Jazirah Indonesia – Direktur Hilirisasi Minerba Kementerian ESDM, Hasyim Daeng Barang dicecar sejumlah pertanyaan oleh pengacara Muhaimin Syarif, terdakwa kasus suap WIUP di Maluku Utara.
Hasyim ditanyai terkait Blok Tambang yang diurus Muhaimin. Kala itu, Hasyim adalah Kepala Dinas ESDM Provinsi Maluku Utara.
Ketika dicecar pertanyaan tentang urusan WIUP, Hasyim menjawab, usulan WIUP itu dari Gubernur dan prosesnya melalui Dinas ESDM.
“Melalui gubernur prosesnya dari dinas ESDM, jadi sebenarnya saya sudah buat paparan, nanti bisa dipaparkan karena kami sudah usulkan 36 blok tambang dan jawaban 34 blok tambang tapi tidak ditindak lanjuti,” kata Hasyim dikutip dari Haliyora.id, dalam sidang lanjutan kasus suap dengan terdakwa Muhaimin Syarif di Pengadilan Tipikor Ternate, Rabu (13/11/2024).
Hasyim lalu menjelaskan bahwa sebenarnya bunyi suratnya bukan rekomendasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) akan tetapi usulan pengusulan WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan).
Pengacara Muhaimin lantas mengalihkan pertanyaan terkait pengurusan 12 dan 13 IUP, Hasyim mengaku bahwa pengusulan legal opinion terkait 12 dan 13 IUP itu pihaknya membahas bersama-sama. “Kami minta masukan dan kami minta legal opinion dari kejaksaan, yang ditandatangani Sekda Samsuddin A. Kadir dan diketahui gubernur serta tembusan gubernur AGK,” katanya.
Hasyim juga membeberkan ada penekanan dari terdakwa Muhaimin Syarif kepada 2 pimpinan OPD dan Sekda terkait izin PT Prisma. “Bambang P. Hermawan dan Fachrudin Tukuboya kemudian Sekda, mereka ditekan oleh Muhaimin Syarif,” sebutnya.
Hasyim menyebut tiga pejabat Pemprov Maluku Utara itu ditekan dalam pertemuan di kediaman Gubernur di Kalumpang, Ternate. “Kenapa bapak tanda tangani dua surat yang sudah mati, mereka jawab mereka ditekan, pernyataan itu keluar dari Pak Bambang dan Pak Ongen (Fachrudin Tukuboya),” jelasnya.
Hasyim menambahkan bahwa WIUP dan IUP itu dua hal yang berbeda, kalau WIUP masih dalam pengusulan dan IUP sudah ada pemiliknya.
PH Muhaimin tak lengah, mengejar Hasyim Daeng Barang dengan pertanyaan apakah pernah memberikan uang kepada Gubernur Abdul Ghani Kasuba alias AGK atau tidak. Mendengar itu Hasyim mengakui bahwa dirinya pernah memberikan sejumlah uang ke AGK ketika mantan gubernur itu hendak ke Jakarta. Nilai uang yang diberikan Hasyim yaitu Rp 20 juta hingga Rp 25 juta.
Meski begitu ketika ditanyakan apakah pernah terima uang dari AGK maupun Muhaimin Syarif untuk mempengaruhi kewenangan dirinya yang pada waktu itu sebagai Kadis ESDM agar mempermudah izin, Hasyim mengaku tidak pernah.
“Tidak ada pemberian uang dari Muhaimin. Dan tidak ada pemberian 10 Dolar Amerika, saya tidak pernah menerima 10 Dolar dari pak gubernur AGK,” tepisnya.
Sekedar diketahui, pada sidang yang sama pada 30 September lalu, Kepala Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Provinsi Maluku Utara, Bambang P. Hermawan mengaku ada puluhan WIUP yang diurus Muhaimin Syarif.
Menurut Bambang, usulan WIUP atau Wilayah Izin Usaha Pertambangan itu dikirim oleh terdakwa Muhaimin dalam bentuk Softcopy melalui Whatsapp pribadi. Sedikitnya ada 80 WIUP yang diusulkan dan yang dapat diproses hanya ada 9 blok, yaitu Blok Marimo, Blok Lelifef Sawai, dan Blok Liltoly dan Blok lainnya.
