Jazirah Indonesia –Bagi Profesor Haedar Nashir (Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah), jabatan Panglima TNI merupakan posisi puncak yang sangat penting dan strategis untuk memimpin TNI sebagai alat pertahanan negara serta dalam tugas utama menegakkan kedaulatan Negara.
Itulah membuat Haedar tidak bagitu saja mengucapkan selamat kepada Jenderal TNI Andika Perkasa yang telah dilantik sebagai Panglima TNI, namun penyampaian selamat secara tertulis itu, Dia juga mengangkat tokoh perang gerilya dan Panglima pertama yaitu Jenderal Soedirman.
Diawalnya, Ketum Muhammadiyah berharap dibawah Andika Perkasa TNI tetap mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Serta, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan keutuhan bangsa dan negara.
“Kami percaya Jenderal Andika dengan pengalamannya dan keilmuan serta wawasannya yang luas mampu menjalankan amanat negara dengan baik dan sukses,” tutur Haedar melalui keterangan tertulis, Jumat pecan kemarin, dikutip okezone.com.
Di bawah kepemimpinan Jenderal Andika, Haedar ingin TNI betul-betul sebagai alat negara yang berdiri tegak di atas konstitusi serta mengutamakan kepentingan negara dengan selurus-lurusnya.
“Tanamkan integritas seluruh anggota TNI berjiwa kenegarawanan dan kejuangan meneladani Jenderal Besar Soedirman serta menjalankan Pancasila dengan konsisten,” imbuh Haedar.
Haedar berpesan agar TNI harus menjadi kekuatan pemersatu bangsa dan negara. Muhammadiyah yang kader utamanya menjadi tokoh perang gerilya dan Panglima pertama yaitu Jenderal Soedirman, senantiasa mendukung peran TNI dan akan bekerjasama untuk tegaknya kedaulatan NKRI.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga menyampaikan terima kasih kepada Marsekal Hadi Tjahjanto atas kerjasamanya selama menjabat sebagai Panglima TNI yang sudah bekerja dengan baik untuk kepentingan bangsa dan negara.
Sosok Jenderal Soedirman Di Benak Haedar
Haedar Nashir menyebut Jenderal Soedirman merupakan kader murni Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Bahkan, Soedirman ikut membina kader-kader Hizbul Wathan dalam bela dan cinta Tanah Air.
Hizbul Wathan merupakan gerakan kepaduan cinta Tanah Air yang lahir sejak 1918. Artinya, ketika kalangan umat Islam kala itu belum mengenal pergerakan organisasi cinta Tanah Air dan kepanduan, Muhammadiyah sudah melahirkannya.
Sosok jenderal berbintang lima itu termasuk pembina sekaligus aktivis di Hizbul Wathan. Dari sini, terdapat benang merah Soedirman memang lahir dari rahim pergerakan Muhammadiyah.
Haedar Nashir pada Januari 2019 lalu diwawancarai republika.co.id mengisahkan, Soedirman sejak kecil memang hidup di lingkungan, keluarga, dan kader Muhammadiyah sejak di Cilacap. Karena itu, sosoknya memang sudah ada di dalam didikan sekolah mengaji metode Quran.
Madrasah diniyah jadi cara paling mudah memahami bentuk lembaga pendidikan yang menempa Soedirman tersebut. Sejak usia sangat muda, Soedirman menyerap dan mengaji di lembaga Muhammadiyah tersebut.
“Itu menunjukan betapa kentalnya kaderisasi dan ideologi Muhammadiyah di dalam diri Soedirman,” kata Haedar Nashir.
Soedirman dibenak Haedar, begitu memahami betul nilai-nilai pergerakan Islam Muhammadiyah itu. Sampai suatu saat beliau membawa sekelompok calon kader Hizbul Wathan ke Batu Raden, daerah pegunungan Wonosobo.
Dia melanjutkan, pernah suasana malam yang sangat dingin, Soedirman menggembleng anak-anak calon kader dan aktivis Hizbul Wathan itu. Tujuannya tidak lain agar mereka menyadari betapa kecilnya manusia di hadapan Tuhan YME.
Proses pergumulan sejarah yang kental itu membuat Soedirman betul-betul memiliki karakter kuat.
Pertama, sebagai orang yang saleh dan zuhud. Kedua, kesalehan dan kezuhudan itu melahirkan pribadi yang kokoh pendirian, kuat prinsip, dan berani. Ketiga, sikap berani berkorban untuk kepentingan umat, bangsa, dan negara melebihi dirinya.
Ini bisa dilihat ketika Soedirman memimpin perang gerilya kala dirinya sendiri sakit. Menurut Haedar, nilai-nilai luhur inilah yang menjadi kekuatan Soedirman dan para tokoh pergerakan Indonesia.
“Yang harus dijadikan rujukan nilai, bahkan menjadi role model generasi muda saat ini maupun para elite dan warga bangsa yang boleh jadi mengalami peluruhan nilai dari jiwa, pikiran dan cita-cita perjuangan para pendiri republik ini,” ujar Haedar menegaskan.
Selain itu, bisa juga dipelajari bagaimana Soedirman menggerakkan rakyat. Jadi, sosoknya memang sangat layak menjadi panglima besar, pendiri TNI, dan teladan dalam perjuangan kemerdekaan.
Sebab, di usia muda saja, Soedirman sudah terpilih menjadi panglima perang karena kejujuran dan karakter kuatnya. Ini terbukti dari Soedirman yang selalu dipercaya dan menggerakkan orang banyak, bukan karena sifat-sifat kekuasaan.
Muhammadiyah, lanjut Haedar, betul-betul menjadi bagian dari pergerakan nasional yang Soedirman lakukan. Jadi, ketika perang gerilya, para tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta menggerakkan Angkatan Perang Sabil (APS).
APS, di DIY sampai Jawa Tengah, memobilisasi massa perlawanan terhadap penjajah yang kembali melakukan agresi ingin menancapkan kekuasaan. Jadi, kolaborasi Soedirman sebagai kader dan Muhammadiyah kuat sekali untuk bangsa dan negara.
Tidak mengherankan jika APS menjadi kekuatan militer Islam saat itu yang memang masif dan dicintai rakyat. Dari sini bisa dilihat, jika tanpa perang gerilya saat itu, mungkin Indonesia sudah selesai karena pemerintahan jatuh.
Lalu, ada pemerintah darurat oleh Syafruddin Prawiranegara, atas persetujuan Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, secara fisik, perlawanan Soedirman, seluruh kekuatan rakyat, termasuk APS di Yogya, jadi sinyal kuat kepada dunia.
“Sinyal kalau kedaulatan politik, kedaulatan Pemerintah Indonesia, masih eksis, di situlah Soedirman dan tokoh-tokoh Muhammadiyah menjadi martir bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia,” kata Haedar.
Komentar