Oleh: Bambang Rano
(Penggiat Literasi Loga Loga)
SETIAP berjalan-jalan ke mall, minimarket, hotel dan pasar sebagai pusat perbelanjaan, khususnya di wilayah kota Ternate. Ketika kita berjalan-jalan ke kota, muncul perasaan kagum dan senang dengan gaya hidup modern. Tanpa disadari gaya hidup modern semacam ini mendidik warga kota dalam budaya selera dan konsumsi. Seperti kita menggunakan berbagai benda, mulai dari mobil, handphone, pakaian dan makanan.
Disaat kita masuk di mall berbagai macam barang yang bermerek menjadi penanda gaya hidup melakat pada atribut sosial. Hingga demikian, dunia bahasa, simbol, dan citra memiliki legitimasi identitas sosial.
Legitimasi identitas sosial dilekat pada selera konsumsi yang terus di kejar, karena hasrat dan citra kita selalu merasa masi ada kekurangan dalam diri. Sebab hasrat tidak akan terpuaskan dengan apa yang kita konsumsi. Misalnya berapa banyak kita berbelanja, merek apa yang dikonsumsi.
Gaya konsumsi akan menggerakkan setiap orang untuk menghabiskan waktunya menonton iklan. Tiap hari kita mengkonsumsi iklan yang menawarkan resep kebutuhan apa saja dalam peniruan gaya hidup. Lewat iklan dan mall, dapat dikatakan bahwa budaya massa, bagi McDonal itu merupakan objek konsumsi massa.
Model gaya hidup semacam ini menawarkan berbagai keinginan dan kenikmatan yang tidak pernah terpuaskan. Namun keinginan selalu berhubungan pada kondisi aktivitas warga kota untuk mengurangi bosan dan stress yang tiap hari sibuk bekerja.
Karena rutinitas kesibukan bekerja, maka setiap orang membutuhkan ruang hiburan di bioskop, kafe, villa dan diskotik yang tidak kalah penting dalam jenis pekerjaan lain. Hiburan difungsikan sabagai hiasan atau tempat rekreasi warga kota, sebab tanpa hiburan kita hanya menjadi robot yang sibuk bekerja setiap hari.
Meskipun demikian, kita teralenasi dengan diri sendiri dan terperangkap di dunia simulakra. Maka yang mengubah cara dan gaya hidup itu media iklan atau tayangan TV sebagai arena produksi budaya selera konsumsi. Selera berfungsi untuk kenikmatan citra hidup yang ditentukan oleh kuasa uang dan harta.
Fenomena selera konsumsi bukan hanya soal psikologi sosial atau gejala sosial melainkan menggairahkan gaya hidup terus berputar. Seperti artis promosi model pakaian dan barang melalui media iklan atau tayangan TV, maka kita pun ikut-tiruan model pakaian dan barang yang dipromosi oleh artis tersebut. Namun apa yang kita tiru dari artis tersebut tidak sesuai kenyataan hidup kita. Karena artis lebih mengajar popularitas dan uang, sedangkan kita lebih meniru gaya hidup dari pada kualitas diri.
Disinilah citra hidup warga kota diukur pada indeks kebahagian belanja barang konsumsi yang menawarkan kenikmatan hidup. Kenikmatan hidup itu simulasi dari merek barang yang kita gunakan maupun dikonsumsi untuk menampilkan citra hidup. Baudrillard filsuf Prancis, menyebutnya ‘’masyarakat konsumerisme’’ (consumer society).
Gaya konsumsi suatu barang tidak lagi berdasarkan pada kegunaannya tapi lebih mengutamakan pada tanda atau simbol pada barang dan jasa itu sendiri. Namun apa yang kita konsumsi akan semakin hari akan menumpuk sampah berbagai tempat. Akibat belanja konsumsi warga kota yang serba instan itu terus dilestarikan.
Itulah kotaku yang membeli kebahagian dengan gaya hidup dalam artian trend dan tenar. Pada akhirnya kita lebih cenderung menampilkan gaya sensasi disetiap acara pesta dan momen akhir tahun. Tidak ada kesadaran berpikir kreatif dan inovatif, tapi lebih berpikir siap saji.
Sikap siap saji lebih pada aku konsumsi maka aku ada, menurut Baudrillard, harga diri seseorang lalu dinilai oleh apa yang dikonsumsi. Sehingga keinginan hasrat selalu mengikuti selera pasar, bukan lagi seberapa uang dimiliki melainkan popularitas yang tenar. Disinilah popularitas atau citra semakin lebih penting, ketimbang hal-hal yang asli, nyata, dan subtansi.
Bukanya resep citra itu manipulasi diri kita secara sikap narsis dan mewah. Akibat pertarungan antara akal budi dan nalar ekonomi mengalahkan kehidupan philosopia (cinta kepada kebijaksaan).
Kita lebih memperindah kehidupan karena kenikmatan harta dan uang. Ketimbang memperindah pandangan kita dengan ilmu pengetahuan yang bijaksana. Sayangnya warga kota hanya menjadi objek yang dirayu oleh iklan pencitraan dan produk konsumsi.
Kita selalu tergesa-gesa menghadapi pelbagian kota sebagai citra hidup. Kita harus memiliki strategi kebudayaan yang pertama, merubah kebiasaan-kebiasaan konsumtif dalam kehidupan sehari-hari.
Caranya melatih akal budi kita mendidik hasrat agar tidak terjebak pada keingin. Kedua, menata pola berpikir kritis dan mengasah kepekaan kemanusiaan kita yang luhur. Model kebudayaan ini menjadi tugas kita bersama dan menguatkan serta menumbuhkan kesadaran literasi.
Jika kita menguatkan kesadaran literasi mulai dari berbagai kalangan, baik itu keluarga, sekolah dan lingkungan sekitar. Jika tidak dipikirkan dan diformulasikan lingkungan sosial dalam situasi kegagapan kita. Dampaknya bagi pendidikan karakter yang tergulung pada kompetensi pemakaian barang direkayasa soal bagaimana warga kota hidup dengan imajinasi dan citra.
Ikon gaya konsumsi citra itu pengalaman eksektasi hidup. Maka kebiasaan berbelanja bukan karena keinginan tapi harus sesuai kebutuhan vital. Oleh sebab itu pilar pendidikan mempunyai visi mengenai kebaikan tertinggi bagi kehidupan bersama, baik mengembangkan daya imajinasi, kreatif dan berpikir kritis.
Secara sederhana pendidikan harus ditranformasikan pada perubahan nilai-nilai yang diprioritaskan. Terutama pengetahuan, intuisi dan keadaban yang harus dikelolah berdasarkan makna.
Kualitas keadaban ditentukan bagaimana refleksi kita memaknai kehidupan. Sikap refleksi kritis ini terutama didasari pengalaman eksistensial-pribadi maupun kolektif. Mampu mengdalikan pengalaman kehidupan kita bahwa pola berpikir dan sikap mental yang layak dijernihkan kembali. Untuk menumbuh kemampuan rasa empati dan rasa memahami situasi perubahan wajah kota Ternate.
Komentar