oleh

Kritik Arsitektur; Luka Pembangunan

Oleh: Syahril Toduho
(Pegiat di Komunitas Duko Studio Tidore)

 

Peran perpustakaan sangat vital dalam menunjang dunia pendidikan. Mengingat keberadaannya itu penting, maka Pemerintah Kota Tidore kepulauan berupaya mewujudkannya sebagai bentuk dukungan terhadap dunia pendidikan sehingga patut diapresiasi.

Harapannya pembangunan perpustakaan tersebut nantinya tidak menimbulkan permasalahan baru dikemudian hari pada ruang kota khususnya di ruang kawasan yang memiliki nilai historis sebagaimana yang telah terjadi di beberapa ruang wilayah lainnya. Misal, pembangunan PLTU di Kelurahan Rum Balibunga.

Bila mengacu pada Ripparda disebutkan bahwa Rum dan pulau Maitara dijadikan sebagai kawasan wisata terpadu. Wilayah ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata salah satunya karena memiliki nilai historis.

Akan tetapi dengan berdirinya bangunan PLTU mengkerdilkan keberadaan situs monumen Sebastian el Cano serta berdampak pada penurunan kualitas lingkungan akibat polusi yang ditimbulkan dari aktifitas PLTU.

Kondisi ini menjadi perhatian kita bersama untuk dijadikan bahan evaluasi dalam mempertimbangkan kebijakan pembangunan yang dapat menciptakan struktur dan pola pemanfaatan ruang kota secara selaras dan lestari (berkelanjutan).

Semoga skema pemilihan lokasi untuk pembangunan perpustakaan tidak mendegradasi terhadap keberadaan bangunan-bangunan peninggalan sejarah baik peninggalan kesultanan, peninggalan kolonial, dan peninggalan era revolusi (eks ibukota Irian Barat).

Tahun 2021, bagi kalangan pemerhati sejarah pasti merasa sedih dan mungkin marah sebab terjadi kebakaran yang menghanguskan beberapa ruangan “kelas/kantor” di sekolah SMA Negeri 1 Tidore. Mengingat sekolah tersebut merupakan bangunan eks Kantor Gubernur Irian Barat yang menyimpan sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia.

Tidak ada yang menginginkan musibah itu terjadi, namun dapat dimaklumi bila ada perasaan marah sebab hal yang disayangkan adalah bagaimana sistem maintenance bangunan heritage dan manajemen kebakaran kota yang dirasa belum memadai.

Peristiwa tersebut menjadi bahan evaluasi bagi para pemangku kebijakan terkait dengan mitigasi bencana. Oleh karenanya perlu membangun fasilitas-fasilitas emergency, persebaran titik-titik hidran di ruang wilayah kota penting adanya guna meminimalisir kerugian akibat yang ditimbulkan dari musibah kebakaran.

Terkait dengan rencana pembangunan perpustakaan ini, informasi yang diperoleh dari beberapa sumber menyatakan bahwa lokasi pembangunannya di samping sekolah SMA Negeri 1 Tidore.

Informasi tersebut bisa jadi benar karena sudah pada tahap pembersihan lokasi dimana telah dirobohkannya beberapa bangunan tua yang mungkin dianggap tidak memiliki nilai dan atau menjadi polusi visual kota (baca Budihardjo, Reformasi Perkotaan, 2014). Kalaupun benar demikian, berarti dapat dipastikan bahwa ada ketidak konsistenan antara dokumen dan implementasinya.

Anggapannya dapat dilakukan penyesuaian terhadap dokumen sebagaimana, Jahid (2012) menyatakan review rencana tata ruang yang sekedar melegalisasi pelanggaran normanorma tata ruang yang telah ada sebelumnya, dan sama sekali tidak berlandaskan atas norma-norma keruangan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Hal ini mengingkatkan kita pada pemilihan lokasi pembangunan kantor DPRD di Kelurahan Tungowai saat itu, sehingga pertanyaannya “Dimana peran Bappeda? dan Bagaimana pertimbangan hirarki ruang zona Pemerintahan?”.

