata Sartini, Sabtu (15/1/2022); dilansir republika.co.id

Di Tanah Air, menurut Sartini, kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan paham yang meyakini adanya roh yang hidup bersama manusia di alam semesta ini. Roh itu berupa roh orang yang sudah meninggal dunia, nenek moyang atau leluhur.

Benda, tumbuhan atau hewan juga sering dianggap memiliki roh dan mempunyai kekuatan besar, maka gunung atau laut dianggap harus dihormati keberadaannya. Sebagian kepercayaan ini mungkin masih ada di bumi Nusantara.

Dia menduga sulit dibedakan dengan pemahaman jika ada mahluk tidak terlihat yang hidup bersama manusia, bisa di mana saja, gunung, laut dan lain-lain. Mahluk ini dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan atas tempat tertentu.

Hal tersebut membuat harus diberikan penghargaan atas keberadaannya. Tradisi membuat sesajen dapat menjadi bagian bentuk masih ada kepercayaan itu. Manusia merasa harus berdamai, hidup bersama mahluk yang tidak terlihat itu.

Terkait pemahaman Islam, fenomena sesaji munculkan banyak tafsir, karena pandangan itu intinya, sesajen dipersembahkan memohon sesuatu kepada selain Allah hukumnya haram atau dilarang. Meski begitu, masih ada pandangan yang memberi peluang.

Dosen filsafat ini melanjutkan bahwa, orang yang membolehkan mungkin berpandangan kalau melakukannya sebagai sekadar tradisi dan niat permohonan tetap kepada Allah.

Sehingga tidak menjadi masalah. Alasannya, karena niat permohonannya tetap ditujukan kepada Allah.

“Masalahnya, tidak bisa orang memahami niat orang lain dengan hanya melihat apa yang dilakukan. Inilah yang sering menimbulkan banyak persoalan sosial,” kata Sartini.

Keyakinan dan pemahaman sebagian masyarakat soal sesaji dinilainya, akumulasi pengalaman sepanjang hidup. Dalam kelompok yang mungkin mengakomodasi agama dan tradisi, hibridisasi mungkin dapat dilakukan dengan sosialisasi makna simbol.

Sehingga, orang tidak memahami sebagai mitos dan kepercayaan semata yang bila tidak dilakukan, maka menyebabkan hal-hal tertentu. Rasionalisasi simbol-simbol ritual diperlukan hadapi masyarakat yang semakin modern, rasional dan materialistik.

Selain itu, ia berpendapat, kelompok beragama perlu sering berdialog dan sering bertemu, sehingga satu dengan yang lain lebih merasa sebagai teman. Menurut Sartini, sering berkumpul dan berkunjung akan dapat menimbulkan empati.

“Karena ikut merasakan kehidupannya, sehingga tidak akan mudah memaksa-maksa orang lain untuk sama dengan dirinya,” ujar Sartini.

Komentar