Jazirah Indonesia – Pemberlakuan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang diterapkan sejak 1 Februari lalu rupanya belum berlaku di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara (Malut).
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Mikro (Disperindagkop dan UMKM) Kota Tidore Kepulauan mencatat, harga minyak goreng di Kota Tidore, untuk minyak goreng curah mencapai Rp20 ribu per liter, minyak goreng kemasan pouch (sederhana) Rp22 ribu per liter, dan minyak kemasan botol (premium) Rp24 ribu per liter.
Sementara, sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022, HET untuk minyak goreng curah senilai Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14 ribu per liter.
“Kami tidak bisa intervensi harga pasar sesuai Permendag 6/2022, karena akan mematikan usaha para pedagang/retailer di Kota Tidore Kepulauan, karena pasokan mereka mengikuti harga normal dari pabrik, bukan harga subsidi Pemerintah Pusat,” kata Kepala Bidang Fasilitasi Sarana Distribusi Perdagangan Dinas Perindagkop dan UMKM Kota Tidore Kepulauan, Andi Kirana dalam keterangan tertulis, Selasa (1/3/2022).
Ia mengungkapkan, minyak goreng subsidi hanya dipasok oleh distributor resmi. Kemendag RI menunjuk 1.467 distributor untuk menyalurkan minyak goreng subsidi ke seluruh Indonesia.
Untuk Maluku Utara sendiri, kata dia, terdapat dua distributor yang dipercayakan untuk menyalurkan minyak goreng subsidi ke 10 kabupaten/kota.
Dua distributor tersebut ialah PT Harta Haya Damai yang beralamat di Kelurahan Muhajirin, Kota Ternate dan PT Johenly Inti Perkasa beralamat di Bitung, Sulawesi Utara. Masing-masing diantaranya mendapat jatah distribusi 6 ton minyak goreng.
“Wilayah Maluku Utara hanya dijatahi 12 ton, untuk memenuhi kebutuhan Kota Ternate saja tidak cukup, apalagi mau layani 10 Kabupaten/Kota,” ucap Nana, sapaan Andi Kirana.
Menurutnya, kebijakan Pemerintah Pusat terkait jumlah pasokan dan penempatan distributor minyak goreng di Maluku Utara tidak sesuai dengan kondisi daerah.
“Distributornya ada di Kota Ternate dan Bitung, jangkauannya cukup jauh. Untuk wilayah terdekat menuju ke Ternate ongkosnya bisa Rp80 ribu sekali trip, kalo ke Bitung PP bisa Rp1,5 juta,” ujarnya.
Pihaknya kata Nana, sempat melayangkan protes soal kebijakan tersebut di grup whatsapp yang beranggotakan seluruh perwakilan Disperindag se Indonesia dan juga sejumlah petinggi di Dirjen PDN Kemendag.
“Masa iyah, cuma mau beli minyak goreng yang dijatahi per orang 1 liter Rp14 ribu harus tempuh jarak yang jauh dengan ongkos transportasi yang tinggi? Kebijakan pemerintah pusat yang tidak rasional,” ketusnya.
Selain itu, di Kota Tidore Kepulauan belum ada peritel yang terdaftar sebagai anggota Asosiasi Pedagang Ritel Indonesia (APRINDO). Hal itu pula yang membuat swalayan di Kota Tidore Kepulauan tidak menjual minyak goreng subsidi. Sementara di Kota Ternate, terdapat sejumlah peritel yang terdaftar di APRINDO.
Ia lantas mempertanyakan kenapa Kemendag RI tidak mempercayakan distributor minyak goreng ke pengusaha yang berdomisili di daerah masing-masing. Menurutnya, kebijakan distribusi minyak goreng untuk daerah kepulauan harus berbeda.
“Pemerintah Pusat tidak bisa samakan (distribusi) di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan & Sulawesi sama dengan di Maluku Utara,” katanya.
Saat ini, stok minyak goreng (nonsubsidi) yang masuk ke Kota Tidore Kepulauan melalui jalur Tol Laut (Voyage 1) per 13 Januari 2022 sebanyak 60,7 ton, dan untuk trip kedua (voyage 2) per 22 Februari 2022 sebanyak 45,6 ton.
Komentar