Alangkah baiknya bila memaksimalkan eks Kantor DPRD Kabupaten Halmahera Tengah sehingga dana pembangunan gedung parlemen itu digunakan untuk pembangunan Universitas Nuku. Dan disisi lain mempermudah jangkauan koordinasi karena memiliki aksesibilitas yang baik dibandingkan dengan dilokasi saat ini.

Artinya bila ada penyampaian aspirasi masa terjadi, masih ada alternatif jalan yang dapat dilalui oleh masyarakat. Walaupun kasus ini tidak terkait dengan bangunan heritage, akan tetapi menyangkut dengan struktur dan pola pemanfaatan ruang kota yang beririsan dengan kehidupan sosial dan lingkungan.

Sehingga, pemilihan lokasi pembangunan perpustakaan yang akan dibangun di samping sekolah SMA Negeri 1 Tidore, bila tidak berlebihan dapat dikatakan akan memutus mata rantai peradaban yang nantinya dapat melemahkan Kota Tidore Kepulauan sebagai salah satu kota pusaka.

Seandainya seluruh stakeholder (pemerintah, kesultanan-adat, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat) memberikan sedikit perhatian lebih serius terhadap potensi sumber daya budaya (heritage) yang dimiliki oleh daerah ini, diyakini dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan pengembangan pariwisata daerah.

Oleh karena itu penting diformulasikan dalam arah kebijakan pembangunan terkait pemanfaatan bangunan peninggalan sejarah sebagai daya tarik destinasi wisata lebih dioptimalkan lagi guna menjadi leading sector pembangunan pariwisata di Kota Tidore Kepulauan. Indikasi pembangunan saat ini masih bersifat spasial karena belum bersinergi antar instansi secara terpadu sehingga menguatkan dominasi ego sektoral.

Mengingat dalam waktu dekat (September) ini ada agenda yang berskala internasional akan diselenggarakan yaitu Sail Tidore dan Ekspedisi Magelhan. Mengapa bisa, semangat yang sudah dibangun dengan jerih payah itu dapat mengaburkan narasi besar Tidore sebagai sebuah kota pusaka hanya karena kita malas membuka lembar demi lembar sejarah.

Dan apakah bersinergi dengan rencana pembangunan Taman Soekarno (kalaupun bisa mengusulkan alternatif nama maka penamaannya Monumen Merah Putih karena pertimbangan historis perjuangan bangsa Indonesia dan pada 1942 dimana Sang Saka Merah Putih pertama kali berkibar di Timur Nusantara tepatnya di Mareku, juga ikatan emosional dengan saudara kita di Kelurahan Bobo) yang ternyata salah satu bagian parselnya telah dirobohkan untuk pembangunan perpustakaan.

Sebuah even besar yang akan dihelat dalam hitungan beberapa bulan lagi, tetapi tidak se-evoria perhelatan FKNT Kelurahan Tomalou. Atau karena dampak Pandemi Covid-19 sehingga menghambat publikasi, mengingat waktu pelaksanaannya pun ditunda beberapa kali terkait hal ini. Atau disebabkan faktor lain berkenaan dengan kesiapan infrastruktur.

Secara keseluruhan iya, salah satunya infrastruktur dan di sisi lain belum optimalnya publikasi, bagaimana peran media center?; bagaimana mensiasati pemenuhan akomodasi bagi tamu dan pengunjung?; bagaimana upaya untuk menahan para tamu dan pengjung untuk tinggal selama penyelenggaraan kegiatan sail berlangsung?; bagaimana kesiapan layanan transportasi untuk mengakomodir mobilitas tamu dan pengunjung?;.

Kemudian, bagaimana kesiapan pembekalan pemandu bagi tamu dan pengunjung?; bagaimana mengemas objek daya tarik dalam bentuk paket destinasi kepada tamu dan pengunjung?; bagaimana mengemas kuliner untuk disuguhkan kepada tamu dan pengunjung sebagai bagian dari soft diplomasi?; dan pertanyaanpertanyaan lainnya yang harus dijawab oleh kita bersama.

