oleh

Webinar Lespermata: Konflik Kawasan Pertambangan, Perebutan Ruang Jadi Pemicu

Jazirah Indonesia – Setelah sukses beberapa kali menggelar Webinar, Lembaga Study Pengembangan Masyarakat Tambang (Lespermata) kembali melakukan kegiatan yang sama dengan tema “Fenomena Konflik Sosial Masyarakat Lingkar Tambang”, Minggu (19/03/23).

Direktur Lespermata Masgul Abdullah mengatakan, kegiatan ini merupakan salah satu fokus dari Lespermata yakni melakukan kajian terhadap isu-isu pertambangan.

banner 1200x500

Pada Webinar kali ini, menghadirkan tiga narasumber yakni Dr Herman Usman (Sosiolog Universitas Muhammadiya Maluku Utara), Iptu I Salim (Direktorat Kriminal Khusus Polda Maluku Utara) dan Munadi Kilkoda (Anggota DPRD Halmahera Tengah).

Iptu I Salim pada pemaparannya mengatakan, selama ini Polda sering menerima pengaduan terkait perintangan kegiatan pertambangan.

Untuk penanganan kasus yang terkait perintangan kegiatan pertambangan lanjutnya, Polda merujuk pada Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No 2 Tentang Kepolisian dan UU No 3 2020 Tentang Minerba.
Faktor-faktor yang terkait dengan undang-undang tersebut kata Iptu I Salim, adalah misalnya sengketa lahan.

“Sering terjadi konflik antara Masyarakat lingkar tambang dan pihak perusahan ini karena perusahan sering berpegang pada Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sehingga sering mengabaikan hak masyarakat dengan dalih masyarakat tidak memiliki alas hak atau sertifikat, sedangkan dalam kawasan hutan tidak mungkin diterbitkan sertifikat hak milik.” kata Iptu I Salim.

Sementara, Dr. Herman Usman mengatakan, dengan masuknya pertambangan “membunuh” nilai-nilai lokal setempat, misalnya Fagogoru di Halmahera Tengah yang lambat laun hilang.

Konflik di Maluku Utara yang terjadi ini kata Herman, disebabkan karena perebutan ruang dan telah terjadi sejak lama sejak jaman kolonial.

“Misalnya pelunakan orang-orang pesisir di Tobelo untuk perebutan rempah-rempah dan sekarang masuk ke wilayah hutan berbagai macam orang dengan latar belakang berbeda”, jelas Herman.

Menurut Herman, ada tiga alasan orang mengusai ruang, pertama adalah air, karena air ini keputuhan penting dan mendasar.

“Di Lelilef misalnya sekarang sudah krisis air, orang lelilef minum air harus beli dari luar” tandasnya.

Kedua, adalah Pangan, meskipun kegiatan pertambangan ingin mengambil sumber daya tapi mereka menghancurkan pangan. Ia mencontohkan orang di Lelilef sekarang susah makan sagu, untuk makan pisang goreng harus membeli dari luar.

Ketiga disebutkan Herman adalah Energi. Dia menjelaskan, dulu orang gampang mendapatkan kayu sebagai bahan bakar, mudah mendpatkan bahan baku dari hutan sebagai gizi dan kalori sekarang sudah susah.

Kesemuanya ini menuru Herman, terakumulasi dengan masuknya idustri pertambangan yang mendatangkan orang begitu banyak. Pemerintah daerah lalai dengan tidak menyiapkan jaminan sosial sehingga konflik sosial terjadi.

Secara teori sebut Herman, konflik sendiri terdiri dari lima jenis konflik, pertama konflik pribadi yang bisa berkembang menjadi konflik kelompok, misalnya yang terjadi di Lelilef baru baru ini, antara suku ambon dan masyarakat lokal.

Kedua adalah konflik rasial, jenis konflik ini jarang terjadi di Indonesia. Yang ketiga adalah konflik klas, konflik ekonomi antara mereka yang menguasai alat-alat produksi dan mereka yang tidak memiliki alat produksi.

