oleh

Jamurilah Habitus Demokrasi Lokal Dengan Politik Gagasan

Oleh: Aprianto Sumarjan
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nuku)

 

banner 1200x500

Kian mendekati momentum selebrasi demokrasi kian mewabah narasi dan pertanyaan betapa urgensi gagasan politik dalam berdemokrasi, Lionel barber seorang wartawan kawakan inggris dalam suatu wawancara yang bertajuk ‘Peran Media dan Teknologi dalam Polarisasi Politik’ pernah melotarkan pertanyaan ‘How Impertant Is The Free Market Of Ideas In Politics?’ maka tanpa keraguan jawabannya ialah iya dan teramat penting, oleh karena setiap elit nasional maupun lokal, serta calon pemimpin, haruslah menawari masyarakat dengan berbagai varian politik berbasis gagasan selanjutnya setiap masyarakat harus diberikan kemerdekaan untuk bertengkar dengan gagasan yang produktif tentunya pada level nasional dan terutama pada level lokal.

Urgensikah politik gagasan itu? barangkali sebagian kita tidak terbiasa dengan membincangkan ide-ide besar tentang politik hukum dan kesejahteraan, ide-ide besar itu hanya justru bermunculan pada level kemasan merek dan jualan politik yang mengatasnamakan daulat berdemokrasi, seringkali indra kita menangkap fakta kontradiksi antara iklan politik, baliho yang disuguhkan betapa sungguh filosofis, ideal, berbobot pengetahuan dan dilain fakta kita dicengangan betapa calon pemimpin yang latah dalam mengartikulasikan koherensi nilai-nilai baliho kedalam setiap tindakan mereka bahkan takjarang keliru dalam ucapan, sungguh miris.

Kita harus berani berkata jujur bahwa para elit politik dan tim sukses selalu sukses di dalam memberikan warna politik terutama di daerah dengan membiasakan para konstituen untuk memperbincangankan kemasan politik akhirnya orang terbiasa menjemput setiap calon pemimpin didaerah dengan melihat sosok, keturunan, serta status sosial bahkan menariknya pada skala terendah dengan menilai karena indikator sanak family juga sedaerah kemudian itu menjadi pilihan, walhasil habitus demokrasi politik lokal menjadi bungkusan dan kehilangan isi.

Urgensikah atribut kampanye itu? sementara setiap kandidat dapat memanfaatkan lajunya media massa sebagai sarana sekedar perkenalan diri meski jauh dari upaya memperkenalan visi-misi. Saya justuru berpendapat bahwa atribut kampanye semisal baliho menjadi salah satu penyebab politik berbasis gagasan itu selalu tidak diundang dalam kesungguhan untuk memperbaiki wajah demokrasi lokal kita.

Bayangkan saja pabila baliho itu ditiadakan maka setiap calon pemimpin pada cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif akan tergerak untuk memperkenalkan diri mereka lebih kepada aspek ide bukan sekedar framing pose dan nomor urut. Yang tadinya mereka membagi stiker harus diganti dengan menjabarkan program ketika terpilih nanti.

Dengan demikian model kampanye dengan menggerakkan jumlah massa yang masif jucnto jumlah uang yang sitematis yang justeru sebagai arena money politic yang sesungguhnya dapat dikurangi, karena masyarakat telah terlebih dahulu mengenal program-program kandidat, disamping tidak menghambur-hamburkan uang untuk mencetak baliho dapat juga meminimalisir tidakan vandalisme dan merusak lingkungan. Sebab demokrasi haruslah berwatak ekokrasi, begitulah wejangan Jimly Assidiqie dalam Green Konstitution.

Sudah idealkah sistem pemilu kita? Bagaikan api jauh dari panggang, mungkin pepatah ini dapat mewakili sebagai jawaban. Sistem pemilu kita sangatlah prosedural tidak mengarahkan kita pada rel demokrasi subtansial demokrasi yang menyaratkan perdebatan gagasan. tengoklah presidential threshold (ambang batas) versus parliamentary threshold telah merancang susun partai politik sebagai mesin pendulang suara dan setiap kandidat, parpol serta team sukses layaknya peternak suara. Diperparah lagi dengan model pemilihan umum yang menjauhkan kita dari perdebatan tentang isi kepala dari seoarang calon pemimpin dengan dalil dapat mempertajam polarisasi sebagai pemicu konflik oleh karenanya kampanye hanya dapat dilaksanakan mendekati momen pencoblosan.

