Jejak Identitas Etnolinguistik dalam Tradisi Adat Maluku Utara

Oleh: Dr. Suddin M.Saleh Djumadil, S.S., M.Hum.
Dosen pada Program Studi Sastra Inggris
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun-Indonesia
Udinmsaldju79@gmail.com

 

Maluku Utara merupakan kawasan yang kaya akan keberagaman budaya, etnis, dan bahasa. Pulau-pulau seperti Ternate, Tidore, Halmahera, Makian, dan Bacan dihuni oleh berbagai kelompok etnolinguistik yang masing-masing memiliki ciri khas budaya dan bahasa lokal yang unik.

Dalam masyarakat Maluku Utara, bahasa tidak sekadar alat komunikasi, melainkan juga menjadi simbol identitas, penanda status sosial, serta sarana pewarisan nilai-nilai adat dan budaya. Tradisi adat yang masih hidup hingga kini menyimpan kekuatan simbolik bahasa sebagai bagian integral dari struktur sosial masyarakat.

Identitas etnolinguistik mengacu pada hubungan antara bahasa yang digunakan oleh suatu kelompok etnis dan rasa keterikatan mereka terhadap identitas budaya kolektifnya.

Bahasa bukan hanya produk budaya, tetapi juga sarana pembentuk dan pelestarian budaya. Dalam konteks masyarakat adat, bahasa menjadi medium utama dalam menyampaikan sistem kepercayaan, struktur kekuasaan, aturan sosial, dan kosmologi lokal.

Tradisi adat, yang terdiri dari upacara adat, narasi lisan, sistem kekerabatan, dan praktik kehidupan sehari-hari, merupakan ruang utama tempat identitas etnolinguistik diwujudkan dan dipertahankan. Dalam masyarakat yang bersifat oral seperti sebagian besar komunitas di Maluku Utara, bahasa lisan menjadi alat utama dalam menjaga kesinambungan memori kolektif dan norma sosial.

Tulisan ini disajikan tidak secara spesifik pada telaan identitas etnolinguistik atau hubungan antara bahasa suatu etnis dengan budaya etnisnya, namun lebih pada sajian jejak eksistensi identitas etnolinguistik dalam tradisi adat masyarakat Maluku Utara dengan representase beberapa etnis.

Selain itu perspektif antropologi linguistik memungkin digunakan karena keterkaitan bahasa lokal, baik lisan maupun simbolik yang menjadi elemen penting dalam praktik adat serta menjadi ekspresi identitas kolektif suatu kelompok etnis.

Peta Etnolinguistik Maluku Utara diketahui memiliki keragaman etnis yang tinggi. Beberapa kelompok utama di wilayah ini meliputi suku Ternate, Tidore, Makian, Tobelo, Galela, Sahu, dan Pagu. Masing-masing kelompok memiliki bahasa daerah sendiri, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Austronesia.

Bahasa Ternate dan Tidore memiliki pengaruh kuat dari bahasa Arab dan Melayu karena sejarah kerajaan Islam yang kuat. Suku Makian Timur dan Barat, yang masing-masing memiliki bahasa berbeda dan tradisi adat yang khas. Demikian halnya dengan Suku Tobelo, Galela dan Sahu, yang umumnya mendiami wilayah Halmahera dan memiliki narasi-narasi lisan yang kaya.

Bahasa-bahasa ini tidak hanya berbeda secara leksikal dan fonologis, tetapi juga merefleksikan perbedaan dalam struktur sosial, sistem nilai, serta hubungan dengan lingkungan sekitar. Misalnya, bahasa Ternate dan Tidore memiliki sistem honorifik yang kompleks, dimana bentuk bahasa menunjukkan rasa hormat kepada lawan bicara atau orang yang dibicarakan.

Hal ini dijumpai dalam tradisi pernikahan suku Tidore, bahasa digunakan secara simbolik dalam prosesi pengantar adat atau “moi gafi”, bentuk ritual dari bahasa Tidore digunakan oleh juru bicara adat untuk menyampaikan maksud dan etika keluarga pengantin. Hal ini juga mencerminkan struktur hierarkis kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berkuasa di wilayah tersebut.

Sementara itu, bahasa-bahasa di Halmahera Utara seperti Tobelo dan Galela lebih egaliter, namun memiliki kekayaan naratif yang tinggi dalam bentuk cerita rakyat, mitos, dan nyanyian tradisional.

Dalam masyarakat Tobelo dan Galela, upacara kematian diiringi oleh nyanyian adat atau ratapan yang disampaikan dengan bahasa puisi yang khas. Bahasa ini berfungsi sebagai sarana spiritual untuk mengantarkan roh ke alam leluhur.

Demikian pula, praktik mangimoi atau upacara perdamaian antarkelompok, masyarakat Tobelo yang memanfaatkan bahasa ritual sebagai bentuk rekonsiliasi simbolik, mencerminkan makna sosial dan spiritual dari bahasa dalam mengikat hubungan sosial.

Selain itu, cerita rakyat atau folklore di Maluku Utara, seperti legenda asal-usul marga atau tokoh leluhur dalam tradisi adat, juga menjadi bagian penting dalam transmisi identitas etnolinguistik antar generasi di Maluku Utara. Cerita rakyat ini tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat pendidikan moral dan sejarah komunitas.

