Leksikon Ikan Laut Di Lingkungan Lepas Pantai Tidore Selatan Berbasis Ekolinguistik

Dr. Suddin M.Saleh Dj, S.S., M.Hum.
(Dosen Pada Program Studi Sastra Inggris FIB UNKHAIR)
Udinmsaldju79@gmail.com

 

Masyarakat yang mendiami bagian selatan Kota Tidore Kepulauan, areal pemukimannya menyisir tepi pantai dekat dengan laut, bahasa lokal yang digunakan adalah bahasa Tidore. Disamping itu juga, mereka menggunakan bahasa melayu Maluku Utara dan bahasa Indonesia dalam interaksi sosial dan sering digunakan sebagai lingua franca.

Sekitar tahun 1970-an sampai 1980-an, di tepi laut bagian selatan pulau Tidore, terdapat kondisi terumbu karang atau bahasa lokalnya disebut nyare masih tampak baik dan indah dipandang, kini sudah menjadi remuk luluh karena diterjang badai ombak. Batu-batu kapur (goho dalam bahasa lokal) juga sering diambil oleh masyarakat setempat untuk pembuatan kapur dengan maksud membangun rumah tembok atau fola tepak. Wilayah laut yang kedalamannya lima sampai ratusan meter terdapat berbagai jenis ikan berwarna-warni.

Potensi lingkungan lepas pantai yang kaya dengan fauna laut terutama berbagai habitat ikan, hal itu membangkitkan spirit masyarakat Tidore Selatan untuk menata mata pencahariannya sebagai nelayan demi kebutuhan sandang pangannya. Mereka memancing ikan sekedar dijadikan lauk pauk dan lebihnya dijual. Ikan ditangkap dengan alat penangkap tradisional seperti pancing yang terdiri atas tali nilon dengan kail (biasa disebut nilong se gomola), bubu (igi), jala atau jaring (soma atau kofo) dan lain-lain.

Pencaharian lain selain nelayan adalah mencari isi pohon rumbia (metroxylon sagus) untuk pembuatan sagu tumang (bahasa lokalnya biasa disebut hularuru) sebagai makanan pokok atau makanan tradisional yang disebut papeda (= ngula/ngula-ngula), mata pencaharian ini disebut halo hula dalam bahasa lokalnya.

Mereka juga berkebun, menggarap lahan kebunnya untuk menanam pohon kelapa, pisang, jagung, ketela (ubi kayu), kacang tanah, buncis, kacang hijau dan hasilnya dijadikan sebagai makanan harian yang dapat bersanding dengan ikan laut sebagai lauk pada saat makan siang dan makan malam.

Pada era milinium ini, mayoritas masyarakat yang tinggal di pesisir pantai bagian selatan pulau Tidore mulai melepaskan mata pencahariannya sebagai nelayan dan beralih sebagai pegawai negeri sipil, menjadi aparatur Negara lain seperti TNI, POLRI, anggota lembaga legislatif, serta bekerja di lembaga penyelenggara negara pemilihan umum, misalnya sebagai anggota KPUD dan BAWASLU, ahli tukang batu, dan bekerja di perusahaan tambang yang ada di daerah Papua dan di daerahnya sendiri yakni di provinsi Maluku Utara.

Pekerjaan sebagai nelayan, mereka pasti selalu berinteraksi dengan habitat fauna di lingkungan lepas pantai. Hali itu pun turut mempengaruhi bahasa yang diungkapkannya. Leksikon-leksikon fauna laut diproduksi dan dikembangkan, misalnya sebutan nama-nama ikan dalam bahasa lokalnya, sepanjang saling berinteraksi dan berkomunikasi antara sesamanya, dan berinterkasi dengan alam lingkungan sekitarnya. Kondisi kehidupan masayarakat yang semacam ini kadangkala selaras dibicarakan dalam studi-studi ekolinguistik.

Istilah ekolinguistik terdiri atas gabungan dua kata, yakni ekologi dan linguistik (dalam bahasa Inggris ecology and linguistics). Itu adalah satu cabang linguistik yang mengkaji ekologi (Masria dan Ali, 2019). Pengertian ini sejalan dengan suatu konsep dari Dash yang menyatakan bahwa istilah ekolinguistik  (ecolinguistics) telah digunakan untuk menggambarkan studi-studi interaksi bahasa yang terjadi di seputar lingkungan, dan mengkaji kata-kata dalam suatu bahasa yang berhubungan dengan objek-objek di lingkungan lokal (Dash, 2019).

Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa ekolingustik merupakan dua ilmu pengetahuan ilmiah yang saling berkolaborasi untuk membicarakan bahasa dan lingkungan suatu masyarakat. Selanjutnya, biota seperti fauna laut khususnya biodiversitas ikan dijadikan fokus studi dan diinventarisasikan sebagai leksikon-leksikon bahasa lokal.

Secara terminologi, istilah Yunani kuno ίΧθúϚ artinya ‘ikan’ dan dalam bahasa Yunani modern disebut ‘ikhthẏs’ kemudian digunakan dalam aliran anglikan ( kaum gerejawan ) dengan istilah ‘ichthys’ yang berarti  ‘ikan’, dan istilah ‘ichthyo’ berarti ikan dari suatu wilayah tertentu.

Pada umumnya, masyarakat Tidore mengenal dan mengetahui sejenis hewan laut ini kemudian menyebut ‘nyao’ dalam bahasa lokalnya dan ‘ikan’ (dalam bahasa Indonesia). Kata ‘nyao’ berarti ikan secara umum.  Mereka juga dapat menyebut nama-nama lain dari ikan secara hiponimi. Pada kesempatan ini disajikan sebagian kecil penyebutan nama-nama ikan dalam bahasa lokal masyarakat Tidore antara lain yakni,

LEKSIKON IKAN LAUT
Bahasa Lokal Tidore Bahasa Indonesia
nyoa pari
todi
mema
gurango hiu
kahiya lumba-lumba
ngunusore paus
ifugumi
guruo
gulila
tato
kuwekatabu
Nyaofaya/goropa kerapu
suru
ilu
sao  cendro
dare kakap
sufaromegi
tule
kira/frie
bora
gora
ngade
suwo
bai
nguwaro
guciya
delo cakalang
kuweka tongkol
bubu tuna
sorihi
Kube-kube/ngafi teri
uhi
tatobibi
tatokoyo
dolosi
turusi
moha
delogaro

 

Kelompok ikan yang biasa hidup di di atas permukaan lautan bebas dan mampu berselam jauh ke dalam laut, misalnya gurango, kahiya, ngunusore, delo, bubu, delogaro, kuweka, kuwekatabu, sorihi, nyoa. Kelompok ikan yang hidup di atas permukaan laut tidak jauh dari terumbu karang, misalnya kube-kube, frie, tule, sufaromegi, dolosi, sao, nguwaro. Kelompok ikan yang hidup di laut dangkal, misalnya guciya, gulila, todi, mema, tatobibi, tatokoyo, guruo. dare, ilu, uhi. Kelompok ikan yang hidup di kedalaman dekat dasar laut atau di kedalaman laut lebih dari 100 meter, misalnya bora, gora, suwo, ngade, moha, turusi, bai, tato, suru, ifugumi.

Gambar ikan dalam tabel di atas diambil dari buku katalog ikan 2021 dengan maksud keselarasan lesikon dalam bahasa lokal dengan ikonnya. Garis-garis datar dalam kolom tabel menunjukkan bahwa leksikon ikan laut belum dapat teridentifikai dalam bahasa Indonesia untuk sementara ini.

Sebagai penutup dari penulisan ini, inventarisasi ikan laut di lepas pantai Tidore selatan yang terbagi dalam beberapa kelompok, yakni kelompok pertama terdapat 10 leksikon. Pada kelompok berikutnya terdapat 7 leksikon. Kelompok berikutnya terdapat 11 leksikon.

Pada kelompok terakhir terdapat 10 lesikon. Jumlah keseluruhannya adalah 38 leksikon dalam bahasa lokal masyarakat Tidore. Penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, banyak leksikon ikan laut belum teridentifikasi secara keseluruhan, begitupula leksikonnya  dalam bahasa Indonesian belum diketahui, oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan.

 

Referensi:

Dash, K.R. 2019. What is Ecolinguistics? India’s Higher Education Authority UGC Approved List of Journal Serial Number 49042
Masria, A. and Ali, M. H. J. 2019. Ecolinguistics and Systemic Functional Linguistics (SFL): Transitivity in ‘Climate Change in Egypt’
TIM Penyusun Katalog ikan tahun 2021. Jakarta: Pusat Data, Statistik, dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan.

banner 1200x520