Jazirah Indonesia – Ada hal yang membuat pemerintah tidak mudah dalam melaksanakan kebijakan penanganan Covid-19. Terutama soal perbedaan pandangan terkait pademi virus corona (Covid-19) ini.
Pertama beragam pandangan dokter soal kebijakan pemerintah yang mesti diambil ketika kasus Covid-19 di Indonesia melonjak.
Hal itu disentil Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pada acara BPK secara virtual, pada Juni kemarin.
Mahfud mencontohkan, ada dokter yang meminta pemerintah untuk melakukan lockdown, namun ada pula dokter yang menyarankan tidak perlu melakukannya.
“Misalnya kalau berita hari ini seorang dokter dari IDI mengatakan kalau negara ini mau selamat jangan terlambat, segera lockdown. Tapi ada dokter lain namanya dokter Fadilah mengatakan jangan lockdown,” kata Mahfud.
Bukan hanya di lingkungan dokter, tetapi juga berlaku di kalangan ahli agama. Mahfud mengatakan, ada ahli agama yang mengikuti paham jabariyah di mana mempercayai usaha manusia ketika menginginkan kesembuhan.
Akan tetapi ada pula ahli agama yang memilih paham qodariyah, yakni meyakini kalau usaha apapun yang dilakukan kalau sudah takdirnya maka tetap akan kena penyakit.
“Saudara antara aliran jabariyah dan qodariyah ini masih tumbuh di tengah masyarakat dan pemerintah tetap harus mengambil keputusan,” ujarnya.
Perbedaan pandangan yang disampaikan Mahfud tesebut, justru berjalan hingga di tengah melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia hingga melampui Negara lain dikawasan regional.
Belum lagi soal pandangan di kalangan ahli terkait lainnya, justru di tengah beragam pandangan itu masih yang terjadi adalah Covid terus meningkat.
Di tengah beragam pandangan itu, yang menjadi ukuran tentu adalah letak suatu keberhasilan kelompok masyarakat ataupun ahli yang telah menghadapi dan menangkal pandemi ini.
Salah satunya adalah kelompok adat, Namun, kelompok masyarakat adat sepertinya masih berada pada posisi yang tak terlalu terukur.
Kelompok ini memiliki cara penanganan suatu wabah dengan pegangan nilai kearifan lokal, cara mereka menghadapi wabah merupakan bagian dari warisan tradisi luluhurnya, justru terbukti dapat menangkal penyebaran pandemi.
Meskipun diakui terdapat cara yang berbeda oleh masyarakat adat di setiap daerah dalam mengangkat bentuk kearifan lokal, namun lebih kentara terikat dalam kelompok itu yang harus ditangkap sebagai nilai oleh setiap pengambil kebijakan di daerah itu pula.
Di satu sisi, negara telah mengakui masyarakat adat bukan hanya pada aspek hak-hak ulayat, tetapi juga sebagai masyarakat hukum adat juga sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai wilayah territorial, hak mengatur rumah tangganya sendiri, mempunyai sistem hukum dan mempunyai kesatuan penguasa.
Hal itu berarti setiap kebijakan termasuk penanganan pademi ini, masyarakat adat justru perlu diperhatikan keterlibatannya.
Salah satu hal yang unik, ditulis ataranews, meski covid telah menjangkau seluruh provinsi dan 510 diantara 514 kota/kabupaten, terdapat sejumlah masyarakat adat yang tidak tersentuh covid-19.
Contohnya masyarakat adat Badui di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Banten, karena disiplin dan tidak keluar daerah.
Contoh lain adalah msyarakat adat Pattalassang, Gowa Sulawesi Selatan mempunyai cara tersendiri dalam menangkal pandemi ini.
Tak heran jika fakta menunjukan sepanjang Covid 2020 lalu, tidak satupun kasus yang ada di komunitas adat yang beranggotakan 15 .000 jiwa itu, meskipun di 2021 terdapat 1 kasus namun sudah pulih.
Dengan kondisi ini, Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Gowa, Muhlis Paraja menemukan pegangan dalam masyarakat adat tersebut, bahwa datangnya pandemi ini telah diprediksi para leluhur masyarakat adat Pattallassang ratusan tahun lalu.
Ia kemudian melakukan identifikasi dan menemukan nilai-nilai luhur yang bermanfaat dalam mengatasi pandemic tersebut.
“Yakni hanya orang yang yakin kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berpegang teguh pada kejujuran yang akan selamat”, katanya.
Muhlis juga mengidentifikasi dan mengumpulkan bahan terkait dengan pandemi ini, kemudian bersama peramu obat yang dikenal dengan sebutan sanro untuk mengatasi covid-19.
“Kami percaya apapun yang diciptakan oleh Tuhan ada gunanya dan dapat menyembuhkan penyakit”, tuturnya.
Meski itu, hal yang utama yang diedukasikan secara bersama, kata muhlis adalah adalah soal protokola kesehatan yang harus dijalankan.
Terkait dengan penangakalan pandemi dengan pendekatan kearifan lokal ini, juga disuarakan Direktur Pembinaan Kepercayaan Kepada Tuhan yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kemendikbudristek, Sjamsul Hadi
Menurut pandangan Hadi, penanganan Covid-19 yang terus melonjak di 2021 ini, ada hal-hal yang belum terangkat ke permukaan.
Padahal, hal-hal tersebut merupakan kekuatan-kekuatan yang berasal dari kekayaan alam di Indonesia.
Dia menyebut di beberapa masyarakat seperti Baduy, Bayan, Dayak, dan lain sebagainya jarang ditemukan kasus Covid-19.
Lanjutnya, hal tersebut terjadi sebab masyarakat-masyarakat adat di Indonesia menjunjung tinggi kearifan-kearifan lokal.
“Pandemi Covid-19 ini banyak terjadi di perkotaan. Justru di daerah pinggiran, khususnya di masyarakat adat tidak tersentuh virus korona,” ucapnya dalam sesi webinar, pekan kemarin.
Hadi mengatakan masyarakat adat mampu mengisolasi diri dengan baik tanpa terganggu dengan krisis. Bahkan, masyarakat adat memaksimalkan kearifan lokal untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan mereka.
Pada kesempatan kegiatan webinar tersebut, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Hilmar Farid juga mengemukana pendapatnya.
Penanganan pandemi Covid-19 saat ini kata Dia, perlu dievaluasi atau koreksi baik dari pemerintah maupun masyarakat. Sebab kasus Covid-19 terus melinjak di mana-mana.
“Covid-19 ini adalah reminder bagi kita semua bahwa ada banyak kekeliruan cara kita mengelola kehidupan ini yang harus segera dikoreksi,” ujar Hilmar.
Penulis : Rizkyansah Yakub
Editor : Rizkyansah Yakub
Komentar