Jazirah Indonesia – Kebijakan pemerintah Indonesia untuk melakukan hilirisasi dan larangan ekspor produk mineral mentah dan batu bara menuai protes sejumlah negara, baik Eropa maupun di Asia.
Sikap pemerintah itu mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.
Sebagai langkah awal, sejak 1 Januari 2020 pemerintah Indonesia berlakukan larangan ekspor bijih nikel sebelum dilakukan pemurnian.
Dikutip dari Liputan6.com, Rabu (26/1/2022), kebijkan larangan ekspor tersebut membuat Uni Eropa (UE) meradang. Organisasi supranasional negara–negara Eropa itu lantas menggugat Indonesia ke Word Trade Organization (WTO) perihal pembatasan ekspor nikel, biji besi, dan kromium yang digunakan sebagai bahan baku industri baja nirkarat (stainless steel) Eropa.
Dalam gugatannya, UE menuduh kebijakan Indonesia itu hanya menguntungkan industri leburan dan baja nirkarat di negaranya sendiri.
Presiden Joko Widodo menanggapi santai gugatan yang diajukan UE itu. Ia bahkan menyerukan agar Indonesia tidak gentar meskipun digugat di lembaga internasional.
“Meskipun kita digugat di WTO, enggak apa-apa. Kan nikel, nikel kita, barang, barang kita. Mau kita jadikan pabrik di sini, hak kita dong,” tegas Jokowi.
Langkah Indonesia ini disebut UE sebagai pemicu beban di sektor baja mereka yang tengan menghadapi risiko. Hal ini diakui Komisi Perdagangan Uni Eropa Cecilia Malmstrom.
“Terlepas dari upaya bersama kami, Indonesia telah mempertahankan langkah-langkah dan bahkan mengumumkan larangan ekspor baru untuk Januari 2020,” ujarnya dalam sebuah pernyataan.
Selanjutnya, pada periode 1-31 Januari 2022 pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan surat Nomor B-1605/MB.05/DJB/2021 pada 31 Desember 2021.
Aturan itu merupakan instruksi larangan ekspor bagi seluruh pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian.
Kebijakan larangan ekspor batu bara itu lantaran adanya krisis pasokan untuk sektor kelistrikan PT PLN (Persero) di akhir tahun 2021.
Larangan pemerintah Indonesia kali ini membuat sejumlah negara di Asia merasa terganggu. Filipina, Korea Selatan hingga Jepang lantas mendesak pemerintah RI mencabut larangan ekspor batu bara.
Desakan dari Filipina disampaikan Menteri Energi Filipina Alfonso Cusi dalam surat yang dikirim melalui Departemen Luar Negeri kepada Menteri ESDM, Arifin Tasrif.
Isi surat itu meminta pemerintah Indonesia mencabut larangan ekspor batu bara karena akan merugikan ekenomi negaranya, yang sangat bergantung pada bahan bakar pembangkit listrik.
Negara tetangga ini juga meminta Departemen Luar Negeri menengahi dan mengajukan banding atas nama Filipina melalui jalur hubungan asosiasi negara – Negara Asia Tenggara (ASEAN).
Selanjutnya adalah Korea Selatan yang turut melayangkan protesnya ke Indonesia. Pemerintah negeri Gingseng itu melalui Menteri Perdagangan Yeo Han koo mendesak pemerintah RI mengembalikan kegiatan ekspor batu bara seperti semula.
“Menteri Perdagangan Yeo menyampaikan keprihatinan Pemerintah Korea terkait kebijakan larangan ekspor batu bara Indonesia, dan meminta dengan sangat kuat kerjasama dari Pemerintah Indonesia agar pengapalan batu bara bisa segera dimulai kembali,” bunyi pernyataan resmi Kementerian Perdagangan Korea Selatan.
Sama halnya dengan Filipina dan Korea Selatan, Jepang juga telah mengajukan protesnya melalui surat. yang disampaikan Kedutaan Besarnya di Indonesia.
Pemerintah Negeri Sakura itu meminta agar Pemerintah Indonesia tetap bisa mengirim batu bara berkalori tinggi yang biasanya tidak digunakan untuk pembangkit listrik di Indonesia.
“Larangan ekspor yang begitu tiba-tiba berdampak serius terhadap aktifitas ekonomi di Jepang dan kehidupan masyarakat sehari-hari,” demikian kutipan surat tersebut.
Editor : RIOR
Komentar