Ekonomi Maluku Utara Lesu Akibat Hilirisasi Melambat

Jazirah Indonesia – Perekonomian Maluku Utara (Malut) yang ditopang sektor pertambangan dan pengolahan mineral melambat dalam beberapa triwulan terakhir. Meski masih tumbuh 2 digit, kemiskinan menurun. Namun, ketimpangan semakin dalam.

Plt Kepala Badan Pusat Statistik Maluku Utara Nurhidayat Maskat menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara pada triwulan II-2024 tumbuh 6,89 persen dibandingkan dengan triwulan I tahun 2024. Pertumbuhan masih didorong oleh industri pengolahan mineral sebesar 18,52 persen. Meski demikian, secara tren tahunan, ekonomi provinsi yang bertahun-tahun mengandalkan sektor pengolahan dan pertambangan sebagai penyokong ini mulai melambat.

Disadur dari Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara, terhitung pada triwulan III tahun 2023, pertumbuhan ekonomi tahunan Maluku Utara tercatat sebesar 25,13 persen. Lalu turun pada triwulan IV tahun 2023 menjadi 17,99 persen. Perekonomian Maluku utara menukik turun di triwulan I tahun 2024 ke angka 11,88 persen. Di triwulan II tahun 2024, pertumbuhan ekonomi tahunan meredup ke angka 10,76 persen.

”Sejak 2021 sampai dengan hari ini, tingkat pertumbuhan ekonomi ini menjadi tingkat terendah Maluku Utara,” kata Nurhidayat dikutip dari Kompas.id, Senin (5/8/2024).

Adapun tiga sektor penopang utama perekonomian Maluku Utara, yakni sektor industri pengolahan tumbuh secara tahunan sebesar 17,06 persen. Permintaan global terhadap hasil olahan nikel masih tinggi. Itu terlihat dari kenaikan produksi tahunan feronikel sebesar 10 persen, nikel matte 76 persen, serta Mixed Hydroxide Precipitate 270,85 persen.

Lesunya pertambangan dinilai melandaikan pertumbuhan ekonomi Maluku Utara. Pada triwulan II-2023, pertumbuhan di sektor ini mencapai 59,85 persen. Di periode ini, pertambangan hanya tumbuh 0,07 persen. Alasannya, fasilitas pengolahan mineral atau smelter di Maluku Utara lebih banyak mengolah bijih nikel yang ditambang di luar provinsi ini. ”Perbedaan pertumbuhan di antara dua sektor ini karena adanya peningkatan impor bijih nikel dari luar Maluku Utara,” ujar Nurhidayat.

Sementara Kantor Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan (DJPb) Wilayah Maluku Utara Tunas melaporkan, aktivitas hilirisasi di sektor pengolahan dan pertambangan yang tidak semasif periode sebelumnya menjadi salah satu penyebab pelambatan ekonomi. Pelambatan ini terjadi sejak tahun 2021 sehingga sampai dengan hari ini, tingkat pertumbuhan ekonomi ini menjadi tingkat terendah Maluku Utara.

Terakhir, perusahaan bahan kimia Jerman, Badische Anilin Soda Fabrik, dan perusahaan tambang Perancis, Eramet, kompak membatalkan investasi fasilitas pemurnian nikel senilai 2,6 miliar dollar AS atau setara Rp 42 triliun di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Keputusan diambil karena adanya perubahan lanskap pasar nikel global. (Kompas edisi 27 Juni 2024).

Kendati selalu tumbuh ”2 digit” sejak hilirisasi gencar sekitar 5 tahun lalu, indikator kesejahteraan Maluku Utara belum menunjukkan perbaikan. Di tengah perlambatan pertumbuhan tersebut, dukungan terhadap sektor primer dibutuhkan agar masalah kesejahteraan bisa diatasi.

Pelambatan ekonomi ini, nelayan menjadi kelompok yang perlu mendapat perhatian khusus. Mengutip data Survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2023, nelayan di Maluku Utara hanya memiliki penghasilan sebesar Rp 2,4 juta per bulan. Belum mencapai standar upah minimum provinsi tahun 2023 sebesar Rp 2,9 juta dan tahun 2024 sebesar Rp 3,2 juta.

Selain itu, hanya kurang dari 1 persen nelayan di Maluku Utara yang mendapatkan pelatihan. Nilai tukar nelayan (NTN) Maluku Utara juga menjadi catatan. Meski naik dari bulan sebelumnya, NTN masih berada di angka 99,10.

Angka ini belum mampu mencapai nilai 100 yang menandakan nelayan sudah mendapatkan ”balik modal” atau setidaknya untung dari pekerjaannya. Penurunan ini disebabkan berbagai hal, seperti rusaknya wilayah pesisir akibat pertambangan yang mendorong nelayan melaut lebih jauh. Belum lagi harga bahan bakar minyak cenderung naik.

Olehnya itu, DJPb mengingatkan agar pemerintah daerah bisa merumuskan intervensi kebijakan yang tepat untuk bisa mengangkat sektor yang menjadi salah satu tulang punggung warga asli Maluku Utara ini. Dari hasil kajian DJPb, mendorong sektor budidaya bisa menjadi upaya peningkatan kesejahteraan warga. Komoditas udang vaname bisa jadi pilihan.

Di indikator kemiskinan, mengacu data Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan Maluku Utara pada Maret 2024 berada di angka 6,32 persen, atau turun 0,14 persen poin dari Maret 2023. Namun, kesenjangan makin melebar. Hal ini terlihat dari angka rasio gini Maret 2024 sebesar 0,316 naik 0,016 poin dari Maret 2023. Secara sederhana, nilai rasio gini yang terus menjauhi nilai ”0” menandakan semakin timpangnya kesejahteraan antar penduduk.

banner 1100x500