Pilkada 2024; Kemerdekaan untuk Memilih

Oleh: Risman Tidore
(Pengurus MD KAHMI Kota Tidore Kepulauan)

 

Pesta Politik suksesi demokrasi lokal pilkada serentak nasional 2024 kini tengah bergulir sejak diterbitkan Peraturan KPU Nomor 2 tahun 2024 tentang tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2024 yang resmi dilaunching oleh KPU secara nasional pada 31 Maret 2024 lalu.

Melalui norma yang sama pemungutan suara serentak nasional untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 27 November 2024.

Pengaturan baku tentang sistem penyelenggaraan keserentakan Pilkada 2024 terkonfirmasi pada Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada yang menyebutkan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

Hal ini tentunya menjadi the rules mode dalam sejarah sistem demokrasi elektoral di Indonesia dimana pesta demokrasi lokal yang semula hanya memilih kepala daerah provinsi dan kabupaten/Kota secara bergelombang dibeberapa wilayah kini diserentakkan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penting bagi kita mengulas kembali prospek konsolidasi demokrasi di tengah peluang dan tantangannya di masa depan. Pemilihan Kepala Daerah yang merupakan mekanisme sirkulasi elite didaerah yang nantinya menentukan hajat hidup masyarakat melalui agenda-agenda pembangunan ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan di masa mendatang.

Vilfredo Pareto dalam tulisannya, The Circulation of the Elite, (dalam William D Perdue, 1986) memberi catatan penting bahwa sirkulasi elite itu selalu bersifat resiprokal dan mutual interdependence atau punya ketergantungan bersama. Jika prosesnya baik, berkualitas, berintegritas maka potensi untuk melahirkan para pemimpin transformatif yang bisa menggerakkan perubahan secara bersama-sama memiliki peluang lebih besar.

Hal ini, tentu berkorelasi signifikan dengan penguatan kelembagaan demokrasi, karena para elite yang dilahirkan akan mengisi posisi penting sebagai pemimpin eksekutif baik di level pemerintahan daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Karena Pilkada telah menjadi mekanisme sirkulasi elit lima tahunan yang reguler, maka Pilkada harus diposisikan sebagai momentum kuasa rakyat sebagai pemberi mandat yang memiliki kepentingan mendasar, yakni perbaikan bangsa dan negara diberbagai sektor yang akan berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak lebih khusus kepentingan kesejahteraan masyarakat daerah dalam konteks suksesi demokrasi lokal Pilkada Tahun 2024.

Merdeka Memilih

Pemilihan kepala daerah menurut UU nomor 10 tahun 2016, selanjutnya disingkat Pilkada, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Penyelenggara Pilkada adalah KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota yang mengurusi teknis penyelenggaraan, bawaslu yang mengurusi pengawasan dan pencegahan serta DKPP sebagai lembaga yang mengawasi kode etik penyelenggara.

Berdasarkan UUD 1945 pasal 22E ayat (5), menyebutkan bahwa; KPU merupakan lembaga penyelenggara yang bersifat nasional, tetap dan mandiri dalam melaksanakan Pemilihan Umum maupun pemilihan kepala daerah. Disamping penyelenggara, ada komponen lain yang sangat strategis dalam pelaksanaan Pilkada, yaitu warga negara sebagai pemilih.

Pemilih dalam Pilkada merupakan warga negara yang usianya sudah 17 tahun sudah kawin atau pernah kawin, independen, TNI/polri yang sudah purna tugas dan warga negara yang tidak sedang dicabut hak pilihnya.

Secara normatif tujuan pemilihan umum tertuang dalam pasal 4 UU No 7 tahun 2017 yaitu : memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis; mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas; menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu; memberikan kepastian hukum dan duplikasi dalam pengaturan pemilu; dan mewujudkan pemilu yang efektif dan efesien.

