Tanah Merah Yang Bertuan.

Oleh : Masgul Abdullah
(Pemerhati Sosial dan Pengajar di STIMIK Tidore Mandiri)

 

Jazirah Halmahera selalu menjadi barometer pertarungan elit di negeri ini. Baik pertarungan politik di level Lokal maupun Nasional. Pertarungan politik elit itu selalu memperhitungkan siapa dapat apa di Halmahera. Ujung dari perrtarungan elit politik di negeri ini selalu memperhitungkan apa yang dia dapat dari Tanah merah di Halmahera.

Kenapa tidak, di Maluku Utara ini, terdapat 103 izin Tambang dan Industri Pertambangan meskipun baru beberapa yang aktif. Kita bisa menelusuri siapa dibalik bercokolnya IUP dan IUPK yang hadir disana.

Halmahera dengan tanah merah bukan hanya memicu konflik politik antar elit dengan elit diarena politik saja. Gejala konflik diakar rumput khususnya masyarakat di lingkar tambang mulai menampakan eskalasinya. Mulai dari konflik sesama masyakat atas kepemilikan lahan, ketenaga kerjaan, tapal batas dan yang terbaru konflik antara PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Halmahera Timur dengan masyarakat lingkar tambang, dimana konflik seperti ini tidak terdengar 10 tahun lalu.

Adat sebagai pranata sosial, menjadi perekat di tengan masyarakat lingkar tambang semakin terkikis karena hadirnya invetasi yg begitu masif. Pemekaran wilayah di Maluku Utara membuat daerah adat terbagi-bagi berdasarkan sekat administrasi pemerintahan. Pemerintah daerah merasa mereka paling memiliki otoritas atas hadirnya Invetasi wilayah hukum mereka masing-masing. Harta Karun tanah merah itu membuat orang saling berebut ruang hidup dan mempertahan hak nya dengan mengklaim diri paling berhak atas tanah itu.

Misal, PT. NHM di Halmahera Utara yang merupakan wilayah adat kesultanan Ternate yang berkedudukan di Kota Ternate. Kemudian PT. IWIP di Halmahera Tengah, PT Antam Grup di Halmahera Timur yg berada di Wilayah adat Kesultanan Tidore yg berkedudukan Kota Tidore. Dan PT HARITA Grup di pulau Obi berada di otoritas Kesultanan Bacan yang sudah diusulkan menjadi DOB Pulau Obi.

Ini menjadi akar konflik jika tidak dikelolah dengan baik. Pemda bisa saja merasa paling berhak atas urusan Inventasi meskipun di atas wilayah Kesultanan. Kesultanan hanya diposisikan sebagai penghimbau jika ada konflik antara sesama masyarakat. Ibarat ‘pemadam kebakaran” dibutuhkan jika sudah terjadi kebakaran.

Hal ini yg perlu didudukan agar terbangun kesamaan pemikiran. Karena sejarah tidak bisa dihapus meskipun menggunakan tintah emas. Jangan sampai harta yg saatnya akan habis itu (Non Renewable Energy) membuat kita bertikai sesama anak cucu dan mengklaim diri paling berhak, karena hanya batas-batas pemerintahan.

Sampai kapanpun, wilayah kultural itu tidak akan hilang sedikipun dengan segala harta kekayaan yang terkandung di dalamnya, meskipun dibatasi oleh sekat-sekat administrasi pemerintahan. Kata orang tua-tua terdahulu “makan me inga-inga dia pe tuan lagi” (jangan serakah), pelihara dan jaga sang pemilik wilayah. Saya sangat yakin, di atas tanah merah itu ada Bobeto (pesan sakral) dari leluhur yang disematkan.

Jangan sampai kita terjebak pada situasi yang disebut Resource Curse (Kutukan Sumber Daya Alam) dimana kekayaan sumber daya alam malah membuat kita mengalami kemunduran, bahkan kehancuran. Dan jika petaka datang, disitulah kesadaran akan muncul, dimana tempat perlindungan sesungguhnya.

 

Waulahuwalambisawab