oleh

HAKORDIA dan Pilkada 2020, Harapan Menuju Indonesia Bersih

Oleh: Masri Ahmad (Ketua Umum PMII Cabang Kota Tidore Kepulauan)

jazirah-id – 9 Desember 2020 lalu telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Jadwal Pilkada ini merupakan revisi KPU dari yang ditetapkan 23 September 2020 dengan pertimbangan pandemi Covid-19. Demikian Pilkada 2020 dilaksanakan bertepatan dengan Internasional Anti-Corruption Day atau Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA).

HAKORDIA ditetapkan, dilatari dengan sejarah desakan terhadap negara negara integrasi ekonomi regional untuk menandatangani dan meratifikasi Konvensi PBB melawan korupsi, menjadi sebuah renungan pada HAKORDIA 9 Desember 2020 yang bertepatan dengan Pilkada serentak itu.

Sudah menjadi pengetahuan umum, kepala daerah yang dihasilkan dari pilkada ini nantinya menjalankan salah satu kewenangannya adalah memegang Kekuasaan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah. Maka, tentu harapan besar publik, kewenangan tersebut dijalankan dengan bersih tanpa korupsi.

Terkait hal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada momentum HAKORDIA 9 Desember 2020 lalu menyampaikan, peringatan itu sebagai bentuk upaya penyadaran publik bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus dihadapi dengan cara luar biasa.

Lembaga anti rasuah saat itu juga memberikan gambaran perkembangan kegiatan yang telah dilakukan Kementerian/Lembaga, Pemda, Partai Politik, Sektor Swasta termasuk masyarakat sipil dalam mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.

Selanjutnya, memperkuat komitmen dan kerja sama antara K/L, Pemda, Partai Politik, sektor swasta, serta organisasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia serta memperluas keterlibatan masyarakat dalam mensosialisasikan nilai-nilai anti korupsi.

Soal korupsi di Indonesia, ditunjukan dengan tidak sedikit perkara korupsi yang ditangani KPK hingga saat ini. Berdasarkan data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) 2019, peringkat pertama pelaku korupsi di Indonesia berasal dari kalangan birokrasi. Maka, sesuai tema HAKORDIA dan Pilkada 2020 ini, penulis memfokuskan pada keterlibatan kepala daerah dalam kasus korupsi.

Dikutip dari idntimes.com menjelaskan, sepanjang tahun 2019-2020 terdapat sejumlah kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dan Penangkapan ini dilakukan melalui berbagai cara, seperti OTT, pengembangan kasus, dan penyelidikan.

Berikut dua belas (12) nama-nama kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sepanjang tahun 2019 antara lain: Sri Wahyumi Maria Manalip, Bupati Kabupaten Talaud, Khamami, Bupati Mesuji, Nurdin Basirun, Gubernur Kepulauan Riau, M Tamzil, Bupati Kudus, Ahmad Yani, Bupati Kabupaten Muara Enim, Suryadman Gidot, Bupati Kabupaten Bengakayang, Agung Ilmu Mangkunegara, Bupati Lampung Utara, Supendi, Bupati Indramayu, Dzulmi Eldin, Wali Kota Medan, Muzni Zakaria, Bupati Solok Selatan, Amril Mukminin, Bupati Bengkalis, Budi Budiman, Wali Kota Tasikmalaya

Sementara pada bulan Juli 2020 lalu, media yang sama juga memberitakan bahwa terdapat salah seorang bupati yakni bupati Kutai Timur, Ismunandar sebagai tersangka penerima suap dalam OTT yang dilakukan oleh KPK.

Tidak hanya itu, KPK menetapkan Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah sebagai tersangka kasus suap pengadaan proyek infrastruktur PUPR. Anehnya baru-baru ini, Kamis, 3 Desember 2020 seorang calon petahana di Sulawesi Tengah, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Bupati Banggai Laut, Wenny Bukamo terkait dugaan suap proyek untuk kepentingan kampanye pilkada yang dikutip dari tagar.id.

Egi Primayogha, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) saat menjadi pemateri dalam diskusi dengan tajuk ‘Netralitas ASN dalam Pilkada’ pada Kamis, 3 Desember 2020 lewat live Facebook mengatakan bahwa para kepala daerah ini melakukan korupsi dengan ragam modus, mulai dari gratifikasi, kerugian negara, suap, pemerasan, dan pencucian uang.

Korupsi merupakan fenomena sosial, politik dan ekonomi yang mempengaruhi daerah berupa memperlambat pembangunan ekonomi yang membuat pemerintah tidak stabil. Perilaku tersebut merampas dan menyengsarakan kehidupan masyarakat.