Di hari yang sama pada Rabu 30 September 2024, mantan Sekda yang saat ini menjabat sebagai Pj Gubernur Maluku Utara, Samsuddin Abdul Kadir mengaku terlibat menandatangani surat berkaitan dengan pengurusan izin usaha pertambangan dengan terdakwa Muhaimin Syarif (MS), mantan ketua DPD partai Gerindra Malut.
Dalam sidang itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar pertanyaan ke Pj Gubernur Malut seputar proyek dan Izin Usaha Pertambangn (IUP) milik terdakwa Muhaimin Syarif.
“Saya sempat mendengar terdakwa (MS) mengurus izin pertambangan, setahu saya mungkin terdakwa membantu pengurusan izin tambang,” ungkap Samsuddin A. Kadir.
Menurut Samsuddin, bahkan urusan mengenai izin tambang ini dirinya pernah diperintah oleh Abdul Gani Kasuba (AGK) untuk menyediakan surat dokumen milik kepentingan terdakwa.
“Saya pernah diminta bantu oleh pak AGK untuk menyediakan surat dokumen tata ruang, itu adalah surat yang diurus oleh terdakwa Muhaimin Syarif,” cetus Samsuddin.
Samsuddin mengakui surat yang ditekennya tu adalah kesesuaian tata ruang. Meski begitu menurutnya, jika syarat surat keterangan ruang, itu bukan kewenangan provinsi lagi tapi di pemerintah pusat.
Orang nomor satu lingkup Malut ini pun mengaku bahwa dirinya yang menandatangani surat itu, namun yang membuat surat itu dirinya tidak tahu menahu siapa orangnya.
“Setahu saya, saya hanya berkoordinasi dengan Pak Yeri Kabid Tata Ruang PUPR. Karena saya diminta Pak AGK untuk menandatangani surat kesesuaian ruang. Surat ini dibuat atas perintah Pak Gubernur,” ujarnya.
Mendengar itu Jaksa KPK tak lengah dan terus mendesak Pj Gubernur agar mengungkap instansi atau OPD mana yang terlibat dalam urusan izin tambang ini, Samsuddin menjawab bahwa yang mengurusi hal itu pastinya Dinas ESDM dibawah pimpinan Suranto Andili, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas kehutanan (DLH) yang dipimpin Fachruddin Tukuboya, dan Dinas DPM-PTSP dibawah pimpinan Bambang Hermawan.
Sementara Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Maluku Utara, Suryanto Andili mengakui dirinya menyimpan dokumen usulan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang diusulkan Muhaimin Syarif di rumahnya.
“Pak Muhaimin sampaikan tolong dibantu sebagai panitia untuk mengikuti lelang yang akan dilaksanakan oleh kementerian tapi saya bilang iya ikut sesuai prosedur,” kata Suryanto, di persidangan pada Rabu, 31 Oktober lalu.
Menurut Suryanto, saat itu panitia lelang ada sekitar 13 orang termasuk dirinya. Izin WIUP yang dilelang ialah Blok Foli, dan waktu itu Eks Gubernur Abdul Gani Kasuba (AGK) memerintahkan dia melihat sejumlah perusahaan yang mengikuti lelang itu
Suryanto menyebut perusahaan yang diminta untuk dilihat oleh AGK itu di antaranya PT. Marimoi, PT. Wasilei Jaya Lestari, dan lainnya yang diminta bantu dalam proses pelelangan WIUP Blok Foli.
“Kalau diloloskan sih saya sampaikan tadi bahwa yang mengikuti lelang ini panitianya banyak, karena yang ikut centang ini satu perusahan tiga orang,” ungkap Suryanto.
Selain itu, Suryanto mengatakan bahwa dirinya pernah menerima dokumen usulan revisi dan klarifikasi WIUP dari terdakwa Muhaimin Syarif. Dokumen tersebut disimpan di rumah Suryanto. “Saya simpan di rumah dokumen itu karena berjaga-jaga di kemudian hari, seperti itu saya takut ada masalah di kemudian hari makanya dokumen itu saya simpan di rumah,” katanya.