Seiring perkembangan zaman, bahasa dan tradisi lokal di Maluku Utara menghadapi berbagai tantangan serius. Modernisasi, migrasi, pendidikan formal yang berfokus pada bahasa Indonesia, serta dominasi media digital berbahasa nasional atau asing menjadi faktor penggeser posisi bahasa daerah.

Minimnya dokumentasi dan revitalisasi bahasa daerah menyebabkan banyak kosakata, ungkapan adat, dan narasi lisan terancam punah.

Salah satu gejala paling mencolok dari ancaman kepunahan bahasa di Maluku Utara adalah terus menurunnya jumlah penutur aktif bahasa daerah. Di berbagai desa, terutama di wilayah pesisir dan perkotaan, anak-anak dan remaja semakin jarang menggunakan bahasa ibu dalam kehidupan sehari-hari.

Jejak hilangnya penutur bahasa daerah Maluku Utara ini sebagaimnana diungkap Peneliti di Institut Kajian Etnik Universiti, James T Collins, bahwa dokumen penjelajah Antonio Pigafetta pada 1521, surat yang ditulisnya saat itu menggunakan bahasa Ternate dengan beberapa serapan kosakata Melayu.

James T Collins menyebutkan hingga pada 1976, penutur bahasa Ternate masih berjumlah puluhan ribu. Akan tetapi dalam tahun tahun selanjutnya terjadi perubahan dan mobilitas penduduk sehingga jumlah penuturnya semakin menurun. Masyarakat Ternate lebih cenderung beralih menggunakan bahasa Melayu sebagai sebab penurunan penutur bahasa Ternate.

Pusat Bahasa Provinsi Maluku Utara pada 2012 menyebutkan, terdapat 7 bahasa daerah Maluku Utara yang penuturnya kurang dari seribu orang. Bahasa tersebut rata-rata merupakan bahasa yang berada di pedalaman Pulau Halmahera. Begitu juga riset linguistik yang dilakukan oleh ahli bahasa dari Universitas Pattimura dan LIPI (kini BRIN) menunjukkan pola yang serupa.

Riset tersebut mengungkap bahwa bahasa Tobelo dan Galela tidak lagi digunakan sebagai bahasa ibu di lingkungan rumah, melainkan lebih memilih bahasa Indonesia sebagai media komunikasi utama.

Demikian pula bahasa seperti Pagu, Modole dan Tugutil termasuk dalam kategori moribund, yaitu hanya digunakan dalam lingkup yang sangat terbatas dan oleh populasi yang terus menua. Grenoble dan Whaley (2006) juga mengungkap bahwa bahasa Kao termasuk dalam kategori moribund atau terancam punah.

Padahal, hilangnya bahasa berarti juga hilangnya cara pandang, pengetahuan lokal, dan struktur sosial yang menyertainya. Dalam konteks ini, bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan warisan budaya yang menyimpan pengetahuan ekologis, spiritual, dan sejarah kolektif.

Misalnya dalam upacara adat, narasi lisan, dan interaksi sosial, bahasa ini menjadi wadah ekspresi identitas etnik yang otentik dan bermakna.

Patut diapresiasi, bahwa beberapa inisiatif lokal mulai muncul untuk mempertahankan identitas etnolinguistik ini. Di beberapa desa adat di Maluku Utara, tokoh adat dan pemuda lokal mulai melakukan dokumentasi bahasa dalam bentuk kamus, buku cerita rakyat, dan rekaman audio.

Kegiatan lokakarya, festival budaya, serta pengenalan bahasa daerah di sekolah-sekolah lokal juga menjadi langkah penting dalam menanamkan kebanggaan terhadap bahasa ibu.

Pemanfaatan teknologi digital dapat menjadi alat melestarikan bahasa lokal. Pembuatan aplikasi kamus digital, media sosial berbahasa daerah, hingga kanal YouTube edukatif dapat menjadi jembatan antara bahasa adat dan generasi muda.

Terkait hal ini, diperlukan dukungan kebijakan dari pemerintah daerah dan pusat untuk terus mendorong pendidikan berbasis muatan lokal, penguatan komunitas bahasa, dan pemanfaatan teknologi untuk dokumentasi bahasa.

Pengakuan bahasa daerah sebagai bagian dari identitas nasional adalah langkah awal untuk membangun penghormatan terhadap keragaman linguistik Indonesia, termasuk di Maluku Utara.

Sebagai kesimpulan, identitas etnolinguistik merupakan pilar penting dalam membentuk dan mempertahankan jati diri masyarakat Maluku Utara. Bahasa lokal bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga cermin budaya, sistem nilai, dan hubungan sosial masyarakat adat.

Tradisi adat menjadi ruang ekspresi utama di mana bahasa dan identitas saling menguatkan. Dengan melindungi bahasa dan tradisi lokal, kita turut menjaga keberagaman budaya Indonesia yang kaya dan unik.

Namun itu, arus modernisasi membawa tantangan serius terhadap keberlanjutan bahasa dan tradisi lokal. Oleh karena itu, pelestarian identitas etnolinguistik perlu menjadi perhatian bersama, tidak hanya oleh masyarakat adat, tetapi juga oleh akademisi, pemerintah, dan seluruh lapisan masyarakat.