Oleh: A. Malik Ibrahim
IMAJINASI bahasa yang tergambar dalam kata camhaho adalah metafora dari perilaku bertutur yang mengira-ngira. Kata-katanya selalu bergulung kembali masuk tenggorokan dan hanya suka menyela omongan orang.
Lihat saja elit politik yang kerap camhaho di debat publik calon Kepala Daerah. Ada yang tidak tahu mesti menjawab bagaimana, sehingga diskusi berubah jadi dagelan. Orang berbisik seraya bilang, O feto bato – maksudnya bafeto saja.
Kata camhaho terambil dari bahasa Tidore – sebuah ungkapan yang ditujukan pada orang yang bicaranya tidak tahu ujung pangkal. Kata ini adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar cam dan haho. Cam artinya mengunyah – bacamu makanan kecil yang tidak mengenyangkan. Diartikan sebagai gagal mencerna suatu masalah. Sekedar goyang lidah, tanpa dikunyah ulang.
Begitu juga dengan haho berarti mengeluarkan makanan dari mulut (memuntahkan). Artinya, tidak dicerna secara tuntas, karena konstraksi kondisi kognitif. Dua contoh bahasa lisan ini sesungguhnya memberi nilai — bagaimana kita belajar mencerna substansi dari sebuah masalah.
Camhaho, lantas dijadikan ejekan untuk segala sesuatu yang berhubungan degan cerita kosong, cerita ember yang tidak masuk akal. Bicara yang melambung-lambung. Boleh dibilang begitulah makna camhaho. Memutar-mutar – cerita bagabu of konga.
***
Fenomena bahasa lisan intinya didengar, dicerna dan dicermati, sehingga pesan dan faktanya tidak bombastis, apalagi melahirkan opini liar. Itulah sebabnya, camhaho lebih dari sekedar bahasa gado-gado, campur aduk dan bisik-bisik.
Padahal watak masyarakat itu tidak suka dengan basa-basi. Langsung straight to the point. Seakan-akan dengan camhaho itu, mereka mengerti dengan permasalahannya dan menganggap semua selesai. Bagi saya bahasa juga menyangkut sikap batin dan pemihakan dalam berekspresi. Dipikir dengan akal dan dirasa dengan hati serta diwujudkan dalam tindakan.
Dalam politik orang mengenal idiom “kebohongan publik”. Frasa ini bermakna perbuatan membohongi pubik atas suatu kebijakan yang implementasinya tidak logis. Konyolnya lagi omongannya seperti anjing menggonggong, tapi tidak akan mengigit”. Mulut mereka selalu penuh dengan pisang goreng jadi susah bicara. Sibuk terkecoh oleh tepuk tangan, tapi tidak bisa mengoreksi. Seakan-akan seluruh camhahonya adalah demi kebutuhan rakyat. Apalagi ada anggota DPRD yang ngaku paling hobi tidur ketika sidang.
Cukurungan jangan pasif. Kamu yang selama ini kerjanya cuma camhaho ayo bicara. Bicara yang ada kaitannya dengan realitas kebutuhan masyarakat. Kalau tidak bicara jangan-jangan kalian sekedar kumpulan orang mou alias bisu. Kan sudah dibikinkan konsepnya. Kenapa tidak bunyi? Tanpa pemahaman dan kerangka konsep, gagasannya hanya camhaho.
Bagi saya, ciri dan sifat camhaho adalah kebohongan dan pembenaran tanpa unsur akurasi. Tidak perlu di-nalar, cukup didengar saja. Berbeda dengan kecerdasan pikiran. Ketika bicara tentang masyarakat, sebaiknya jangan yang muluk-muluk. Berfikir sederhana saja – apa kebutuhan mereka. Syaratnya jangan camhaho, tapi bicaralah yang benar. Dalam atmosfir nilai semacam itu, bahasa tentu punya konteks.
Ketidaklineran ini ternyata mendudukan camhaho dalam konsep dinamisasi nilai. Andaikan sepotong telur tergolek di piring, jelas telur itu bernilai makanan. Tapi bila sepotong telur ini kita onggokan di tempat sampah, dia jadi sampah. Lain lagi jika sepotong telur kita gantungkan di atap rumah atau pohon, maka dia bernilai sesajen atau matakao.
***
Contoh camhaho yang dilakukan Pemprov Maluku Utara adalah soal utang. Faktanya Pemprov gagal merealisasikan pelunasan utang di akhir tahun 2024. Dan di 2025, masih berkutat pada camhaho sisa utang 114 miliar.
Diakui atau tidak, di balik kata camhaho, digambarkan bagaimana manusia secara historis telah berbohong baik pada orang lain maupun diri sendiri. Setiap hari, mulai dari bisnis, politik dan geografi.
Banyak orang keliru, menafsirkan kata “Truth” dalam era pasca- kebenaran atau “post truth”. Di titik itu kita bertanya, “benarkah dulu pernah ada masa-masa keemasan ketika kebenaran hakiki disampaikan? Dan Truth menjawab mengapa orang berbohong, dan bagaimana kita dapat keluar dari semua omong kosong itu, kata Tom Phillips.
Politik akan kembali menjadi lorong gelap. Kita hidup tanpa keterbukaan – penuh khayali belaka. Mengada-ada, terjepit oleh kebohongan. Sulit mendefinisikan apa itu kebenaran dan apa kebohongan. Tidak semudah dipikirkan, keduanya beda tipis.
Kita menyaksikan bagaimana politik elektoraal jadi arena politik post-trut, ketika batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi kabur. Semua orang camhaho – sesuai preferensi jabatan dan kepentingan isi perut.
Saya kira fungsi kritik, benar, “adalah usaha pencarian nilai yang tetap diteruskan”. Kegagalan kita selama ini antara lain, ditentukan oleh kegagalan menumbuhkan keberanian camhaho. Kebuntuan politik dan ketidakpastain kebijakan, karean kita mengabaikan tradisi camhaho.
Saya ingin semua orang setuju. Sebab, setuju bukan berari asbun atau camhaho. Barangsiapa setuju setelah berfikir, dia nalar.[]