Faktor inilah maka kepala daerah harus diawasi secara ketat untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) sehingga pembangunan bisa merata dan dirasakan, kemiskinan menurun, tingkat kesehatan membaik, pendidikan merata, gaji buruh sesuai upah minimum.

Demikina juga pengaturan regulasi yang menguntungkan masyarakat akar rumput seperti petani dan nelayan. Sayangnya, perwujudannya masih jauh dari harapan, diakibatkan oleh watak kepala daerah yang cenderung koruptif dan melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya.

Maka perayaan Hari Anti Korupsi Sedunia tidak bisa hanya dianggap sebagai satu momentum seremoni dalam konvensi PBB melawan korupsi tanggal 31 oktober 2003 semata.

Korupsi harus diperangi secara bersama, harus dihilangkan, karena merupakan perilaku tidak jujur dan tidak etis terutama jika dilakukan oleh kepala daerah dan bahwa penyakit korupsi merupakan penyakit menular di bangsa ini yang harus diperangi secara masif.

Negara dalam pemberantasan perilaku korupsi berdasarkan laporan akhir tim kompedium hukum tentang lembaga pemberantasan korupsi dari Kemenhumham RI bahwa, upaya pemberantasan korupsi sudah ada sejak masa orde lama yang dilakukan berdasarkan UU Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Kemudian ke orde baru (masa 1971-1999) diundangkan UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sampai dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara/NPKPN tahun 1999.

Selanjutnya di masa reformasi (masa 1999-2002), UU No. 3 Tahun 1971 sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum maka disahkan UU No. 31 Tahun 1999 dan dilakukan perubahan dengan UU No. 20 Tahun 2021 tentang PTPK sebagai penyempurnaan kembali perumusan tindak pidana korupsi dalam UU 3/1971.

Singkat cerita, perlu dibentuk KPK dengan UU No. 30 Tahun 2002. Bahkan sampai dikeluarkan instruksi presiden nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Namun, sampai saat ini upaya pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan, sejumlah fakta menunjukan banyak banyak penyelenggara negara yang terlibat kasus-kasus korupsi dari atas sampai kepala-kepala daerah seperti yang telah disebutkan diatas.

Artinya, negara ini sudah terdapat begitu banyak UU dan sejumlah ketetapan, serta pembentukan lembaga khusus untuk memberantas korupsi, tapi sayangnya korupsi semacam membudaya.

Transparency Internasional Indonesia merilis data indeks persepsi korupsi atau corruption perception indeks (CPI) di Indonesia tahun 2019 mengalami peningkatan atau berada diskor 40 jika dihitung dari angka nol (0) sebagai yang terburuk dan seratus 100 sebagai yang terbaik, hal ini dianggap jauh lebih baik karena jika dibandingkan dengan tahun 2018, indeks persepsi korupsi indonesia justeru berada diskor 38.

Menjadi suatu harapan bahwa penetapan pilkada tahun ini merupakan keputusan berdasarkan komitment negara untuk memberantas korupsi dengan mengingatkan kepada kepala daerah yang akan terpilih nanti agar tidak melakukan praktek korupsi sebagaimana yang telah dikemukakan diawal tulisan, sehingga keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia bisa terwujud.

Demikian tidak ada lagi yang mengeluhkan tingginya biaya kesehatan, pendidikan, gaji sampai kerusakan ekologi dan lainnya oleh watak kepala daerah yang koruptif bahkan melakukan apa saja untuk melanggengkan kekayaannya, termasuk merusak sumber daya alam.

Memang kita tidak bisa berharap terhadap penyelenggara negara (kepala daerah) kerena akhirnya kita akan bertemu pada satu titik yakni mereka akan diam-diam memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

Sudah terlalu banyak harapan yang digantungkan oleh rakyat (pemilih) agar pemimpin yang mereka pilih bisa memberikan angin segar berupa peningkatan ekonomi dengan membuka peluang kerja sebesar-besar agar terserap tenaga kerja dari rakyat terutama masyarakat ekonomi rendah sehingga tidak ada lagi kegelisahan tentang kesejahteraan dan kebutuhan pendidikan serta kesehatan.

Baru-baru ini di tanggal yang sama (9 desember 2020) ada seorang ibu di Sulawesi Utara yang membunuh 3 orang anaknya dikarenakan himpitan ekonomi, hal-hal serupa bukan baru terjadi tapi sudah terjadi berulang kali.

Maka untuk memutus kekejian semacam ini, negara (kepala daerah) harus benar-benar bekerja dengan nawaitu yang tulus sehingga tercipta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga tidak terjadi hal serupa kedepan.

Komentar