oleh

Nabi Ibrahim, Teladan Pemimpin dan Pendidikan Ahlak

Jazirah Indonesia – Kisah Nabi Ibrahim dari Mesopotamia (Iraq saat ini) hingga perannya dalam membangun Kabah di Mekka, tak sedikit alur makna sebagai manivestasi nilai keteladanan kepemimpinan serta pendidikan ahlak untuk generasi.

Hakikat kisah Nabi Ibrahim as sebagai sosok pemimpin ideal, karena melalui ujian Allah dengan menugaskan perintah dan larangan hingga membangun Ka’bah merupakan puncak pembersihan bentuk kemusyrikan.

banner 1200x500

Kemudian, kerelaan dalam pengorbanan, melawan kedzaliman dan lainnya merupakan keteladanan hingga beliau juga dijuluki Khalilullah Khalilurrahman.

Hal terpenting bagi kepentingan pembentukan ahlak generasi adalah model pendidikan keteladanannya, sehingga Alquran telah menggambarkan Nabi Ibrahim as adalah uswatun hasanah (QS al-Mumtahanah ayat 4 dan 6).

Itulah setiap momen Idul Adha, kisah tentang nabi Ibrahim, sosok hamba mulia selalu dipetik, karena sosoknya diabadikan oleh Allah Azza wa Jalla untuk peradaban umat manusia di dunia.

Denga kata lain, kisah Nabi Ibrahim as beserta keluarganya, Allah SWT berkehendak menunjukkan kepada umat betapa pentingnya posisi seorang pemimpin untuk dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan agamanya dalam membangun suatu peradaban yang besar.

Mafhum, jika seorang pemimpin yang berpegang pada ajaran tauhid melerai sosok keteladanan nabi sebagai manivestasi penting untuk sebuah tatanan masyarakat yang bahagia dan sejahtera. Demikian bukan hanya untuk kemaslahatan umat di dunia, namun juga di akhirat kelak.

Keteladanan Nabi Ibrahim as. tercermin dari banyaknya kisah dan hikmah perjalanan beliau termuat dalam Al Qur’an.

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.QS. Al-Baqarah [2] : 124.

Dengan bahasa global terkait kepemimpinan berdasarkan ayat tersebut, Nabi Ibrahim as memenuhi seluruh kualifikasi penting figur pemimpin yang layak dijadikan teladan.

“Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaffat: 108-111).

Dari tafsir as-Sa’di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H 108-109 terhadap ayat tersebut bahw, Kami abadikan untuknya pujian sejati pada orang-orang yang datang kemudian sebagaimana terjadi pada orang-orang terdahulu.

Maka, setiap waktu sepeninggalnya, ia selalu dicintai, dimuliakan, dan dipuji, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Maksudnya, salam hormat untuknya.

Kaitan ayat tersebut sebagaimana FirmanNya, “Katakanlah: “Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?” (An-Naml:59).

Dilandasi Spiritualitas

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (QS. An Nahl: 120).

Menurut pendekatan tafsir Jalalain terhadap ayat diatas bahwa sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam) seorang penghulu yang menjadi panutan dan di dalam dirinya terkandung semua akhlak yang baik (lagi patuh) sangat taat (kepada Allah dan hanif) cenderung kepada agama yang lurus. (Dan sekali-kali dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.)

Hanif dalam pengertian adalah lebih condong menjauh dari segala bentuk kemusyrikan kemudian mendekat kepada tauhid yang murni, bertekad mengikuti kebenaran dan jalan yang lurus.

Sosok nabi Ibrahim dari sisi kepemimpinan yang berpegang teguh terpegang teguh terhadap kebenaran, tidak berpaling untuk meninggalkannya, dan memiliki pemahaman agama yang lurus terdapat  Qur’an, Syrat Ali Imran: 67);

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.

Tentang ketaatan, Nabi Ibrahim as lahir di tengah keluarga dan masyarakat penyembah berhala, tentu membutuhkan jiwa yang sangat bersih dan komitmen kuat untuk menemukan hidayah dan mempertahankan keimanannya.

Dengan kejernihan hati inilah yang membuat Nabi Ibrahim as menjadi Hamba Allah yang sangat ta’at sebagaimana dalam QS.Al Baqarah: 131.“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: ’ Tunduk patuhlah!’, Ibrahim menjawab: ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”.

Aspek ketundukan tersebut inilah mengantarkan beliau memperoleh posisi mulia di hadapan Allah Swt. Hal ini sekaligus menggambarkan spiritualitas yang membuat seorang pemimpin senantiasa tegar menghadapi berbagai ujian dan cobaan.

Demikian juga ketundukan dan ketaatannya membuat Nabi Ibrahim as mendapat pertolongan dari Allah SWT, ketika dibakar hidup-hidup seperti dikisahkan dalam Surah Al Anbiya adalah buah dari keyakinan ini.

