oleh

Letter from Ternate

Oleh A. Malik Ibrahim

 

“Dear Darwin…I got this wild idea.
What do you think about it?” (David Quammen)

 

Itu judul surat yang dikirim Alfred Russel Wallace dari Ternate pada Charles Robert Darwin di Inggris. Letter from Ternate atau Ternate Essay surat yang dilampiri makalah singkat, yang kelak diberi judul “On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type”. Surat itu datang ketika Darwin sedang memikirkan proses yang mendasari evolusi makhluk  hidup,  tapi belum sampai pada kesimpulan, sebagaimana dikemukakan Wallace.

Saya beruntung terlibat langsung dalam “pra simposium Letter from Ternate”, yang digelar 2 Desember 2008 silam di meeting room Makugawene Ternate. Sebuah pengalaman, karena selain sebagai peserta, saya juga dipercayakan Walikota Ko Syam untuk menyiapkan sambutan beliau dalam forum yang bergengsi dan prestisius itu.

Itulah pertama kali saya mendengar detail teori  natural selection atau  survival  of the fittest”. Selama ini apresiasi publik ilmiah terhadap Ternate –  Maluku  Utara umumnya seperti tenggelam dalam percakapan teori evolusi. Padahal Ternate – Maluku Utara bukan lagi kawasan terra incognita (kawasan tak dikenal), tapi  kawasan  yang  telah  dijelajahi  dan  memberi  kontribusi  besar pada keragaman fauna.

Apakah sejarah peran Ternate terlupakan? “Peran bumi Maluku Utara dengan keragaman hayatinya,”  kata  Prof  Sangkot  Marzuki,”  telah  menginspirasi lahirnya teori evolusi. Terlupakan pula nama Ternate, tempat turunnya ilham terpenting pada diri Wallace.

Sayangnya,  Wallace  dan  karya  besarnya The  Malay Archipelago di Indonesia masih terlupakan. Di Ternate – tempat ia lama bermukim dan rumah sesungguhnya teori besar  mengenai  evolusi  lahir  –  sampai sekarang  sama  sekali  sepi  dari   tanda-tanda   yang   mengingatkan adanya penemuan paling kesohor pada abad 19 itu”

Wallace adalah ilmuwan penjelajah, berkebangsaan Inggris.  Seorang Biogeografi Evolusi. Tiba di Ternate pada 5 Januari 1858 untuk penelitian berbagai serangga dan burung. Dari Ternate Wallace melakukan ekspedisi menjelajah Halmahera, Maluku Tengah dan Tenggara, Sulawesi Utara, Papua, Nusa Tenggara, dan kawasan Indonesia Timur lainnya  untuk  penelitian biologi.

Sekedar flashback, Wallace juga pernah tinggal tujuh bulan di Bacan, dan mengunjungi Kayoa, Jailolo dan Dodinga. “Suatu hari di bulan Februari 1858, ketika Wallace terkena serangan demam malaria di desa Dodinga di Pulau Halmahera yang terpencil, tiba-tiba ide tentang seleksi alam sebagai  mekanisme perubahan evolusioner, terlintas di benaknya”. Katanya, “there suddenly flashed upon me, the ide of the survival of the fittest”, (tiba-tiba terlintas di depanku, ide untuk bertahan yang paling sesuai).

Surat dari Ternate dikirim lewat kapal pos Belanda  yang berlayar ke Eropa, dan baru diterima Darwin pada 3 Juni 1858. Tulisan tangan Wallace itu berisi formulasi pemikirannya, hasil penelitian bertahun-tahun, mengenai seleksi alam sebagai penyebab munculnya spesies baru tentang  penyebaran keragaman fauna. Surat dari Ternate seperti menegakkan kembali  kapasitas dan kredibilitas keilmuwan Wallace sebagai penemu teori evolusi. Tak cuma  itu, temuan Wallace tentu saja menimbulkan kehebohan-kehebohan, terutama tentang lintas imajiner yang dikenal sebagai “Garis Wallace atau Wallace Line”.

Berkat garis itu, lahir pula gagasan bahkan teori geologi mengenai pergeseran benua. “Syahdan, permukaan bumi yang kini berusia enam milyar tahun itu terus saja berubah. Ada proses formasi dan deformasi. Sekitar 200 juta tahun lalu, kawasan Timur Indonesia itu menjadi satu dengan benua Asia. Deformasi muka bumi berlangsung, terjadi pemisahan, dan wilayah timur itu bergandengan dengan kontinen baru Australia”, (Marzuki, 2007).

“Bayangkan, kata Prof. Sangkot,” begitu berlangsung berjuta tahun, sehingga tiba saatnya kawasan Timur Indonesia itu meninggalkan kontinen subtropik Australia yang kering, lalu menghuni sebuah habitat di daerah tropis basah. Ekosistem baru pun berangsur-angsur terbentuk, mengikuti hukum evolusi”. Sebagai sebuah kawasan eksotik, berkembang ratusan, bahkan ribuan hewan dan burung endemik. Salah satunya adalah burung bidadari, yang oleh G.R.Gray dari British Museum, menamai burung itu Semioptera Wallacei, yang ditemukan Wallace di belantara Halmahera dan Pulau Bacan.

