Oleh : Arifin Muhammad Ade
(Alumni Pascasarjana Institut Teknologi Jogjakarta & Penulis Buku Narasi Ekologi)
KETIKA semua orang ribut soal dampak dari aktivitas pertambangan, pembukaan lahan skala besar untuk perkebunan monokultur sawit, pembabatan hutan dan kasusillegal logging, serta segudang persoalan yang memicu terjadinya krisis ekologi dan bencana lingkungan hidup lainnya. Seaspiracy, sebuah film dokumenter besutan Ali Tabrizi setidaknya berhasil mengalihkan perhatian kita semua pada ancaman lebih serius yang tanpa disadari tengah menghantui kita, bahkan membunuh kita secara perlahan.
Kisah yang diungkapkan Seaspiracy sama halnya film dokumenter garapan Watchdog seperti The Mahuzes, Asimetris, Sexy Killers, dan Kinipan yang mengungkap sisi kelam eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi-korporasi pertambangan, serta eksploitasi manusia terhadap manusia yang lain. Hanya saja, Seaspiracy lebih berorientasi ke laut dengan mengungkapkan fakta buruk terkait praktik pengelolaan ekosistem laut utamanya industri perikanan, sehingga menimbulkan dampak yang tak kalah mengerikan.
Singkatnya, Seaspiracy mengingatkan kita bahwa illegal logging tak kalah mengerikan dari illegal fishing. Pernyataan ini tergambar dari ucapan Richard Oppenlander dalam sebuah cuplikan film tersebut. Menurut Oppenlander, “dengan terus mengambil ikan dari lautan, pada dasarnya kita sedang menggunduli lautan.” Pernyataan yang disampaikan tersebut bukan tanpa alasan. Bagi Oppenlander, ikan-ikan yang ada di lautan sama halnya pohon-pohon di hutan yang berperan menyerap karbondioksida (CO2) untuk mengatasi atau setidaknya meminimalisir ancaman perubahan iklim.
Seaspiracy pada dasarnya adalah film yang ingin menampilkan bagaimana perilaku merusak manusia berdampak pada lautan dan tentu saja pada keberlangsungan Bumi secara keseluruhan.Film ini memperlihatkan bahwa sampah plastik yang mencemari lautan, penangkapan ikan secara berlebihan, serta penggunaan peralatan mancing yang tidak ramah lingkungan oleh industri perikanan komersial telah mencemari dan merusak ekosistem laut.
Dalam sudut pandang ekologis, Seaspiracy berupaya menggugah kesadaran kitauntuk lebih peduli pada kelestarian laut dengan ikan-ikannya dan seluruh biota yang hidup di dalamnya.Seaspiracy berupaya membuka mata kita untuk melihat laut tidak sekedar sebagai penyedia sumber protein hewani. Tetapi lebih dari itu, laut harus dilihat sebagai sebuah ekosistem yang memiliki peran penting dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di Bumi.
Dalam upaya meminimalisir ancaman perubahan iklim misalnya, lautan memiliki peran lebih besar dalam hal penyerapan karbondioksida (CO2) daripada ekosistem daratan. Berlandaskan data dan hasil penelitian dari para ahli serta lembaga-lembaga berkompeten, Seaspiracy berhasil membuktikan betapa signifikannya kehidupan laut bagi kehidupan manusia. Atas dasar itu, film yang disutradarai Ali Tabrizi ini menganjurkan agar manusia harus berhenti atau benar-benar mengonsumsi hewan laut.
Selain itu, AliTabrizi juga dengan tegas mempertanyakan label sustainable yang melekat pada produk-produk hasil laut itu. Jadi, jika dicermati, film Seaspiracy ini seolah-olah memberi opini bahwa menjalani hidup dengan menjadi seorang vegan adalah hal yang terbaik. Hanya dengan cara ini – menjadi vegetarian – kita dapat memulihkan ekosistem laut yang rusak.
Berkaitan dengan sustainable tidaknya suatu produk. Daniel Goleman, penulis Ecological Intelligence(2009) telah mengulas secara gamblang bahwa apa yang digembar-gemborkan sebagai “hijau” pada kenyataannya hanya suatu fantasi atau sesuatu yang dibesar-besarkan. Sudah lewat masanya ketika satu atau dua kelebihan dari suatu produk bisa menjadikan produk tersebut dianggap ramah lingkungan.
Lebih lanjut, Goleman mengatakan bahwa menggembar-gemborkan suatu produk sebagai ramah lingkungan hanya berdasarkan satu hal saja – sementara sejumlah dampak negatif yang ada diabaikan – sama saja seperti pesulap dengan kemahiran tangannya. Walaupun ramah lingkungan cukup membantu, tapi seringkali meninabobokan kita untuk mengabaikan fakta bahwa apa yang sekarang kita pikir sebagai “hijau” barulah suatu permulaan, secuil hal baik diantara sekian banyak dampak buruk barang-barang produksi pabrik.
Setidaknya melalui film Seaspiracy, terdapat beberapa hal posistif yang dapat kita petik. Misalnya, bagaimana manusia sebaiknya tidak serakah mengambil hasil laut sebanyak yang mereka mau, illegal fishing serta perbudakan yang harus ditindak secara serius. Tetapi, menuntut masyarakat untuk berhenti mengonsumsi ikan atau hasil laut lainnya adalah tindakan yang kurang bijak. Dengan kata lain, alih-alih menyuruh orang menjalani hidup sebagai vegan, yang seharusnya dibenahi adalah regulasi dan ketegasan pemerintah.
Selain itu, satu hal yang luput dari perhatian sutradara adalah ia hanya melihat praktik “salah urus” pengelolaan ekosistem laut dalam kacamata dia sebagai seorang western yang notabenenya sudah modern. Sedangkan, pengelolaan ekosistem laut oleh masyarakat di negara berkembang yang umumnya masih tradisional seperti di Asia Tenggara sangat sedikit yang diekspos dalam film tersebut, bahkan tidak sama sekali.
Memang, beberapa negara di Asia termasuk Thailand sebagai salah satu negara di Asia Tenggara pernah ia singgahi, itu pun yang diungkapkan hanya praktik perbudakan yang terjadi dan dilakukan oleh industri perikanan terhadap tenaga kerja di negara tersebut. Padahal, jika ia berkesempatan menginjakkan kakinya di Indonesia, di sini ia dapat melihat bagaimana pengelolaan ikan yang dilakukan oleh masyarakat setempat dan bagaimana masyarakat bergantung hidup pada hasil laut tanpa merusaknya.
Hal ini dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Maluku dan Papua dalam menjaga ekosistem laut dengan tradisi Sasi yang masih dipertahankan sampai saat ini. Adapun masyarakat suku Bajo yang hidup berdampingan dengan laut tanpa merusak ekosistem laut, serta tradisi awik-awik di Lombok, Nusa Tenggara Timur dan sebagainya. Jadi, masyarakat lokal di Indonesia sebenarnya sudah punya tradisi melestarikan laut, bukan untuk memenuhi hasrat menguasai segalanya sebagaimana diungkapkan dalam Seaspiracy.
Dari uraian terkait film Seaspiracy di atas, kiranya pernyataan Menteri Perikanan dan Kelautan periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti sangat tepat untuk menggambarkan pesan yang disampaikan dalam film tersebut. Pernyataannya yang disampaikan dalam channel YouTube Susi Pudjiastutiitu mengatakan, “bagi bangsa Indonesia, makan ikan adalah satu program utama, karena ikan adalah sumber protein yang termudah dan termurah didapatkan, yang harus kita perangi adalah illegal fishing-nya, bukan berhenti makan ikan.”
Komentar