Jzirah Indonesia – Soal wacana penundaan pemilu 2024 dan menjadi usulan PKB dan PAN, dinilai sangat tidak bermuatan maslahat, malahan sangat banyak mudaratnya bagi bangsa dan negara.
Dimana usulan itu dengan alasannya, selain karena dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19, Presiden Jokowi dianggap masih diinginkan masyarakat untuk memimpin Indonesia.
Ide ini juga mendapat kritikan berbagai pihak. Mulai dari partai politik hingga para pakar. Penundaan Pemilu 2024 dianggap tidak sejalan dengan semangat konstitusi.
Sebagaimana dikatakan Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, etisnya diskursus imajiner mengenai menunda Pemilu 2024, tentunya berimplikasi pada tatanan perpanjangan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden, Menteri, DPR, DPD dan DPRD serta jabatan-jabatan publik lainnya.
Sebab wacana itu adalah sangat tidak bermuatan maslahat, malahan sangat banyak mudaratnya bagi bangsa dan negara.
“Usulan penundaan Pemilu merupakan Constitution Disobedience atau pembangkangan terhadap Konstitusi,” ujar Fahri dalam keterangannya kepada merdeka.com, Senin (28/2), duktip merdeka.com.
Menurut Fahri, jika dilihat dari berbagai alasan serta justifikasi yang coba dikemukakan pengusul penudaan Pemilu, secara teoritik maupun konstitusional tidak ada jalan yang disediakan oleh UUD 1945.
Sebab, lanjutnya, usulan tersebut tidak berangkat dari alasan yang memadai. Sebab hal itu bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil yang secara konstitusional dapat diterima.
Fahri mengatakan, alasan penundaan pemilu bisa dilaksanakan apabila terjadi hal yang mengancam keamanan Indonesia. Hal itu terjadi di seluruh wilayah atau sebagian wilayah Indonesia.
Misalnya, ada pemberontakan, kerusuhan atau bencana alam. Sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
Atau kata Dia, timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.
Atau gangguan keamanan yang berdampak holistik, berdasarkan Perppu No. 23/1959 tentang Keadaan Bahaya atau berdasarkan prinsip hukum tata negara darurat dikenal dengan ‘staatsnoodrechts’ (keadaan darurat negara) atau ‘noodstaatsrechts’ (hukum tata negara dalam keadaan darurat).
Jika memang alasan itu ada, Fahri mengatakan, maka presiden mendasarkan diri pada prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality) yang dikenal dalam hukum internasional, prinsip ini dianggap sebagai ‘the crus of the self defence doctrine’ atau inti dari doktrin Self Defence. Secara inheren prinsip proporsionalitas dianggap memberikan standar mengenai kewajaran (standard of reasonabeleness).
“Sehingga kriteria untuk menentukan adanya necessity menjadi lebih jelas, kebutuhan yang dirumuskan sebagai alasan pembenar untuk melakukan tindakan yang bersifat darurat, proporsional, wajar atau setimpal sehingga tindakan dimaksud tidak boleh melebihi kewajaran yang menjadi dasar pembenaran bagi dilakukannya tindakan itu sendiri,” katanya.
Disampaikan Fahri, prinsip ‘necessity’ termasuk mengambil dan menetapkan beleid tertentu, yang salah satunya adalah opsi dekrit dengan segala konsekuensinya, baik politik maupun hukum, untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
Dengan demikian, konsep usulan penundaan Pemilu yang disampaikan oleh interest group tersebut setelah ditelaah secara mendalam dan cermat, ternyata mempunyai potensi pelanggaran serta berakibat terjadinya pembangkangan secara terbuka terhadap konstitusi.
“Dan lebih jauh mempunyai daya rusak yang sangat elementer, dan destruktif terhadap perkembangan konsolidasi demokrasi konstitusional yang telah diatur dalam konstitusi,” paparnya.
Menurut Fahri, dalam sebuah negara demokrasi konstitusional, setiap diskursus yang dilontarkan setiap warga negara adalah sesuatu yang generik. Tetapi harus disertai dengan suatu tanggung jawab serta standar moral tinggi untuk kepentingan kemaslahatan yang jauh lebih besar untuk bangsa dan negara. Dan idealnya harus berangkat dari spirit sebagai negarawan sejati.
Komentar