Sedangkan tujuan keserentakan Pilkada Tahun 2024 adalah untuk mengsingkronisasi program pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut berdasarkan hasil kesepakatan pemerintah, DPR RI dan penyelenggara Pemilu pada rapat kerja dengan para menteri, KPU, Bawaslu dan DKPP pada tanggal 4 Juni Tahun 2022.

Dalam catatan Arbi Sanit, Pemilu dan Pilkada pada dasarnya memiliki 4 fungsi yaitu membentuk legitimasi penguasa dan pemerintah, membentuk perwakilan politik rakyat, sirkulasi elit penguasa dan pendidikan politik. Oleh karena itu disimpulkan arbi sanit bahwa Suksesi politik elektoral bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan yang aman dan konstitusional dan melaksanakan kedaulatan rakyat.

Dari beberapa tujuan tersebut, ada beberapa kata kunci yang cukup menarik yaitu demokratis, adil, integritas, efektif dan efisien. Sebagai penyelenggara pemilu KPU harus senantiasa menjaga nilai-nilai demokrasi dan integritas, karena itu merupakan coor bisnis yang harus dipegang dan ditaati. dari sisi pemilih tentu rasa keadilan dan kebebasan harus di kedepankan sebagaimana asas penyelenggaran Pilkada Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Pemilih yang bebas, harus terlepas dari berbagai praktek “kotor” Dalam berddemokrasi seperti money politik, tekanan politik atau pun hoax politik.

Merawat Kedaulatan

Kedaulatan diartikan sebagai bentuk kekuasaan tertinggi yang mengatur pemerintahan dalam tingkat daerah maupun negara. Ada berbagai jenis kedaulatan yang digunakan setiap negara, yaitu kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, kedaulatan hukum, dan kedaulatan rakyat.

Dalam konteks Pilkada sebagai sebuah sistem demokrasi yang reguler, tentunya tidak lepas dari aspek kedaulatan rakyat dalam menjamin kebebasan warga negaranya menentukan suatu pemerintahan rakyat (by the people) yang harus terwakili dalam pemerintahan sehingga cita-cita dan kehendak umum dapat terwujud.

Hal tersebut dimaknai bahwa rakyatlah yang berdaulat mewakili kekuasaannya kepada suatu badan,

yaitu pemerintah. Jika pemerintah tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya yang dibebankan rakyak padanya, maka rakyat melalui Pemilu berhak untuk melakukan evaluasi secara demokratis dengan menentukan kembali pemerintah yang akan dipilih melalui Pilkada

Dalam negara demokrasi, penggunaan kepercayaan dan mandat rakyat oleh pejabat publik di daerah harus dipertanggungjawabkan secara berkala melalui mekanisme Pilkada. Sejatinya Pilkada dirancang sebagai mekanisme sirkulasi elit 5 tahunan yang reguler untuk melakukan evaluasi total terhadap penggunaan kepercayaan dan mandat politik yang telah diberikan oleh rakyat pada momentum sebelumnya. Melalui Pilkada juga, rakyat sebagai pemilik utama (primus interpares) kekuasaan dalam negara demokrasi justru menemukan penegasannya.

Menurut internasional IDEA, sebuah organisasi internasional yang mendukung demokrasi berkelanjutan di seluruh dunia, mendefinisikan demokrasi sebagai “pengendalian rakyat terhadap para pembuat kebijakan dan kesetaraan politik bagi mereka yang menjalankan pengendalian itu”.

Secara lebih khusus, demokrasi ideal “berupaya menjamin kesetaraan dan kebebasan asasi; memberdayakan rakyat kebanyakan; menyelesaikan perselisihan melalui dialog damai, menghormati perbedaan; serta menghasilan pembaharuan politik dan sosial tanpa konflik”.