Pada buku Kepulauan Nusantara : Sebuah Kisah Perjalanan dan Alam, kita mengenal frasa amnesia ekologis atau “pergeseran standar”. “Istilah ini merujuk pada fenomena dimana generasi berikutnya justru mengharapkan untuk melihat lebih sedikit hal-hal alami karena mereka hidup pada sebuah dunia yang alamnya telah terkuras habis. Kita menertawakan para nelayan

tua yang mencoba meyakinkan kita bahwa pada masa mudanya, ikan-ikan berukuran jauh lebih besar dan jumlahnya berlimpah – namun  kemungkinan besar mereka benar. Kita hanya tahu badak Sumatera adalah hewan langkah karena badak memang selalu langkah. Tidak, badak dulu tidak langkah. Dulu jumlahnya berlimpah” (Wallace,2009 : xxviii).

Sejumlah perdebatan kritis tentang asal mula frasa “teori evolusi, seleksi alam atau survival of the fittest”, seperti kritik David Quammen, bahwa Wallace sama sekali tidak menggunakan frasa survival of the fittes. Ilmuwan yang meletakkan landasan bagi lahirnya evolusi sosial adalah Herbert Spencer.

Hal itu tidak berarti bahwa Wallace diabaikan, karena  secara  gamblang  isi suratnya telah memuat prinsip dari frasa-frasa itu. Spencer-lah, yang pertama memakai istilah itu, ketika dia meneliti tentang hukum rimba sosial. Dalam konsepnya tentang perkembangan sistem evolusi sosial dari primitif ke masyarakat industri, dan juga ilustrasi tentang berbagai bentuk realitas pengaturan sosial.

“Ini sering terjadi pada banyak bidang keilmuwan yang para ilmuwannya berambisi mengembangkan apa yang mereka sebut sebagai disiplin yang kuat, sah dan otonom. Akan tetapi, sebagai akibat konsentrasi demikian, ia menjadi makin tumpul dan sempit dalam manganalis dan semakin kehilangan pijakan spiritualitas seperti yang diderita Darwin”. Setelah menerima surat  dari  Ternate Darwin secara diam-diam dengan koleganya Charles Lyell, menyusun abstraksi dan mempublikasikan buku terkenalnya, On the Origin of Spesies. Di situ dia menjelaskan hipotesanya tentang evolusi manusia dan dikritik oleh banyak ilmuwan sebagai pemahaman evolusi yang salah.

“Di Indonesia, tak ada kota yang berperan begitu strategis seperti Ternate  – tempat sesungguhnya teori evolusi lahir. Sungguh indah Ternate  tempo  dulu”,  tulis Wallace.” Ternate adalah pulau keempat dari deretan pulau vulkanis berbentuk kerucut indah yang mengelilingi pantai barat pulau  Gilolo  (Halmahera). Pulau yang sangat besar tetapi hampir tak  dikenal.

Di  deretan  pulau tersebut ada dua gunung besar, yaitu gunung Ternate dan Tidore.  Nama yang sama diberikan untuk kedua pulaunya. Tidore adalah gunung terbesar  dengan ketinggian lebih dari 5.000 kaki.  Gunung  Ternate  nyaris  setinggi  Gunung Tidore, tapi  puncaknya  lebih  bulat  dan  tidak  rata”.(Wallace,  2009:229).

Tak berlebihan, jika kemudian hari ini ada yang meragukan rumah tempat tinggal Wallace. Bukan ini, bukan itu, lalu di mana? Berdasarkan deskripsi panitia Pra Simposum setelah mengkaji penanda dalam The Malay Archipelago.

Waktu itu dugaannya pada rumah milik Paunga Tjandra,  tepatnya  di  jalan Nuri Nomor 20, Kelurahan Santiong. Tentu banyak perubahan sepanjang 150 tahun lebih, soal pasti atau tidak kita butuh eksplorasi arkelogis dalam menemukan jejak kediaman Wallace. Karena serumit apa pun, ada prosedur ilmiah untuk memastikan penanda yang sebenarnya. “Benar,  kata  Irfan Ahmad, ”Pemkot harus mengupayakan kajian yang lebih serius dengan melibatkan ahli Arkeologi”,(Malut Post, 17 September, 2019).

Tentu yang kita minta dari sejarah adalah wawasan ke dalam  peristiwa  di  masa lalu dan kisah selanjutnya. Penetapan jalan Nuri sebagai jalan AR.  Wallace adalah sebuah tonggak  penanda  kesadaran  sejarah  ilmu pengetahuan. Pemerintah Kota dan Ko Syam masa itu telah memulai; bahwa sejarah Ternate adalah sejarah tentang gagasan. Hari ini, di akhir kepemimpinan Haji Bur, kita butuh suatu sikap kreativitas Pemkot dalam menyongsong masa depan sebagai wujud penghormatan masa lalu dalam melestarikan peradaban ilmu pengetahuan.

Di tengah gencarnya dunia merayakan spirit pengetahuan Wallacea, dari teori evolusi, keadilan sosial, hingga  peradaban  survival  of  the  fittest  –  dan  semangat penemuan  keragaman  hayati,  Ternate  dibiarkan  seperti  terkurung dari semangat itu. Bagi  saya  seandainya Ternate  itu  manusia,  barangkali  ia  akan berkata; “Sungguh kalian itu bangsa kerdil yang tak beradab!”.[]

Komentar