Sehingga, penyelenggaraan sail ini benarbenar menjadi pemicu kebangkitan daerah melalui sektor pariwisata dan menjadi stimulus bagi sektor lain serta mengokohkan eksistensi zajirah al Mulk yang mashur dimasa lalu.

Sebagai ihktiar bersama dan semangat menjaga dan melestarikan sumber daya budaya sebagai modal pembangunan pariwisata, maka beberapa lokasi yang patut menjadi pertimbangan pembangunan perpustakaan sebagai tawan alternatif lokasi pembangunan perpustakaan.

Alternatif pertama; berlokasi di eks Universitas Nuku, yang menurut infromasi direncanakan akan dibangun Taman Soekarno. Alasanya karena rencana pembangunan Taman Soekarno ada hubungannya dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia dalam hal ini perjuangan pembebasan Irian Barat.

Bila narasi ini digunakan maka kita baru saja menghilangkan salah satu parsel yang erat keterkaitannya dengan pembangunan Taman Soekarno tersebut, sebab bangunan yang baru dirobohkan itu bagian dari infrastruktur peninggalan Pemerintah Provinsi Irian Barat.

Alternatif kedua; berlokasi dilokasi yang direncanakan saat ini tetapi tidak melakukan pembongkaran, namun sebatas penguatan secara teknis yang melibatkan lintas disiplin ilmu mulai dari tahap persiapan, perencanaan dan perancangan sampai pelaksanaan guna menjaga nilai keotentikan.

Alasannya untuk menjaga dan melestarikan bangunan heritage yang ada tetap eksis dengan alih fungsi sebagai perpustakaan (hanya saja sudah dirobohkan). Alternatif ketiga; berlokasi di eks Perumahan Telkom karena kawasan tersebut terkesan tidak terawat “mungkin sudah berakhir hak guna pakai oleh PT Telkom, perlu informasi lanjutan terkait status”.

Di lokasi ketiga ini bisa dijadikan sebagai perpustakaan dan taman baca. Alasannya untuk pemanfaatan ruang lebih maksimal dan produktif dalam upaya pendistribusian pemanfaatan ruang dengan pertimbangan keterbatasan lahan berkenaan dengan laju pertumbuhan penduduk dimasa akan datang.

Kondisi ini bila tidak ditangani secara baik dan dini dikhawatirkan perlahanlahan tidak hanya menghilangkan sumber daya budaya potensial melainkan menjadi sulit dan bahkan mahal untuk diselesaikan akibat penanganannya yang terlambat dalam pengendalian pemanfaatan tata ruang kota.

Permasalahannya bukan pada fasilitas (perpustakaan) yang dibangun, melainkan cara mengisi fasilitas itu di ruang kawasan tersebutlah yang dirasa kurang tepat. Selain pertimbangan historis, adapun pertimbangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (digitalisasi) yang harus dimasukan dalam mempertimbangankan pemilihan lokasi pembangunan perpustakaan.

Bagaimana memanfaatkan kemajuan IPTEK, misalnya perpustakaan digital yang secara fisik tentu tidak terlalu membutuhkan bangunan yang besar sehingga menyediakan ruang terbuka hijau lebih banyak. Yang nantinya dari nilai konstruksi itu dapat dibuatkan aplikasi yang dapat diakses dengan cara scand barcode melalui smartphone.

Untuk pengelolaannya bisa berbentuk unit pelayanan terpadu yang pegawainya berasal dari instansi terkait seperti perpustakaan dan kearsipan. Petanyaan terakhir diatas (sehubungan dengan kuliner) tidak bisa diabaikan karena menyangkut dengan basic need manusia. Sehingga untuk menjadikan pariwisata sebagai leading sector pembangunan tentu dibarengi dengan kesiapan infrastruktur yang tidak hanya berupa fasilitas penunjang pariwisata namun perlu dibangun infrastruktur yang mampu meningkatkan kemandirian pangan.

Contohnya Provinsi Bali yang dalam rangking ketahanan pangan nasioanl memiliki skor indeks yang tertinggi dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia (baca Mulyani dkk., 2020). Bersamaan dengan itu permasalahan kemudian adalah terjadi penurunan minat generasi muda di Tidore dalam menekuni sektor ini.