Kedaulatan rakyat juga dipertegas dalam konstitusi UUD 1945 yang dapat dijadikan sistem politik yang dikehendaki oleh semua pihak. Hal tersebut menguatkan tafsir tekstual atau Original Intent pada pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu dilaksanakan secara  langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Diperkuat pula dengan bunyi ayat (2) sebagai landasan konstitusional yang mengatakan: “Kedaulatan  berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Senada dengan hal tersebut, intensitas kedaulatan rakyat sebagai pemilih dalam UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada didefinisikan sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota, yang dilaksanakan siara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, rakyat sebagai pemegang mandat kuasa harus sadar dan memahami hak dan kewajibannya untuk menjaga serta memperkuat kedaulatannya selama pra hingga pasca kontestasi dan kompetisi Demokrasi elektoral di daerah.

Salah satu yang menjadi kewajiban penting dalam penyelenggaraan Pilkada yaitu warga negara sebagai masyarakat, penduduk serta pemilih harus mengetahui dan mengikuti aktivitas penyelenggaraan tahapan Pilkada dimulai sampai dengan pasca pemungutan suara.

Implementasi Kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan Pilkada adalah mengawal tahapan dan proses penyelenggaraan agar tetap on the track sesuai asas dan prinsip-prinsip penyelenggaraan Pilkada. Menciptakan suatu kondisi budaya politik masyarakat yang partisan sehingga masyarakat mengerti bahwa status sebagai warga negara, penduduk, dan pemilih dengan memberikan perhatian lebih terhadap sistem politik dan demokrasi elektoral tidak hanya mekanisme teknis yang dijalankan dalam Pemilihan seperti pemutakhiran data pemilih, Pencalonan, kampanye, pemungutan suara, cara penghitungan, penentuan hasil, dan sebagainya yang sifatnya teknis.

Tapi lebih dari pada itu implementasi kedaulatan rakyat dalam Pilkada harus memastikan independensi hak pilih yang dimilikinya tidak terganggu hanya karena alasan pragmatis dan transaksional. Mampu mengakses visi dan visi, rekam jejak serta tawaran program calon kepala daerah yang akan dipilih.

Demikian pasca Pilkada, ada periode yang sangat penting, dimana pemilih lebih dituntut untuk menjalankan kewajibannya. Yakni mengawal, apakah visi misi itu bisa dijalankan dengan baik, apakah janji kampanye yang telah disampaikan dapat diakses dan bisa menuntut pertanggungjawaban pemipin eksekutif dan legislatif yang dipilih. Sama halnya dengan pemimpin eksekutif yang terpilih dalam Pilkada juga memiliki kewajiban memastikan visi dan misi berjalan dan terlaksana dengan baik.

Dengan demikian, terkonstruksinya demokrasi dalam Pilkada tidak hanya diukur dengan hasil akhir dalam penyelenggaraannya, tapi pasca Pilkada, rakyat berkewajiban untuk mengawal jalannya pemerintahan dengan baik. Rakyat sebagai pemberi mandat lebih jelih dan menjadi spionase dalam melihat proses demokrasi pasca Pilkada tersebut terus berjalan.

Dari proses tersebut dapat dikatakan bahwa ujung dari sebuah proses kontestasi politik elektoral adalah kemauan yang tulus bagi sang pemimpin terpilih untuk meletakkan rakyat di atas segala-galanya untuk kepentingan kemakmuran dan kesejahteraan bersama, disinilah sebenarnya hakekat dari pelaksanaan Pilkada dan kedudukan warga sebagai pemilih yang berdaulat dalam bingkai demokrasi, penglegitimasian kemakmuran dan kesejahteraan dalam kaidah usul fiqih disebutkan “Ta-syarruful imamii A’lilra’iyati manuutuum bil mashlahah” bahwa tindakan dan kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya haruslah berdasarkan kepentingan dan kemaslahatan rakyat, disinilah sinegritas antara bagaimana kemakmuran ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan tingkat pengetahuan yang tinggi adalah faktor penentu bagi terciptanya nuansa kehidupan politik yang demokratis.

Dirgahayu RI yang ke-79 Tahun