Jazirah Indonesia – Wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah (Kada) dari langsung ke pemilihan di DPRD belakangan jadi sorotan. Wacana itu kembali mengemuka di publik ketika Presiden Prabowo Subianto berpidato di HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024. Ketua Umum Partai Gerindra ini menyebut ada peluang kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD.
Wacana ini hangat dan mendapat respon dari berbagai kalangan baik, partai politik, akademisi, hingga komunitas di berbagai diskusi Wacana ini menuai pro dan kontra. Walau demikian, ada kalangan yang mendukungnya dengan alasan menghemat uang negara.
Pakar Hukum Tata Negara Dr. Margarito Khamis disadur dari laman Haliyora.id mengatakan, seyogyanya kepala daerah dipilih oleh DPRD adalah bukanlah anti demokrasi melainkan demokrasi yang sesungguhnya. Berbeda lagi dengan apabila seorang kepala daerah ditunjuk atau diwariskan kepada seseorang.
“Saya salah satu orang yang sangat mendukung jika calon kepala daerah baik itu gubernur, bupati dan walikota dipilih langsung oleh DPRD, karena saya tahu buruknya pemilihan langsung dari sisi sosial ekonomi dan seterusnya, kenapa saya mendukung itu, karena itu tidak ada hubungannya dengan demokrasi,” kata Margarito Kamis di Ternate, Senin (23/12/2024).
Menurutnya dalam sejarah model pemilihan langsung maupun tidak langsung selalu ada kelemahan, contohnya seperti Amerika Serikat yang memadukan antara kedua model pemilihan tersebut.
“Saya juga tahu, dalam perdebatan pemilihan Presiden kemarin, ada gagasan bahwa presiden dipilih oleh MPR dari dua orang anggota MPR satu dari PDIP dan PKB, kalau anggota dikasih pegang uang Rp 10 juta itu masih bicara, kalau dikasih uang Rp 100 juta masih pegang, kalau di kasih uang sekarung langsung berkhianat, itu kata pak Sumarno dari PDIP,” singgungnya.
Sama dengan PDIP, kata Margarito, fraksi PKB menyatakan jangan memilih presiden melalui MPR, karena orang orang di MPR itu belum memenuhi sebagai Ahlul Halli Wal Aqdi. Artinya belum memenuhi sebagai ahli. “Jadi sama saja, dulu di tahun 1.787 orang Amerika buat undang-undang dasar lalu ada gagasan pemilihan presiden dipilih oleh rakyat, lalu ada orang yang membawa uang, jadi sama saja siapa yang berani calon tidak pakai uang, sama saja. Idealnya menurut saya jauh lebih baik kalau dipilih oleh DPRD karena kelemahan jauh lebih kecil,” ujar Margarito.
Kata dia, kalau pemilihan melalui DPRD juga memakai uang negara, tapi yang di pakai juga angkanya sangat kecil sekitar Rp 10 miliar. Begitu juga sekelas Pemilihan Gubernur Maluku Utara, karena anggota DPRD hanya 45 orang, sementara jumlah keamanan juga tidak terlalu banyak, serta tidak perlu juga memobilisasi orang dari luar. Kelebihan lain dari kepala daerah dipilih DPRD lanjut Margarito, yaitu para pendukung dan simpatisan tak perlu perang urat syaraf, jauh dari konflik sosial, maupun politik SARA.
“Justru ini juga jauh lebih kompatibel lebih reseptif dengan nilai-nilai kita yang ada di sini. Praktik pemilihan bayar-bayar ini dari zaman Romawi Kuno sudah ada. Sudah ada 17 undang-undang yang dibuat di zaman itu yang melarang orang bayar-bayar. Di zaman Nabi Isa As sudah terjadi praktik ini. Ini juga bukan tradisi di Maluku Utara, orang yang tidak belajar saja yang tidak tahu,” kata pria yang juga dosen Fakultas Hukum di Unkhair Ternate ini.
Praktisi hukum asal Maluku Utara yang melalang buana di kancah Nasional ini lantas menyentil soal dunia politik. Banyak orang berpandangan bahwa politik itu pengabdian. Baginya itu semua adalah omong kosong.
Politik menurut pandangan Margarito adalah sebuah bisnis, bukan pekerjaan orang miskin. Politik itu kata dia, adalah pekerjaan orang kaya untuk melipat gandakan kekayaannya. “Jadi ada yang mengatakan politik itu pengabdian dari mana itu, seperti itu nanti urus masjid, politik itu bisnis, karena politik di ciptakan oleh orang orang yang memiliki duit atau aristokrat, jadi kalau ada masyarakat yang miskin itu biasa saja karena dia di makan oleh orang yang berduit,” ujarnya.
Menurut Margarito Khamis, yang menjadi esensi bagaimana pemerintah mendorong agar pemilihan kepala daerah dipilih DPRD yakni dilatarbelakangi dua hal. Pertama, karena destruksi sosial yang berpengaruh pada nasional diven atau ketahanan nasional yang melemahkan kita. Kedua, dari sisi geostrategi negara.
“Negara kaya tipu kita, jadi biar duit banyak kita beli kertas dan ribut sana ribut sini. Karena ribut kita sudah tak lagi buat rumah sakit, tak lagi sekolahkan orang yang pintar-pintar, jadi menurut saya jika pilihan itu dikembalikan ke DPRD saya sangat mendukung, tapi saya senang karena berbicara di beberapa stasiun televisi bahwa gagasan saya yang sudah lama ini bisa disampaikan kembali oleh Presiden Prabowo, apakah saya dukung dia atau tidak itu urusan lain saya sangat senang,” pungkasnya.