Kisah selamat Hajar dan Ismail ditinggal di tengah gurun tandus ataupun selamatnya Ismail ketika disembelih adalah buah dari keta’atan. Karena Allah SWT akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Keta’atan itu pula menghasilkan hikmah, sebagaimana keta’atan meninggalkan anak isteri tercinta dikenal istilah sa’i dan air zamzam, bahkan lahirlah peradaban di Mekkah. Dari keta’atan menyembelih Ismail. Hal ini menjewantahkan kesempurnaan dalam syariat haji dan qurban.

Intelektualitas dan Keberanian

Sosok pemimpin yang diinginkan umatnya tentu tak lepas dari kecerdasan dan keberanian yang berjalan seimbang. Secara empiris, banyak dari pemimpin yang memiliki kecerdasan intelektual dan belum tentu memiliki keberanian.

Dari banyak sisi idenya begitu dijadikan angan-angan, kebanyakan dari menghasilkan penyesalan hanya karena banyak menunumpukan angan-angan.

Lain juga dengan pemimpin yang memiliki keberanian tanpa perhitungan, yang terjadi hanya kesia-siaan, pemborosan, bahkan kerusakan. Dengan kata lain, model nekat lebih ditunjukan seorang pemimpin, dengan berorientasi keberuntungan.

Intelektualitas dan keberanian Nabi Ibrahim as telah melekat pada dirinya sejak beliau masih kecil. Ini dibuktikan dengan konsep kebenaran atau  ketauhidan yang dikomunikasikan Ibrahim semasa kecil dengan ayahnya.

Dapat kita ambil intisarinya yang dikisahkan Qur’an tentang keberanian disertakan penegakan kebenaran oleh Nabi Ibrahin as. Terutama dalam surah Al-baqarah, al-an’am, at-taubah, Ibrahim, Maryam, al-Anbiya Asy-Syura, Ash-shafaat dan al-zukhruf).

Kemudian dalam Surah Al-Anam ayat 76, 77 dan 78 sampai 83 menceritakan detail bagaimana bapaknya para nabi ini mencari keyakinannya yakni tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah. Demikian hal ini menunjukan bagaimana Nabi Ibrahim  mendakwahkan kebenaran kepada umatnya.

Terdapat mufasir yang menafsirkan kalimat tersebut adalah kalimat debat untuk menunjukkan kesesatan dan kekeliruan kaum tertentu, namun ada hal bisa dipetik adalah betapa cerdas argumen-argumen yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim as untuk menunjukkan kesesatan dan kekeliruan pada kaum tertentu, seperti firman Allah dalam surah Al-An’am berikut;

“Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”, (Al-An’am ayat 76)

“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat” (Al-An’am ayat 77).

Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar. Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”, (Al-An’am ayat 78)

Tentang keberanian Allah tunjukan dalam firmannya dalam Quran surah Al-Anbiya ayat 58 “Maka dia (Ibrahim) menghancurkan (berhala-berhala itu) berkeping-keping, kecuali yang terbesar (induknya); agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.

Melihat hal itu, kaum Raja Namrud pun marah. Ia mendatangi Nabi Ibrahim dan mempertanyakan kehancuran patung berhala mereka. Nabi Ibrahim pun mengatakan bahwa yang menghancurkan berhala adalah patung yang paling besar.

“Dia (Ibrahim) menjawab, ‘Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakan lah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara.’ (Al-Anbiya ayat 63)

Ada pula keberanian Nabi Ibrahim as yang Allah tunjukan di Surah Al Anbiya dalam peristiwa penghancuran berhala yang dilakukannya yang berujung pada pembakaran dirinya hidup-hidup, yang dapat dipetik sebagai perdebatan Nabi Ibrahim dengan Raja Namrud seperti dikisahkan dalam firman Allah berikut;

“Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim. (QS. al-Baqarah: 258)

Didasarkan pada tafsir Jalalain QS. al-Baqarah: 258 etrsebut bahwa, (Tidakkah kamu perhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya) (mentang-mentang ia diberi Allah kerajaan) maksudnya raja Namruz yang karena telah berkuasa hendak menyangkal karunia Allah kepadanya, (ketika) menjadi badal dari ‘haajja’ (Ibrahim berkata) ketika Namruz menanyakan padanya;

“Siapakah Tuhanmu yang kamu seru kami kepada-Nya itu?” (“Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan”), maksudnya menciptakan kehidupan dan kematian di dalam tubuh.

(Katanya) Kata Namruz, (“Sayalah yang menghidupkan dan yang mematikan), yakni dengan membunuh dan memaafkan, lalu dipanggillah dua orang laki-laki, yang seorang dibunuh dan yang seorang lagi dibiarkan hidup.

Maka tatkala dilihatnya raja itu seorang yang tolol, (Ibrahim berkata) sambil meningkat kepada alasan yang lebih jelas lagi, (“Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah) olehmu (dari barat.

