Kalah dan tersingkirnya Pejuang Pangan Lokal; Refleksi atas Nasib Pedagang Kecil di Pasar Rakyat Ibu

Oleh : Mohtar Ridwan

 

Negara melalui konstitusi menjamin hak warga atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) menegaskan hal tersebut, dan dalam konteks usaha kecil, jaminan itu dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.

Regulasi ini memberikan landasan hukum yang lebih komprehensif agar pelaku UMKM mendapatkan perlindungan dan kesempatan berkembang secara adil.

Meski itu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaku usaha kecil masih menghadapi tantangan yang tidak sederhana.

Udara Pagi yang menggigil, riuh berisik para penjual dan pembeli saling tawar menawar harga menandai padatnya aktivitas dipasar Ibu pagi ini (Sabtu, 6 Desember 2025).

Usai menunaikan shalat subuh, saya melangkah keluar dari lapak dan menyaksikan wajah orang-orang yang datang dari berbagai wilayah. Ada yang dari wilayah terdekat (Kecamatan ibu),  ada yang berasal dari kecamatan ibu selatan, dari kecamatan Tabaru, bahkan ada pula yang berasal dari loloda.

Sebuah pertemuan antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi ekonomi dan menetapkan harga, selain itu aktivitas ini sekaligus menandai terpeliharanya hubungan silaturahmi antar masyarakat.

Pasar Rakyat Ibu merupakan salah satu pasar yang paling padat aktivitas di empat kecamatan (ibu, ibu selatan, Tabaru dan loloda). Pasar rakyat yang mulai ada semenjak tahun 1970an ini masih eksis hingga saat ini namun menyimpan sisi gelap yang sedang tidak baik baik saja.

Minimnya infrastruktur serta tidak tersedianya terminal dan area parkir membuat akses jalan utama sangat terganggu. Sehingga, wajah pasar ini terlihat semrawut, banyak pedagang Barito (pangan) yang tidak mendapatkan tempat untuk dapat berjualan dengan aman dan nyaman.

Namun meski dengan beragam keterbatasan infrastruktur tersebut, padatnya aktivitas di pasar rakyat ini benar-benar menunjukkan geliat ekonomi yang luar biasa dimana pergerakan, dinamika, dan vitalitas dalam kegiatan ekonomi masyarakat terlihat intens di Pasar ini.

Hari Sabtu menjadi pilihan hari yang ditetapkan sebagai puncak dari aktivitas pasar Ibu (hari Pasar). Dimana pada tahun-tahun sebelum 1999 pernah diberlakukan dua hari dalam seminggu yakni hari Rabu dan hari Sabtu. Namun Pasca tahun 2000an barulah hari pasar diberlakukan hanya sekali dalam seminggu hingga saat ini.

Para pedagang lokal biasanya hadir di pasar ini sehari sebelum hari pasar, mereka para penjual itu biasanya tiba dipasar pada Jumat malam antara pukul 19.00 hingga 23.00 WIT. Aktivitas bongkar-muat barang  untuk dijual pada esok harinya nampak sangat sibuk.  Jenis barang yang mau dijual beragam jenisnya, mulai dari Cabe, Tomat, bawang merah, piisang, ubi,  kacang-kacangan, sayur mayur dan lain-lain.

Setelah mengemasi barang jualan yang dibongkar dari mobil angkutan (Pick-up) mereka (pedagang) selanjutnya menyiapkan tempat untuk dapat beristirahat. Dengan beralaskan kardus/koran mereka merebahkan tubuh diemperan-emperan toko/kios  untuk mengumpulkan energi dan tenaga sembari menunggu fajar menyongsong guna memulai aktivitas berjualan.  Meski kedinginan, namun demi sesuap nasi untuk keluarga dirumah, mereka rela jalani tantangan yang sangat keras.

Ketika suara adzan subuh menggema di mesjid, para penjual maupun pembeli memulai aktivitas pasar, sebagian besar para penjual adalah petani yang menjual hasil panennya langsung ke pasar (produsen), dan sebagian lainnya adalah pedagang kecil yang berbelanja langsung pada petani dan menjualnya ke pasar (distributor).

Oleh karena keterbatasan infrastruktur dan sarana penunjang yang disajikan pasar ibu sehingga Para penjual hasil pangan ini tidak mendapatkan tempat berjualan yang layak, mereka terpaksa jualan dipinggiran jalan dan emperan toko di sepanjang area pasar. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya kemacetan parah dijalan raya, selain itu juga sangat berpotensi mudah terjadi lakalantas.

Berdasarkan keterangan yang saya himpun dari kepala pasar bahwa satu unit bangunan pasar itu diperuntukkan untuk penjual Barito, namun konstruksi yang dibangun tidak sesuai dengan standar pasar Barito alhasil tempat tersebut oleh pengelola pasar dibawah pengawasan Disperindag ditempatilah oleh pedagang musiman yang datang dari luar daerah dalam setahun sekali untuk melakukan aktivitas berdagang.

