Jazirah Indonesia – Pemerintah Provinsi Maluku Utara diminta cermat mengelola keuangan menyusul kondisi kas daerah yang kian menipis.
Situasi ini dipersulit lagi dengan realisasi penerimaan pendapatan daerah tahun 2023 yang tidak mencapai target, serta belum ditransfernya Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat.
Ketua Komisi II DPRD Provinsi Maluku Utara, Ishak Naser mengatakan, dengan kondisi yang serba sulit ini, tentu seluruh belanja pemerintah berpatokan pada APBD induk 2023 karena perubahan anggaran ditolak oleh Mendagri. Sementara pada induk 2023, pendapatan daerah hanya terealisasi sebesar Rp 2.765.552.774.865.64, atau 66,2 persen dari target Rp 4,1 triliun lebih.
“Ada 30 persen pendapatan yang belum tercapai sampai dengan posisi per 12 Desember 2023,” sebut Ishak, Kamis (14/12/2023).
Disisi lain, pemerintah provinsi juga terseok dengan beban utang yang menumpuk. Utang ini rencananya akan dibayar setelah transfer DBH dari pemerintah pusat.
Mengenai transfer DBH, kata Ishak, DPRD dan Badan Pengelola Keuangan, Aset Daerah (BPKAD) Malut menyepakati angka yang ditransfer pemerintah pusat sebesar Rp 258 miliar pada Desember ini. Angka yang disepakati ini tidak termasuk DBH kurang bayar superti yang dipaparkan oleh Kepala BPKAD Ahmad Purbaya sebesar Rp 297 miliar.
“Sedangkan khusus transfer ke daerah untuk tahun 2023, yaitu DAU, DAK fisik dan non fisik ditambah lagi dengan DBH tahun 2023, lalu DBH kurang bayar tahun sebelumnya itu ada sekitar Rp 297 miliar, sementara yang bisa bayar diperkirakan Rp 140 miliar,” ungkapnya.
Menurut politisi Nasdem ini, jika transfer ke daerah (TKD) ditambah dengan PAD Pemprov yang sebesar Rp 66 miliar maka totalnya Rp 258 miliar. Bila ditambahkan lagi dengan Rp 140 miliar DBH kurang bayar dari Rp 297 miliar, maka penerimaan Pemprov yang diperoleh dari pemerintah pusat pada Desember 2023 ini sebesar Rp 385 miliar.
Sementara itu, total SPM yang diajukan ke BPKAD yang belum di proses SP2D karena menunggu dana transfer dari pemerintah pusat sebesar Rp 322.458.626.463.93. Ini terdiri dari SPM untuk pergantian uang persediaan Rp 1 miliar lebih, kemudian tambahan uang untuk persediaan yang mau diminta sebesar Rp 10 miliar lebih, lalu barang dan jasa maupun gaji pembayaran langsung atau LS sebesar Rp 311.188.865.93.
“Kalau perkiraan kami, penerimaan TKD dan PAD sebesar Rp 258 miliar, ditambah dengan Rp 140 miliar DBH kurang bayar maka total penerimaan yang harus di terima di akhir Desember 2023 kurang lebih Rp 385 miliar, itu artinya SPM yang Rp 322 miliar ini bisa dibayar secara keseluruhan, dan masih kelebihan Rp 76 miliar,” sambung Ishak.
Ishak meminta, Pemprov Malut memaksimalkan kelebihan anggaran Rp 76 miliar ini agar bisa membayar DBH 10 kabupaten/kota meskipun tidak sekaligus.
“Karena dengan jumlah itu juga belum bisa bayar secara keseluruhan tapi paling tidak mengurangi utang tersebut agar utang Pemprov ke 10 kabupaten/kota semakin berkurang,” sarannya.
Ketika ditanya apakah sisa DBH ini akan dibayarkan oleh Kementerian Keuangan, Ishak bilang, apabila sampai akhir tahun tidak dibayar berarti kinerja Pemprov patut dipertanyakan.
“Jangan sampai dokumen yang diminta kemenkeu tidak dapat di berikan, atau tidak disiapkan pemprov. Intinya, kita harus cek apakah pempus betul tidak membayar ataukah pemprov yang tidak memenuhi persyaratan pembayaran, misalnya dana DAK sudah pasti akan dibayar sepanjang pemprov menyiapkan dokumennya,” ujarnya.
Ishak juga menyarankan, Pemprov Malut juga perlu menghitung sisa anggaran tahun ini dan memverifikasi nilai utang yang menjadi beban karena menurut perkiraannya, beban utang yang belum terbayar hampir Rp 1 triliun dan dipastikan akan tidak dibayar sekaligus.
Kata Ishak, tidak seluruhnya utang dibawa ke tahun 2024. Utang yang bisa dibawa ke tahun 2024 adalah sisa-sisa anggaran yang belum terbayar tapi pekerjaanya sudah di atas 50 persen.
Opsi lain yaitu, pembayaran utang pihak ketiga berdasarkan progres pekerjaan, setelah itu diputuskan kontrak kerjasama dengan pihak rekanan tersebut dan diterapkan denda keterlambatan. Ini membuat beban utang yang harus dianggarkan ulang ke tahun berikutnya tidak lagi besar, sehingga seluruh kegiatan di tahun 2024 bisa diarahkan untuk membayar kegiatan-kegiatan vital yang saat ini belum terlaksana.
“Jadi kita DPRD mau melihat berapa penerimaan yang sudah direalisasikan, dan berapa yang sudah di belanjakan untuk kepentingan pemerintahan, dan sisa yang belum dibayarkan apa-apa saja, dan apakah sisanya bisa dibiayai secara keseluruhan apa tidak, karena saat ini Maluku Utara mengalami krisis dalam pengelolaan keuangan,” pungkasnya.