Ketika dicecar pertanyaan JPU KPK terkait dokumen itu asalnya dari mana, Suryanto menjawab bahwa dokumen itu dirinya dapat dari Muhaimin Syarif. “Dokumen itu saya simpan saja,” jawabnya.
Dirinya juga mengaku bahwa dirinya pernah tandatangani usulan WIUP di depan AGK (saat menjabat gubernur). Saat dirinya jabat Kadis ESDM, usulan WIUP yang dibuat sesuai perintah AGK saja.
Suryanto membeberkan, sedikitnya ada 23 WIUP yang diusulkan pada masa jabatan Kadis ESDM sebelum dia yaitu Hasyim Daeng Barang. Suryanto menegaskan dirinya saat menjabat Kadis ESDM, dia tak pernah berinisiatif soal WIUP. “Kalau yang usulan dari Dinas ESDM ada 23 di zaman Pak Hasyim, kalau yang saya buat itu perintah Pak Gubernur.
Masih di kasus yang sama, di persidangan lanjutan pada Rabu, 6 November lalu, Kepala Dinas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku Utara, Fachrudin Tukuboya juga mengaku terlibat dalam pengurusan izin tambang milik Muhaimin Syarif.
Di sidang itu, JPU KPK RI mencecar Fachrudin terkait sejak kapan dirinya menjadi kepala DLH dan perannya selaku Kadis dalam pengurusan izin tambang milik Muhaimin Syarif.
“Saya jadi Kepala Dinas sejak tahun 2021, namun sebenarnya dari 2019 dengan masih Plt. Kemudian 2023 awal saya dipindahkan ke staf ahli lalu pada bulan Mei dipindahkan lagi ke kadis DLH sampai sekarang,” kata Fachruddin.
JPU KPK, Rifki BM lantas bertanya apakah pernah berurusan dengan terdakwa, Fachrudin menjawab bahwa pernah berurusan dengan Muhaimin terkait izin tambang dan izin SPBU. “Iya saya pernah, seingat saya terkait izin satu kawasan tambang. Tapi sebelumnya juga ada usaha SPBU Mini,” jawabnya.
Fachrudin menuturkan, dia dihubungi terdakwa Muhaimin di tahun 2021. Namun pada waktu itu dirinya tidak tahu persis jabatan terdakwa sebagai apa.
Fachruddin bilang, biasanya dia dan terdakwa berkomunikasi via telepon, sementara untuk pengurusan izin tambang keduanya bertemu secara langsung.
Dirinya menjelaskan, jika urusan yang berkaitan dengan izin tambang maka berurusan dengan pihaknya (DLH), karena dokumen IUP dan OP bisa terbit harus ada keterangan tata ruang dan dokumen izin lingkungan. “Kalau dokumen IUP dan OP itu prosesnya dari Dinas DPM-PTSP yang tanda tangan Kadis DPM -PTSP. Namun dua dokumen itu ada tata ruang dan dokumen izin lingkungan,” sebut Fachruddin.
Dirinya mengaku bahwa izin tambang milik Muhaimin yang diurusnya itu adalah PT. Prisma Utama namun dirinya tidak tahu apakah perusahaan itu milik terdakwa atau bukan. “Saya tidak tahu persis dia pemilik atau siapa. Kalau seingat saya itu PT. Prisma Utama,” katanya.
Dikatakan dirinya pun tidak pernah menanyakan alasan terdakwa mengurus itu, namun tetap ikuti ketentuannya, dan sempat mengeluarkan kerangka acuannya.
“Iya benar, satu kali kita bertemu di kediaman gubernur, disitu ada Pak Hasyim Daeng Barang mantan Kadid ESDM Malut, Kadis DPM-PTSP, dan ada juga pak gubernur dan terdakwa. Dan saya hadir karena waktu itu saya ditelepon oleh terdakwa. Sedangkan dalam pertemuan saya diminta bantu oleh terdakwa untuk mohon bantu urus izin,” jelasnya.
Menurut Fachrudin, dirinya hanya ingat cuma satu tambang saja tidak ada lagi yang lain. “Namun setelah itu saya tidak tahu prosesnya, karena memang prosesnya panjang, dan saya pernah tanya ke staf kami yang ada di DPM-PTSP katanya prosesnya jalan,” ungkapnya.







