Jazirah Indonesia – Selama lima tahun terakhir terhitung dari periode 2018-2023, Provinsi Maluku Utara telah menghadapi defisit beras yang menunjukkan tren peningkatan dan belum mampu diimbangi dengan peningkatan konsumsi masyarakat.
Akibatnya, defisit beras terus meningkat, yang pada gilirannya memperbesar ketergantungan terhadap pasokan dari wilayah lainnya.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Maluku Utara, Tunas Agung Jiwa Brata mengatakan, seiring dengan sektor pertambangan yang semakin kuat, jumlah petani semakin berkurang akibat pergeseran profesi maupun kurangnya minat generasi muda terhadap sektor pertanian.
Selain itu, dukungan modal, pembinaan, dan investasi dari pemerintah dinilai belum memadai untuk meningkatkan kesejahteraan pertani.
Adapun Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Maluku Utara sempat mengalami tren yang cenderung menurun selama empat tahun terakhir. Namun pada tahun 2023, IKP kembali meningkat sebesar 3,95 poin dibandingkan tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan provinsi lainnya, Maluku Utara masih berada di peringkat 32 dari 34 Provinsi dengan kategori agak tahan (62,34).
“Rendahnya IKP dipicu produksi pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhan, prevalensi stunting yang lebih tinggi, dan akses air bersih yang terbatas di beberapa daerah,” kata Agung, Selasa (26/11/2024).
Ia mengungkapkan, dari aspek ketersediaan, Maluku Utara mengalami defisit pangan sehingga sangat bergantung pada suply pangan dari wilayah lain. Selain itu, belum adanya cadangan pangan pemerintah daerah juga membuat skor/indeks ketahanan pangan rendah.
“Hanya wilayah Halmahera Timur dan Halmahera Utara yang nilai pada aspek ketersediaan cukup tinggi, mencapai 78,69 dan 84 dikarenakan produksi beras dan pangan pokok lainnya di kedua wilayah tersebut cukup tinggi,” paparnya.