oleh

Pemilu, Harapan Dan Kemerdekaan

Oleh : Risman Tidore
(Pemerhati Public Policy dan Civil Society)

 

banner 1200x500

Ketika kita mereview kembali gagasan historis tentang demokrasi dalam rentang waktu perjalanan keindonesiaan founding father, disana kita temukan berbagai pijakan inspiratif yang mampu menyelaraskan pandangan terutama pandangan tentang demokrasi politik dan ekonomi yang visioner.

Dalam aktualisasinya, demokrasi politik dan ekonomi konsisten menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Bersamaan dengan itu, gagasan-gagasan tentang demokrasi juga menekankan konsensus yang membuat para pendiri bangsa bersepakat membangun republik indonesia sebagai negara hukum dimana konstitusi negara menjadi norma dasar yang memberikan pengakuan atas kemerdekaan manusia.

Potret perjuangan politik “klasik” diatas relevan dengan konteks dinamika politik dan demokrasi indonesia hari ini. Setidaknya kita tersadarkan pada sebuah refleksi etika politik yang dikenal dengan “Indignation” atau suatu sikap tidak menerima atau tidak rela dan protes terhadap immoralitas dan ketidakadilan.

Refleksi ini juga turut meresonansikan secara radikal hakikat distribusi kebijakan politik dan ekonomi (pemerintah) menuju cita-cita negara sejahtera sebagai project imajinasi luhur yakni dengan membumikan keadilan sosial dalam kerangka negara-bangsa yang demokratis (nation-state democracy) yang dikehendaki oleh berbagai elemen anak bangsa.

Dalam perjalanannya, gagasan tentang demokrasi dalam konteks Indonesia mendapatkan formulasi secara jelas dari berbagai kalangan pemikir revolusioner bangsa klasik sbut saja Soekarno dan Mohammad Hatta. Pergulatan pemikiran mereka yang intens dengan tradisi demokrasi di Eropa, penyelidikannya atas praktik demokrasi serta penghayatannya atas tradisi permusyawaratan dan gotong royong dari masyarakat desa di Indonesia menjadi latar yang kuat dalam mengkonseptualisasikan model demokrasi yang cocok bagi bangsanya.

Pemikiran-pemikiran awal tentang demokrasi bisa dilacak melalui tulisan-tulisan terhebat misalnya “demokrasi politik dan ekonomi” (1932) ala Bung Karno serta “demokrasi asli Indonesia dan kedaulatan rakyat” (1932), versi Mohammad yang didalamnya memfasilitasi perumusan gagasan dan ide tentang berbagai kaidah demokrasi dan politik termasuk salah satu instrumen demokrasi yang dikehendaki umum dan menjadi hajatan penting kenegaraan yakni proses sirkulasi elit 5 tahunan, yang dikenal dengan pemilihan umum (Pemilu).

Membangun Politik Harapan

Catatan jelang pemilu serentak 2024 yang dibaca saat ini merupakan suatu dialektika akal dan suara hati yang terus-menerus digaungkan setidaknya ada tahapan maju (progresifitas) masyarakat dalam politik. Kesantunan berdemokrasi dan kejujuran dalam  berpolitik merupakan harapan semua pihak yang harus digapai dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas.

Memang kontestasi demokrasi prosedural sedang dalam penguatan dan pemantapan kala memasuki tahapan rezim pemilu serentak pilpres dan pileg 2024, namun memastikan harapan untuk kemajuan bangsa 5 tahun kini menjadi perhatian serius oleh berbagai pihak (stakeholder).

Pemilu yang sejatinya merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih perwakilan di eksekutif dan legislatif baik di level nasional hingga provinsi dan kabupaten/Kota seakan-akan menjadi pertaruhan harapan.

Berkenaan dengan itu, momentum Pemilu sejatinya memberikan kesempatan bagi setiap warga negara yang telah memenuhi syarat untuk berpartisipasi menggunakan hak politiknya.

Dengan dan melalui Pemilu pula diharapkan menjadi sarana pendidikan politik dan perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin pemerintahan dan anggota dewan perwakilan sebagai representasi rakyat yang tentunya juga diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat, serta mendorong kemajuan bangsa.

Senada dengan itu, demokrasi yang pada hakikatnya memfasilitasi dan memberikan kemerdekaan kepada rakyat haruslah mengandung moral publik. Suatu ego partikular setiap manusia kedalam ego universal bernama rakyat. Baru pada konteks inilah “fox populi” alias suara rakyat dapat menjadi “fox dei” suara Tuhan.

