Jazirah Indonesia – Pihak keluarga Nuraksar Kodja, terpidana kasus korupsi penyaluran bantuan dana insentif daerah (DID) tahap II pada Dinas Pertanian Kota Tidore Kepulauan tahun 2020 menilai ada kejanggalan dalam penanganan kasus tersebut.
Usai sidang kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) DID tahap II di Pengadilan Negeri Ternate pada Jumat, 8 November 2024 lalu, pihak keluarga Nuraksar menghampiri Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri Tidore, Alexander Maradentua mempertanyakan penetapan tersangka hingga dakwaan di pengadilan Tipikor.
Melalaui keterangan tertulis yang diterima Jazirah Indonesia dari pihak keluarga Nuraksar Kodja akhir pekan kemarin, keluarga menuntut keadilan hukum untuk terdakwa.
“Kami selaku keluarga dari terdakwa sangat merasa tidak ada keadilan terkait masalah yang menimpa bapak kami Nuraksar Kodja,” kata Akmal, anak dari Nuraksar Kodja.
Bantuan DID tahap II melekat di Dinas Pertanian Kota Tidore dengan jumlah total Rp2,1 miliar. Bantuan tersebut diperuntukan bagi 77 kelompok tani yang terdiri dari 1.109 orang petani. Dimana masing-masing petani mendapat Rp1,9 juta.
Nuraksar sendiri merupakan pemilik toko tani Rana Sejati yang terletak di kelurahan Ome, kecamatan Tidore Utara. Toko tersebut ditunjuk oleh pihak Dinas Pertanian sebagai tempat kelompok tani penerima bantuan DID membeli barang pertanian.
Menurut Akmal, jumlah uang yang diterima ayahnya, Nuraksar Kodja dari yang ditransfer kelompok tani senilai Rp711.296.000.
Uang itu lanjut Akmal, dipakai untuk membeli barang pertanian yaitu hand sprayer, pupuk biotani dan pestisida nabati.
“Yang mengirim uang tersebut adalah kelompok tani kecamatan Oba Utara, Oba Selatan, Oba Tengah dan Oba, sesuai fakta dalam persidangan di Pengadilan Negeri Ternate,” ungkapnya.
Dalam fakta persidangan kata dia, para kelompok tani di kecamatan Oba Utara, Oba Selatan, Oba Tengah dan Oba mengaku telah menerima barang tanpa kekurangan dan dengan sadar menandatangani nota pembelian tersebut.
“Apabila toko tersebut dinyatakan korupsi uang tersebut kan kelompok tani tidak akan menerima barang,” katanya.
Akmal mengatakan, jumlah yang diterima ayahnya itu jauh dari jumlah total bantuan DID tahun 2020 kepada petani yang sebesar Rp2,1 miliar.
“Sisanya itu kemana? Kok malah pemilik toko yang menanggung semua kerugian itu,” katanya.
Penyidik Kejaksaan sebelumnya menyebut kerugian negara dari kasus korupsi bantuan DID tahap II di Dinas Pertanian Kota Tidore Kepulauan tahun 2020 senilai Rp745.241.363.
Akmal mengatakan, hasil kerugian itu kenapa baru dihitung Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di tahun 2023 atau di tahun 2024.
Akmal lantas mempertanyakan kenapa penyaluran DID tahun 2020 baru diungkit pihak kejaksaan di tahun 2022.
Ia juga mempertanyakan kenapa hal itu dipersoalkan setelah Imran Yasin selaku kepala Dinas Pertanian Kota Tidore dan Taher selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) meninggal dunia.
“Kenapa pada tahun 2022 kejadian ini diungkit sedangkan pada tahun 2021 tidak ada temuan sama sekali,” katanya.
Padahal lanjut Akmal, kegiatan tersebut melibatkan kelompok tani yang didalamnya terdapat 1.109 orang petani.
Anggaran tersebut baru direalisasi pada Januari 2021 setelah keluarnya petunjuk teknis dari Wali Kota Tidore Kepulauan pada 2020.
“Ketika anggaran tersebut cair apakah tidak ada tim verifikasi, Inspektorat dan yang terlibat pada saat itu? Kemana mereka,” tanyanya.
Ia juga mengungkapkan, pada tahun 2023 sebelum ayahnya ditetapkan sebagai tersangka, melalui kepala Inspektorat Kota Tidore Kepulauan, Kasi Pidsus Kejari Tidore Alexander Maradentua meminta uang sebesar Rp350 juta.
“Jaksa Alexander Maradentua menyampaikan ke kepala Inspektorat, Arif Maradjabessy untuk menyampaikan ke pemilik toko (Nuraksar Kodja) agar menyediakan uang senilai Rp350 juta, agar kasus tersebut tidak naik ke pengadilan,” pungkasnya.
Kini, sidang perkara kasus korupsi bantuan usaha produksi pertanian DID tahap II di Dinas Pertanian Kota Tidore Kepulauan tahun 2020 telah diputuskan oleh majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Ternate, 12 November 2024.
Dalam putusan itu, majelis hakim yang di ketuai oleh Khadijah Amalzain menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dan denda Rp200 juta kepada terdakwa Nuraksar Kodja. Jika denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan kurungan penjara selama 3 bulan.
Selain itu, terdakwa juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp119 juta. Jika dalam 1 bulan tidak disanggupi oleh terdakwa, maka harta benda terdakwa disita untuk menutupi uang pengganti.
Apabila harta benda tidak menutup uang pengganti maka terdakwa dipidana selama 1 tahun penjara.
Putusan majelis hakim tersebut lebih ringan dari jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntuk terdakwa dipidana 5 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp200 juta.
Selain itu, JPU menuntut terdakwa membayar uang pengganti senilai Rp745.241.363, menyatakan merampas uang negara sebesar Rp4.800.000 yang dititipkan oleh keluarga terdakwa kepada JPU sebagai perhitungan uang pengganti sehingga sisa uang pengganti yang harus dibayarkan sebesar Rp740.441.363.
Usai sidang putusan, pihak keluarga terdakwa tak kuasa menahan amarah karena merasa tidak adil dalam perkara itu.
Akmal, anak terdakwa menyebutkan keputusan hakim tidak sesuai dengan fakta persidangan. Dimana menurutnya, semua saksi memberikan keterangan dalam sidang bahwa barang-barang yang dipesan dari toko milik ayahnya telah diterima dan dibuktikan dengan kwitansi.
“Jadi perkara ini seolah bapak kami yang bersalah,” ucapnya sembari meneteskan air mata seperti dikutip dari penamalut.com.
Ia mengatakan, pihaknya belum memikirkan upaya banding atas putusan majelis hakim Tipikor.
Ia mengaku, pihak keluarga terdakwa memiliki semua bukti dan siap membongkar kejanggalan dalam penanganan kasus DID tahap II tahun 2020 itu.
“Kami berupaya membongkar kebusukan dari jaksa penuntut umum yang menjadikan bapak kami sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas kasus ini,” tegasnya.