Bukankah ini sebuah kekonyolan dengan menjauhkan demokrasi dari rahimnya yang justru lahir dari sebuah sejarah perdebatan idea yang panjang. Tindakan ini hanyalah mendatangkan malapetaka dengan membunuh demokrasi berikut menghidupi mobokrasi suatu sitem yang dipegang oleh rakyat jelata yang tidak mengerti seluk-beluk pemerintahan, apakah rakyat bodoh, tidak sebab sistem yang tidak memperbolehkan rakyak mengerti.

Sekali lagi untuk merawat habitus demokrasi pada level nasional terlebih pada level lokal kita membutuhkan politik berbasisi gagasan, program, serta visi-misi yang rasional, objektif, serta berkeadilan. Cukuplah Pemilu 2019 menjadi contoh dimana terjadi pembelahan yang begitu mendalam antara pendukung pasangan Jokowi dan pendukung Pasangan Prabowo sehingga menimbulkan distrust politik.

Sangat disayangkan pola disparitas itu tergerus sampai pada perpolitikan di daerah. Pola komunikasi parpol dengan gaya curah air hujan (vertical kommunication) menekan setiap para pimpinan parpol di daerah untuk mengambil peran yang tak kalah sama dalam melakukan pembagian politik identitas sehingga masyarakat daerah ikut mengambil peran dalam pembelahan politik yang jauh dari kata berkualitas dan menyehatkan pikiran.

Apakah contoh diatas segara dijadikan cambuk bagi para elit politik di daerah untuk kembali membumikan politik berbasis gagasan, guna merangsang demokrasi subtantif, nampaknya tidak, baru-baru ini masyarakat Maluku Utara pada umumnya dan Kota Tidore khususnya disuguhkan dengan pernyataan salah satu Bakal Calon Wali Kota, Kota Tidore Kepulauan dengan melakukan differensiasi pembelahan antara masyarakat Kota Tidore (Pulau) dengan Tidore (Oba) yang menurut pendapat mayoritas syarat akan unsur Sara, karena melekatkan kebiasaan meminum minuman keras (inmoralitas) pada suatu komunitas atau golongan tertentu, yang menurut hemat penulis tidak pantas diucapkan oleh seorang figur yang cukup berpengalaman pada kanca perpolitikan nasional.

Dengan mengedepankan prinsip tawadhu, sebab penulis sendiri sebagai seorang mahasiswa merasa sudah selesai dengan diskursus kemanusiaan, pluralisme, serta kebinekaan pawa awal-awal semester penulis berkuliah.

Terlepas dari strategi apa yang dimainkan untuk mendulang popularitas setiap Bakal Calon tindakan ini sungguh jauh dari nilai-nilai kemanusiaan (Human Vilues) nilai yang menjadi sari patih dari demokrasi. Bagi mereka yang mendarmabaktikan pikiran dan hidup mereka guna terwujudnya demokrasi yang sehat, kemanusiaan yang adil dan beradap maka tindakan tersebut haruslah pantas kecam.

Pada akhirnya penulis ingin mengingatkan agar demokasi itu sehat ia harus berjalan diatas rel hukum Constitutional Democracy, setiap orang merdeka untuk berpendapat tetapi pendapat itu tidak dibenarkan membunuh kemerdekaan nurani orang lain. Bertikailah dengan gagasan sebab itu adalah elemen penting dalam demokrasi.

Kebebasan berpendapat masyarakat sipil tidak boleh diberangus sebab itu dapat mematikan demokrasi. Demikian pula perdebatan pemikiran produktif elit politik harus ditumbuhkan karena itu dapat menghidupkan demokrasi.

Komentar