Sekalipun tidak bertambah jumlah penduduk, tetapi tidak menurunkan tingkat konsumsi manusia sedikitpun apalagi bila terjadi pertumbuhan jumlah penduduk, maka perlu memiliki bank pangan ‘tidak hanya bank sampah’ untuk menjamin ketersediaan pangan yang dapat dimulai dari lingkungan rumah tangga melalui pemanfaatan pekarangan dan bila ada komitmen dari pemerintah maka dapat dimulai dengan mengoptimalkan space terbuka pada bangunan pemerintah, pendidikan dan bangunan komersial.

Perlu restorasi pangan mandiri menuju ketahanan pangan Tidore untuk memberi dukungan terhadap pengembangan pariwisata sebagaimana yang dilakukan oleh Provinsi Bali. Sehingga nantinya kita bisa survive dalam kondisi apapun saat dilanda musibah kelaparan, wabah, dan peperangan misalanya (baca Harari, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, 2018).

Orang rela mempertaruhkan harta dan bahkan nyawa demi ketiga hal itu, pertaruhan antar suku bangsa dalam menaklukan samudera untuk menemukan sumber daya alam karena alam tidak menyediakan itu sama diantara satu gugusan pulau dengan pulau lainnya.

Resiko terserang wabah sebagai ganjaran atas hal itu dan bahkan memuncak menjadi sebuah peperangan, semua itu tidak menyurutkan semangat sedikit pun karena demi mempertahankan kelangsungan hidup.

Fakta gugusan kepulauan maluku itu mahal, coba kita tengok bagian selatan gugusan Kepulauan Maluku yang mengisahkan sejarah tukar guling pulau Run dengan Manhattan-New York antara Belanda vs Inggris (baca Milton, Pulau Run, 2015).

Sementara itu di pulau Tidore di gugusan Kepulauan Maluku bagian utara terjadi ketegangan antara dua kerajaan super power eropa yaitu Spanyol vs Portugis yang bertikai terkait garis median sampai melibatkan Paus Alexander VI untuk mendamaikannya.

Peristiwa itu juga memberikan sumbangsi besar bagi perkembangan dunia pedidikan khususnya ilmu kartografi yang sekaligus mengilustrasikan gambaran bentuk bumi kepada dunia (baca Watubun, Maluku Staging Point RI Abad 21, 2017). Kini kita, mungkin lupa dan mengabaikan nilai kearifan lokal negeri ini. Kecendurungan kita disemua lini mengikuti trend luar, yang belum tentu selaras dengan lingkungan alam kita.

Hal menarik dan masih dipertahankan sampai era modern saat ini adalah filosofi desa adat wai rebo dalam membangun hunian tidak melukai bumi. Prinsip ini yang perlahan sudah mulai hilang di Tidore, seperti penggunaan material lokal “bambu, gaba dan rumbia”, kidah 60/40 (60 persen terbangun dan 40 persen tidak terbangun) tidak hanya terjadi pada pembangunan rumah tinggal tetapi hampir seluruh tanpa terkecuali pembangunan fasilitas pemerintah pun tak luput dari itu. Tantangan bagi para perencana kedepan diharapkan sedapat mungkin menurunkan resiko luka dalam pembangunan.

Berkenaan dengan persoalan yang dihadapi terkait pemilihan lokasi rencana pembangunan perpustakaan yang bersinggungan dengan sumber daya budaya (heritage) serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, maka meminjam kutipan dari Fauzan. A.R “Karena untuk Memberi Manfaat, Tidak Harus menjadi yang Paling Terlihat” (lihat Chusna, Maha Karya Tuhan di Bumi Soelar, 2017).

Bahkan lebih fatal lagi seperti dinyatakan, Juri Lina (2004); (Salim, 2017) kuburkan sejarahnya; hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya; dan putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakana bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif (baca Letkol Laut (P) Salim, Konsep Neogeopolitik Maritim Indonesia Abad 21, 2017)

Komentar