Jazirah Indonesia – Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah Partai Nasional Demokrat (NasDem), A. Malik Ibrahim, kembali melansir soal penghormatan terhadap Kesultanan di Jazirah Maluku Utara.
“Apabila kita bicara tentang protokoler dalam pengertian umum meliputi, tata penghormatan, tata tempat duduk dan tata upacara dalam acara resmi pemerintahan berkaitan dengan kedudukan keuangan Sultan dapat diatur melalui peraturan Daerah dan idealnya mendapat porsi yang memadai melalui APBD,” ujar Malik dalam keterangannya, Selasa (7/2/2023).
Anggaran itu lanjut Malik, baik berupa anggaran pemeliharaan keraton, insentif bagi sultan sebagai tokoh adat yang pasti dengan jumlah yang proporsional dan rutin dan biaya rumah tangga serta dukungan anggaran untuk kegiatan ritual keagaamaan yang dilestarikan sebagai budaya daerah.
Keseluruhan gagasan tersebut kata Malik, harus mampu memberikan penghormatan kepada Sultan baik dari sisi protokoler dalam acara resmi pemerintahan maupun dalam kedudukan keuangan yang dibiayai oleh APBD baru bisa dilakukan apabila ada peraturan daerah (Perda) yang mengatur secara khusus terkait hal itu.
“Sehingga, regulasi itu dapat dijadikan sebagai dasar dalam penganggaran. Pertanyaannya kemudian yang harus dijawab, adalah Pemda mana yang memulai ? Apakah kab/ kota atau provinsi?”, tandasnya.
Menurut mantan ketua KNPI Maluku Utara ini bahwa, dari sisi penganggaran, bisa saja dilakukan dengan pola sharing, artinya Pemerintah Provinsi membiayai bagian mana demikin pula pemerintah kab/kota mendanai selain yang sudah dibiayai pemerintah provinsi.
“Secara jujur dari sisi penganggaran yang dibebankan dalam APBD semua dapat dilakukan, asalkan ada kemauan yang serius dari Pemerintah Kab/ Kota dan Prop. Intinya ada itikat dan kemauan dari Pemda masing masing”.
Anggaran kesultanan oleh pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, dikatakan Malik, kalau diusulkan pemerintah daerah, hampir dipastikan DPRD akan menyetujui untuk diakomodir dalam APBD.
Dia menambahkan, apabila semua berangkat dari pikiran perubahan untuk memberikan penghormatan dan penghargaan untuk Sultan. “Jadi persoalannya cuma berada pada, mau atau tidak saja”, ujarnya..
“Hal yang harus dihindari adalah para pemangku harus bisa berpikir jernih dan jangan lantas berpikir akan terjadi persaingan apabila penghargaan dan penghormatan diberikan kepada sultan dalam konteks pengakuan secara protokoler pemerintahan dan kedudukan keuangan yang diatur dengan Perda”, imbuhnya.
Malik mengatakan, sangatlah kerdil apabila ada pikiran akan tersaingi dari sisi pamor, reputasi dan popularitas. Walaupun dalam komunitas masyarakat tertentu pasti akan lebih menghormati Sultan dari pada jabatan pemerintahan.
Oleh karena itu lanjutnya, pasti ada ketakutan dari sisi politis, akan tetapi dalam konteks sejarah dan kebudayaan mestinya kedudukan kesultanan justru bisa menjadi simbol perekat.
Malik menegaskan, fakta bisa membuktikan dalam kasus batas wilayah misalnya tidak bisa diselesikan Pemda tapi bisa dengan mudah diselesaikan Sultan hanya dengan mengeluarkan Idin, atau melangkah ketitik batas yang sudah ditentukan.
“Sesungguhnya jika mau direnungi jalan pemerintahan yang kita praktekkan selama ini justru masih miskin gagasan-gagasan perubahan. Untuk itu, saatnya kita berubah dengan memberikan porsi dan peran yang seimbang untuk kemajuan simbol-simbol kebudayaan, tutupnya.







Komentar