Pemangkasan TKD Abaikan Keadilan Fiskal dan Pelanggaran terhadap Prinsip Otda

Jazirah Indonesia – Kebijakan pemangkasan dana Transfer ke Daerah (TKD) kembali menuai sorotan tajam. Pemerintah pusat dinilai melanggar aturan perundang-undangan dan mengabaikan prinsip keadilan fiskal, sekaligus bentuk pelanggaran terhadap prinsip otonomi daerah (otda).

Penilaian tersebut disampaikan praktisi keuangan daerah, Ramli Saraha dalam dialog dengan tema “Pengurangan TKD, Kota Tidore bisa apa”? yang dilakukan Komunitas Wartawan Kota Tidore (KWATAK), di Aula Nuku Kantor Wali Kota Tidore, Selasa (7/10/2025).

Dalam pandangannya, kebijakan tersebut tidak hanya keliru secara logika, tetapi juga melanggar Undang-Undang nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Dimana pada Pasal 187 UU ini melarang adanya penurunan Dana Alokasi Umum (DAU) selama lima tahun sejak diberlakukannya undang-undang tersebut.

Dalam kesempatan memberikan pandangan dari sisi praktis keuangan daerah, ia menanggapi pernyataan Menteri Keuangan yang sebelumnya menyebut pemangkasan TKD dilakukan karena adanya penyelewengan keuangan di daerah.

“Kalau pemerintah menyimpulkan yang dikelola daerah itu penyelewengan, maka yang dikelola pemerintah pusat juga harus dibuka. Harus objektif. Kalau memang ada penyelewengan, paparkan datanya,” tegasnya.

Ia juga menyoroti adanya dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan di kementerian keuangan, yang mencapai Rp3.000 triliun, dan meminta agar pemerintah berlaku adil dalam menilai pengelolaan keuangan baik di pusat maupun di daerah.

Lebih lanjut, Ramli menilai pemangkasan TKD sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip dasar otonomi daerah dan desentralisasi yang telah dijamin dalam reformasi pemerintahan.

“Pemerintah tidak boleh menjadikan alasan penyelewengan sebagai alat untuk memotong keuangan daerah. Itu logika yang keliru, karena hak atas desentralisasi tidak bisa dicabut begitu saja,” ujarnya.

Oleh karena itu lanjutnya, ketika ada pertanyaan, “Pengurangan dana TKD, Kota Tidore bisa apa” ?  “saya menjawab bahwa Tidore bisa mengingatkan kepada pemerintah bahwa dalam keputusan itu salah,” tambahnya.

Kritik terhadap UU Nomor 1 Tahun 2022

Menurut Ramli, banyak ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 yang bermasalah. Ia menilai undang-undang tersebut menghapus ketentuan penting yang sebelumnya diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemeeintahan Daerah.

Dalam UU lama ini, porsi minimal untuk Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sebesar 26% dari total pendapatan negara.

Namun, dalam UU baru (UU Nomor 1 Tahun 2022), porsi tersebut dihapus dan diganti dengan klausul bersifat umum atau “pasal karet” yang memberi kewenangan besar kepada pemerintah pusat untuk menentukan alokasi dana.

“Pasal ini menjadi dasar pemerintah untuk memotong TKD karena tidak ada lagi porsi 26% yang dikunci. Ini yang menjadi masalah,” jelasnya.

Selain itu, ia menyoroti perubahan dalam formulasi dasar perimbangan keuangan yang tidak lagi memasukkan belanja pegawai dalam perhitungan dasar, padahal pemerintah daerah diwajibkan merekrut banyak PPPK dan CPNS.

“Pemerintah pusat melempar tanggung jawab ke daerah. Gaji pegawai tidak diperhitungkan berdasarkan formulasi dasar, tetapi daerah disuruh menanggung bebannya. Ini bentuk ketidakadilan,” tegasnya.

Ketimpangan Urusan dan Pembiayaan

Ramly juga mengkritik ketidakseimbangan antara jumlah urusan pemerintahan yang dilimpahkan ke daerah dengan anggaran yang diberikan.

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah daerah memiliki 32 urusan, namun hanya 6 yang mendapatkan dukungan pembiayaan dari pusat.

“Logikanya, dikasih uang untuk beli ayam, tapi disuruh beli sapi. Ini sangat tidak adil,” sindirnya.

Ia menilai penghapusan istilah perimbangan keuangan dan penggantian dengan istilah transfer ke daerah semakin memperburuk hubungan fiskal pusat-daerah, karena menghilangkan prinsip keadilan dan keseimbangan yang sudah diatur dalam konstitusi.

Seruan untuk Tindakan Hukum

Di akhir penyampaian, Ramly menegaskan bahwa kebijakan pemangkasan TKD harus ditinjau ulang dan dikaji secara hukum.

“Ada dua pelanggaran besar di sini. Pertama, pemerintah pusat melanggar Pasal 187 UU Nomor 1 Tahun 2022, karena belum boleh ada pengurangan sebelum 2027. Kedua, undang-undang itu sendiri melanggar Pasal 18A UUD 1945 tentang hubungan keuangan yang adil dan selaras,” tegasnya.

Ia merekomendasikan agar seluruh asosiasi pemerintah daerah, baik tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun desa serta DPRD, melakukan langkah hukum bersama dan mendorong review terhadap UU Nomor 1 Tahun 2022.

“Kita harus menyampaikan kepada pemerintah bahwa kebijakan ini salah dan melanggar prinsip dasar konstitusi,” pungkasnya.