Sebuah karya yang pertama kali secara terbuka mengungkap nasib buruk penduduk pribumi di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Karya ini ditulis oleh seorang asisten Residen di Lebak pada 1860.
‘Saijah dan Adinda’ adalah satu potret betapa buruknya sistem kolonial dan kemiskinan di Banten pada 1860 yang digambarkan dalam sebuah kisah cinta yang tidak dapat bersatu dalam Max Havelaar.
Karya sastra ini mengguncangkan kolonialisme Hindia Belanda saat itu. Buku ini mengisahkan kemiskinan masyarakat Lebak yang sangat tragis.
Ini diakibatkan oleh sistem penindasan kolonial dan korporatisme Adipati Lebak. Tanah subur yang dipenuhi dengan berkah tidak membuat kehidupan masyarakat Lebak hidup makmur. Akibat dampak dari Sistem Tanam Paksa rakyat menjadi hidup dalam kesengsaraan, kemelaratan, dan kebodohan.
Dengan menggunakan nama pena Multatuli, Eduard Douwes Dekker mengungkapkan penderitaan rakyat Banten yang tidak hanya disebabkan karena penjajahan, tetapi juga karena kesewenang-wenangan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara.
Kemudian, Demang Pajangkujang Raden Wira Kusuma. Sebab buku yang lahir di tanah Lebak inilah, tanah Hindia (Indonesia) mengalami banyak perubahan, mulai dari politik etis, lahirnya kaum intelektual, kebangkitan nasional hingga kemerdekaan.
Saijah-Adinda adalah satu potret betapa buruknya sistem kolonial dan kemiskinan di Banten pada 1860 yang digambarkan dalam sebuah kisah cinta yang tidak dapat bersatu dalam Max Havelaar.
Saijah merupakan anak seorang petani miskin, sama seperti keluaraga lainnya di Lebak, keluarga Saijah dibebani pajak yang tinggi, dan pemerasan oleh Demang dan Bupati Lebak.
Ibu Saijah sakit dalam penderitaan hingga kemudian meninggal, sedangkan ayahnya pergi tak pernah kembali karena takut tak dapat membayar pajak. Dalam kesengsaraan selimut kolonialisme, Saijah tumbuh menjadi pemuda yang tangguh dan menjalin cinta dengan Adinda, sahabat kecilnya.
Saijah memutuskan merantau ke Batavia, menjadi pengurus kuda dan pelayan salah seorang Belanda. Dia ingin mengumpulkan uang untuk melamar Adinda. Namun, sekembalinya Saijah setelah bertahun-tahun di Batavia, Adinda telah pergi meninggalkan kampung halamannya.
Andinda dan ayahnya pergi dan bergabung dengan para pejuang melawan tentara Belanda di Lampung. Saijahpun menyebrangi lautan dan menyusuri jejak mereka. Ternyata,
Adinda telah meninggal dengan tubuh penuh luka setelah diperkosa tentara Belanda dalam pertempuran. Saijahpun memberontak hingga sebuah bayonet tentara Belanda membuatnya menyusul Adinda. Cinta yang dulu pernah diikrarkanpun menjadi salah satu korban kolonialisme bangsa asing dan keserakahan pejabat bangsa sendiri.
Dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, kisah Saijah dan Adinda yang tertulis dalam sebuah karya Multatuli telah banyak menggetarkan banyak jiwa hingga hari ini, termasuk pemilik sistem kolonialisme di Hindia Belanda pada awal abad IX,
Komentar