Ke empat disebutkannya, konflik politik antara partai politik atau mereka yang berbeda kepentingan politik dan yang kelima konflik Internasinal antara satu nega dengan Negara.

Herman menambahkan, Indonesia sekarang memasuki masyarakat modern indutriaisasi dengan pembangunan industri yang masif.

“Yang perlu diperhatikan adalah komposisi kapital. Jangan sampe munculnya idustri malah lebih memperkaya orang orang tertentu, yang kedua adalah komposisi pekerja terkait sallery, dan yang tiga adalah klas menengah baru dan terkait mobilisasi social” jelas Herman.

Munadi Kilkoda mengatakan, konflik pertambangan terjadi disebabkan oleh ketimpangan penguasaan sumber daya alam.

Dijelaskan, Hal itu terjadi antara pemodal yang medapatkan izin menguasai sumber daya alam dan masyarakat yang sudah lama mendiami tempat tersebut sebagai ruang hidup mereka.

Menurutnya, pemerintah mengeluarkan izin tanpa mempertimbangkan situasi yang ada di daerah, seakan tidak ada ekosistem yang hidup disana.

“Tanah-tanah yang menjadi ruang hidup masyarakat sudah ratusan tahun di dikuasai dan dibayar dengan harga yang sangat murah”, kata Munadi.

Munadi lebih menggali fenomena sosial yang terjadi di Desa Lelilef dan Sagea di halmahera tengah yang menjadi tempat beroperasi PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP).

Dimana menurutnya, kehadiran perusahan ini mengurangi daya dukung lingkungan sehingga sering terjadi banjir, akibat alih fungsi lahan dan hutang menjadi pertambangan.

“Reklamasi akibat dari kegiatan pertambangan menyebabkan masyarakat mengalami kehilangan mata pencarian sebagai nelayan. Masyarakat hidup dengan situasi yang tidak pasti, akibat kehilangan mata pencarian menyebabkan munculnya konflik sosial”, jelas Munadi.

Dampaknya lanjut Munadi, masyarakat mengalami ketergantungan bahan baku makanan dari daerah lain, yang dulunya mereka produksi sendiri.

“Yang masih dikuasai oleh orang lelilef sekarang adalah Rumah mereka, lahan-lahan mereka sudah habis”, tutur Munadi.

Jika problem sosial ini tidak dikuasai oleh pemerindah daerah, maka menurut Munadi akan menjadi bom waktu dan kedepan menjadi pekerjaan besar pemerintah untuk menyelesaikan konflik konflik sosial yang terjadi.

Pada penutup pemaparannya ia mengatakan bahwa konflik sosial yang terjadi pada masyarakat lingkar tambang adalah perebutan ruang antara pemilik modal dan masyarakat setempat.

Dr. Irfan Ahmad, salah satu peserta Webinar yang tiga tahun terakhir melakukan riset dan menulis tentang Halmahera Tengah mengatakan, berdasarkan riset yang dilakukan beberapa desa lingkar tambang, tradisi pertaniannya telah hilang dan digantikan dengan bekerja di sektor tambang.

Menurutnya, selama riset, banyak problem sosial yang mencul sebagaimana penyampaian pemateri sebelumnya.
Dia menyarakan agar semua elemen, terutama pemerintah dan semua pihak yang peduli akan hal ini perlu mengambil langka dan tidak saling menyalahkan.

“Jika kita tidak mengantisipasi lebih dini, maka konflik sosial akan dahsat lagi”, kata Irfan.

Diketahui, hasil riset Irfan terkait hal tersebut, telah diterbitkan pada Jurnal Internasional seperti “Hilangnya Tradisi Pertanian dan Dampak Sosial Pada Masyarakat Masyarakat Lingkar Tambang” dan “Pengelolaan Sumber Daya Alam Pada Masyarak Lingkar Tambang”.

Webinar ini di pandu oleh Direktur lespermata Masgul Abdullah yang dimulai pukul 20.30 dan berkahir pada pukul 23.30 WIT.

Komentar