Jazirah Indonesia – Kepala Kejaksaan Negeri Tidore Kepulauan, Widi Trismono menegaskan bahwa penanganan kasus korupsi bantuan DID tahap II di Dinas Pertanian tahun 2020 yang dilakukan pihaknya telah memenuhi prosedur hukum.
“Jadi intinya kita sudah sesuai prosedur, kita nggak menzolimi seseorang,” ujar Widi kepada sejumlah wartawan, Rabu (14/11/2024).
Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, menyatakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Widi mengatakan, mengacu pada Undang-undang tersebut, Nuraksar Kodja terbukti secara sah bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Dimana Nuraksar menyediakan rekening yang menampung dana transfer dari kelompok tani untuk belanja barang pertanian.
“Kan rekeningnya Nuraksar Kodja, artinya itu sudah bersama-sama melakukan tindakan merugikan keuangan negara,” katanya.
Selain itu, peran Nusaksar Kodja yaitu menyediakan toko tani agar semua petani di daratan Oba membelanjakan uang bantuan mereka di toko tersebut.
“Kalau tanpa ada Nuraksar Kodja bisa nggak dilakukan tindak pidana korupsi itu? Namanya korupsi itu tidak bisa sendiri-sendiri pak, pasti ada pihak yang terlibat,” ucapnya.
Ia mengungkapkan, berdasarkan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2023, kerugian negara dalam kasus bantuan DID tahap II di Dinas Pertanian Kota Tidore tahun 2020 sebesar Rp745.241.363.
Sebelum dilakukan audit oleh BPKP kata Widi, pihaknya secara maraton meminta keterangan kepada 140 saksi. Setelah keterangan saksi terpenuhi, barulah pihaknya meminta audit BPKP.
Menurutnya, pihak BPKP tidak serta merta menerima hasil penyidikan begitu saja. Untuk memastikan itu, BPKP masih mengundang pihak-pihak untuk mengklarifikasi kebenaran hasil penyidikan.
“Makanya saya yakin hasil BPKP valid. Dia (BPKP) enggak serta merta mengambil kesimpulan dari kita, enggak,” katanya.
Kerugian negara yang dihitung BPKP itu, menurut Widi tidak hanya diakibatkan oleh perbuatan Nuraksar Kodja semata, melainkan ada pihak lain.
Widi mengungkapkan, yang punya peran utama dalam kasus korupsi bantua DID tahap II yaitu kepala Dinas Pertanian Imran Yasin.
“Sebetulnya ada pihak lain, almarhum kepala dinas (Imran Yasin), cuma kan di dalam KUHAP orang sudah meninggal kan sudah hapus pidananya,” jelasnya.
Bahkan sejak dari awal pemeriksaan kata Widi, pihaknya selau meminta kepada Nuraksar agar menunjukan bukti dan menghadirkan saksi bahwa yang bersangkutan tidak bersalah.
“kita sampaikan, bapak (Nuraksar Kodja) kalau ada tunjukan, kalau bapak nggak bersalah,” katanya.
Namun saat persidangan, Nuraksar menurut Widi, tidak bisa menghadirkan saksi untuk meringankan yang bersangkutan.
Ia mengatakan, dalam penanganan perkara korupsi, pihaknya tidak sekadar sampai pada para koruptor dijebloskan ke penjara.
Pihaknya kata dia, juga diperintahkan untuk meminta pengembalian kerugian keuangan negara yang hilang akibat dari perbuatan pidana tersebut.
Dalam perkara bantuan DID ini, setelah adanya hasil audit BPKP, pihaknya diakui Widi telah meminta kerugian keuangan negara kepada Nuraksar Kodja saat masih berstatus tersangka.
“Kalau kita minta itu kembalikan dalam koridor kerugian negara apakah itu termasuk suap? Kan memang itu yang harus kita lakukan,” ucapnya.
Setelah disampaikan ke tersangka lanjut Widi, pihak tersangka mungkin menganggap pihaknya meminta uang untuk penyelesaian perkara.
“Saya kasih contoh, yang bersangkutan pernah ngembalikan ke kita diproses sidang, Rp4.800.000. Uang itu kita kemanain? Enggak kita kantongin bang, kita setor ke kas negara,” ungkapnya sembari memperlihatkan bukti setoran ke kas negara.
Dalam kasus itu, majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Ternate menjatuhkan vonis kepada terdakwa dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp200 juta.
Putusan hakim itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut terdakwa dihukum 5 tahun 6 bulan penjara.
Terkait uang pengganti, JPU meminta terdakwa mengembalikan uang negara sebesar Rp745.241.363.
Sementara putusan majelis hakim meminta terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp119 juta.