Dalam negara demokrasi, jabatan yang berfungsi mengurus hajat masyarakat umum merupakan jabatan publik yang sumber legitimasinya meniscayakan adanya persetujuan rakyat. Dalam konteks inilah pemerintahan demokratis identik dengan bentuk pemerintahan republik yang mengandaikan bahwa pengisian jabatan publik harus dikembalikan kepada persetujuan rakyat (res publica).

Oleh karna itu, melalui kanal pemilu, pengembangan politik harapan dimasa depan kian banyak bergantung kepada pejabat publik, terutama eksekutif dan legislatif yang berada dalam posisi utama penetapan regulasi dan kebijakan publik ba

Dalam berbagai pendapat menyebutkan bahwa, pemilu harus diteropong dalam logika politik, Dante Germino misalnya, penulis buku tentang ideologi dan politik asal Amerika mengatakan bahwa politik sebagai percakapan dari banyak suara, pada konteks ini, satu suara rakyat sangatlah berharga dan memiliki nilai dimata pemburu jabatan publik.

Oleh karena itu, menjadi rakyat yang berdaulat adalah penentu segala-galanya dimasa depan termasuk masa depan yang lebih maju dan sejahtera, bahkan sebaliknya, suara rakyat bisa menjadi kekuatan perusak, semuanya berada ditangan masyarakat sendiri.

Asa Kemerdekaan

Tinggal sehari hari lagi Republik Indonesia akan merayakan ulang tahun yang ke – 78. Refleksi seremoni tahunan di bulan agustus tersebut tentu memberi sebuah perenungan tersendiri  bagi sebagian besar rakyat Indonesia.

17 Agustus merupakan simbol kongkret kemerdekaan yang termanifestasi dalam UUD 1945 yang menegaskan fungsinya yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Tapi, persoalan mulai timbul ketika upaya memuliakan hak dasar warga negara itu diletakkan dalam konteks keindonesiaan hari ini. ada semacam suasana psikologi-sosial yang mengandaikan bahwa kini, eksistensi kebangsaan seakan-akan berada pada wajah yang lain-indonesia yang kian jauh dari yang dicita-citakan sebelumnya.

Dimana praktek politik dan ekonomi dalam sistem bernegara terkesan berjalan di bawah bayangan dan pengaruh agenda setting liberalisasi ekonomi dengan panji-panji globalisasi. Tak cukup sampai disitu, agenda sirkulasi elit lima tahunan atau suksesi demokrasi elektoral nasional hingga daerah pun tak luput dari cengkaraman kuasa kapitalis. Pertaruhannya adalah amanat konstitusi yang mengharuskan negara untuk melindungi segenap tumpah darah dan seluruh rakyat Indonesia.

Kehidupan bermasyarakat yang melibatkan banyak pihak tak jarang menimbulkan perbedaan pendapat dan perlu diantisipasi dengan solusi yang tepat sehingga tidak menimbulkan perselihsihan dan perpecahan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, para pendahulu bangsa ini telah mencontohkan kita bagaimana langkah yang tepat untuk bisa memecahkan masalah dalam setiap persoalan, sebagaimana dengan lahirnya pancasila yang dilakukan dengan musyawarah, begitu pula yang harusnya kita lakukan untuk melahirkan kesepakatan di setiap permasalahan yang datang.

Untuk itu, dalam rangka memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke-78 tahun, ada baiknya kebiasaan bernostalgia secara ideologis tersebut kita alihkan kepada ingatan kolektif kita kepada nilai-nilai demokrasi ekonomi yang tersirat komprehensif didalam ajaran Pancasila, agar bisa menjadi “basis ideologis” bagi penguasa-penguasa baru yang bermunculan, saat ini maupun yang akan datang, baik di daerah maupun di level nasional.

Hal tersebut sudah menjadi imperatif ideologis bagi bangsa Indonesia untuk berjuang tanpa lelah menjaga irama demokratisasi sampai ke titik konsolidasi sebagaimana diamanatkan sila keempat Pancasila. Kemudian, jika irama demokrasi sudah relatif stabil, baik secara institusional maupun prosedural, maka sila kelima Pancasila akan menyempurnakannya (keadilan sosial).

Karna pada hakikatnya, membangun dialektika kritis tentang distribusi keadilan diberbagai sektor kehidupan merupakan warisan otentik para pendahulu bangsa (founfing father) yang bisa kita jadikan landasan moral kebangsaan dalam mentransformasikan spirit kejuangan untuk modal membangun indonesia dikemudian hari. Dengan modal itu pula kita hendak dan terus membangun bangsa ini sebagaimana tertuang dalam cita konstitusi, yakni melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Komentar