Karena itu, bingung dan terdiamlah orang kafir itu) tidak dapat memberikan jawaban atau dalih lagi (dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang aniaya) karena kekafirannya, yakni petunjuk ke jalan hidayah.

Visioner, Amanah dan Model Menumbuh Ahlak Generasi

Pemimpin visioner adalah yang mampu menerjemahkan cita-cita bangsa atau umat yang dimpinnya. Pemimpin tersebut memiliki kredibilitas, amanah terhadap rakyat serta memiliki bobot bermualamah dalam tata kehidupan sehari-hari

Olehnya, pemimpin dapat dikatakan tidak hanya mengandalkan retorika, namun perlu menunjukan bukti nyata di lapangan. Dengan  kata lain, ciri pemimpin tidak hanya berorientasi pada kekuasaan.

Allah SWT  berfirman “Dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?” (QS. an-Najm: 37).

Ayat tersebut menunjukan apakah dia juga mengingkari tuntunan wahyu yang terdapat pada lembaran-lembaran yang diwahyukan kepada Nabi Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji kepada Allah?

Memberikan sutau penegasan tentang ketentuan-ketentuan syariat Ibrahim (sebagai imam atau pemimpin umat) bagi yang telah melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya, telah menyampaikan risalahnya menurut semestinya.

Ibnu ‘Abbas menyatakan, Ibrahim telah menjalankan semua gagasan Islam yang tigapuluh macam banyaknya yang tidak pernah dijalankan oleh nabi yang lain, yaitu sepuluh gagasan tersebut dalam Surah at-Taubah/9 ayat 111 dan 112.

Terkait sosok Ibrahim yang amanah sekaligus memuat unsur visionernya Allah menunjukan doa-doa sebagaimana Allah berfirman;

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”. (QS. Ibrahim: 37).

Kemudian, “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (QS. Al Baqarah: 132).

Dari doa yang dilakukan nabi Ibrahim, mengajarkan untuk mendidik anak tidak bisa dengan usaha belaka atau membanggakan diri kita sebagai orang terdidik, tetapi butuh kepasrahan jiwa memohon pertolongan-Nya. Apalagi, mendidik akidah atau sikap keberagamaan anak dibutuhkan hidayah dari Allah SWT.

Saat Nabi Ibrahim as. berdo’a, Baitullah belumlah didirikan dan wilayahnya sangat tandus. Atas karunia Allah Swt., Nabi Ibrahim as. punya visi dan tekad kuat untuk menyempurnakan janji tersebut.

Dan, beberapa tahun kemudian Baitullah dibangun untuk kemudian berkembang menjadi wilayah Masjidil Haram – Mekkah yang kita kenal sekarang, pusat manusia-manusia mendirikan shalat.

Seain itu, nabi Ibrahim as juga senantiasa mendo’akan negeri dimana diharapkan terus menumbuhkan peradaban dan anak cucu serta keturunannya agar tetap tegakan kebenaran dan tidak menyembah berhala dengan membangun ahlak dan moralitas mereka seperti ayat berikut;

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala”.

Sejatinya, seorang pemimpin bukan hanya pada masa keuasaannya, tetapi masa yang akan datang. Tentu, pembentukan mental generasi merupakan sesutau yang fundamental sebagai penerus masa tersebut.

Bagaimana kemudian pengikut Nabi Ibrahim seperti Nabi Luth diangkat menjadi Nabi. Dalam berbagai ayat Al Qur’an dikisahkan bahwa para malaikat menemui dan memberitahu Nabi Ibrahim as.

Kemudian dapat disimak bagaimana kesabaran Ismail yang masih belia ketika dirinya akan disembelih karena perintah Allah SWT. Kesabaran yang dibentuk ayahnya (Ibrahim laksana adanya proses kaderisasi yang jarang ditemui saat ini.

Ismail memiliki sifat halim, yaitu santun dan sabar (QS ash-Shaffat [37]: 101). Sifat itu dimiliki Ismail karena meneladani sifat ayahnya yang juga berkarakter halim.

Kunci sukses model pendidikan Nabi Ibrahim adalah metode keteladanan. Dalam Alquran bahwa Ibrahim adalah uswatun hasanah (QS al-Mumtahanah [60]: 4 dan 6).

Dari satu penjelasan disebutkan bahwa, perkembangan psikologinya, anak cenderung meniru (imitatif) orang-orang sekitarnya, terutama dari orang tua. Di sinilah diperlukan keteladanan orang tua, baik soal keimanan, ketaatan beribadah, sikap, maupun perilaku sehari-hari.

Model pendidikan anak-anak pada umumnya sebagai wujud tatanan moral dan ahlak generasi yang dibangun saa ini masih menjadi pertanyaan?. Apapun istilah program pendidikan yang dicanangkan, tak lepas dari peletakan fondasi pendidikan berhaluan pada pembentukan akidah dan ahlak dan contohnya telah dibangun Nabi Ibrahim as.

Komentar