Para pedagang musiman yang datang dari luar daerah ini menawarkan jualan pakaian, peralatan rumah tangga, hingga bahan elektronik dan lain-lain. Mereka datang jelang Desember dan diberi tempat karena dengan alasan tidak di tempati oleh penjual Barito.

Padahal, semestinya para pedagang lokal mendapatkan tempat yang jauh lebih istimewa, nyaman, dan aman dibandingkan para pedagang musiman. Memberikan ruang bagi pedagang musiman yang hanya datang sekali setahun, sementara pedagang lokal yang beraktivitas rutin justru dibiarkan berjualan di jalan dan emperan toko, menunjukkan bahwa kita tanpa sadar ikut membuka peluang terjadinya perputaran uang keluar daerah (economic leakage).

Hal ini terjadi karena para pedagang musiman, setelah berjualan pada periode Desember, akan kembali beraktivitas di daerah lain. Mereka baru akan kembali lagi pada Desember tahun berikutnya untuk berdagang, sehingga keuntungan dari transaksi selama berada di daerah ini tidak berputar secara maksimal untuk mendukung perekonomian lokal.

Sebuah situasi di mana uang yang dihasilkan di dalam daerah tidak berputar kembali di dalam daerah untuk menggenjot ekonomi lokal, melainkan mengalir keluar daerah atau yang kita kenal dengan istilah kebocoran ekonomi.

Sementara para penjual pangan (pedagang lokal) yang rutin setiap minggu berjualan dari tahun ke tahun semenjak dahulu kala hingga saat ini, mereka berjuang untuk memenuhi ketersediaan pangan masyarakat di empat kecamatan serta hajat hidup keluarga mereka sendiri terpaksa tersingkir dari tempat yang seyogianya mereka tempati.

Mereka terpaksa berjualan di bawah terik matahari dan guyuran hujan, padahal mereka paling berhak mendapatkan tempat lebih layak dari pada pedagang musiman dari luar itu. para pedagang lokal kalah dan tersingkir diatas tanah mereka sendiri.

Para pedagang hasil pangan lokal, selain ditampar oleh tidak adanya tempat jualan yang layak, hasil produksi yang mereka jual terkadang kalah bersaing dengan para tengkulak dimana produksi jenis tanaman hortikultura  dipasok dari luar daerah seperti cabai, tomat, bawang merah, bawang putih, kol, dll.

Anjlokan harga serta membludaknya hasil produksi pangan jenis hortikultura yang dipasok dari luar daerah tersebut menjadikan para Penjual (Petani lokal) kalah atas kompetisi pasar. Disinilah titik krusial para pedagang lokal dipaksa untuk menyesuaikan penawaran.

Oleh karenanya pada fase ini, pemerintah Daerah semestinya hadir untuk memberikan solusi terbaik dalam merespon permasalah yang dihadapi pedagang lokal sebagaimana diuraikan sebelumnya.

Melalui Dinas Perindustrian, perdagangan dan koperasi (Disperindagkop) bersama DPRD semestinya tampil mengambil tindakan cepat dalam merespon pasokan produksi (rantai pasok) melalui regulasi yang mengikat sehingga baik Pedagang produsen-penjual (producer-seller) ataupun Distributor lokal dapat menghadapi ancaman tengkulak luar yang sering merekayasa harga demi kepentingan kompetisi pasar.

Selain itu yang paling terpenting dalam menjawab permasalahan tempat jualan di pasar Ibu adalah dengan memprioritaskan pedagang lokal untuk menempati posisi didalam pasar yang telah disiapkan.

Namun jika memang bangunan pasar yang telah disiapkan itu bukan untuk pedangan Barito lokal, maka seyogianya hal ini seharusnya mendapatkan perhatian serius pemerintah untuk segera dibangun pasar untuk para pedagang Barito Lokal (pedagang pangan) sesuai standarnya, sehingga mereka dapat berjualan ditempat yang jauh lebih layak, higenis dan tentunya nyaman dan aman dari ancaman terik matahari dan guyuran hujan.

Dengan demikian ketika pedagang lokal mendapatkan perhatian serius oleh Pemda Halmahera Barat maka akan sangat adil terasa meskipun para pedagang musiman itu diperlakukan sama. Sebab terkadang  Ketidak adilan itu nampak didepan mata meskipun merupakan hal kecil, namun luput dari pandangan kita semua jika tidak diseriusi secara bijak, terutama oleh para pemangku kebijakan didaerah.

Harapannya lewat goresan singkat ini menggugah hati Pemerintah Daerah baik Kabupaten Halmahera Barat maupun Provinsi Maluku Utara sehingga para pedagang ini bisa disediakan tempat dan fasilitas memadai sehingga laju pertumbuhan ekonomi serta terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat dapat sejalan dengan rasa nyaman, aman oleh para pelaku pasar saat melakukan aktivitas di Pasar Rakyat ibu.

banner 1100x500