Menukik Samudera Bahasa Daerah di Maluku Utara

Oleh: Dr. Suddin M.Saleh Djumadil, S.S., M.Hum. (Dosen pada Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun Maluku Utara) Udinmsaldju79@gmail.com

Angka Bahasa Daerah di Maluku Utara Relatif

Jumlah bahasa daerah dalam satu wilayah masyarakat tutur bervariasi akan menimbulkan pertanyaan bagi orang awam dan mungkin juga bagi para peneliti serta peminat bahasa. Angka bahasa daerah di Maluku Utara tidak sama dilihat pada hasil penelitian para peneliti yang telah dimuat pada media.

Maluku Utara disebut terdapat 30 bahasa daerah (Tempo.co, 12 Januari  2012). Informasi yang diperoleh dari  e.Cermat, 13 Januari 2009 bahwa bahasa daerah di Maluku Utara didapat 28, ada yang mengatakan 31, ada pula yang mengatakan 36 bahasa daerah.

Wikipedia menginformasikan 19 bahasa daerah di Maluku Utara. Angka ini dikutip dari Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (id.m.wikipedia.org).

Selanjutnya, jumlah bahasa di Maluku Utara sebanyak 36 dan ada yang menyebut 31 bahasa daerah (Republika.co.id, 20 Januari 2015). Antara News, 7 Oktober 2015 memberitakan bahwa bahasa daerah di Maluku Utara sebanyak 32, angka tersebut dikutip dari hasil penelitian Tim peneliti Fakultas Sastra dan Budaya Unkhair yang sudah diganti namanya menjadi Fakultas Ilmu Budaya.

Jumlah bahasa daerah yang relatif itu merupakan isu dan perlu menukik pandangan lebih dalam terhadapnya. Dalam aspek sosiolinguistik, bahasa biasanya digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat tutur (speech community) dan ini merupakan salah satu penentuan yang menentukan jumlah bahasa.  

Masyarakat Tutur di Maluku Utara

Masyarakat merupakan kelompok manusia yang hidup pada satu tempat memiliki norma dan aturan disepakati bersama serta memiliki budaya dan bahasa yang sama atau dapat juga memiliki budaya dan bahasa yang beragam.

Tutur dapat dipahami sebagai ucapan atau perkataan. Masyarakat tutur ialah sekelompok individu menuturkan bahasa yang sama dan mengetahui pengetahaun tentang bahasanya. Kalau satu masyarakat didapatkan penutur menuturkan bahasa yang tidak sama dan salah satu anggota tidak dapat menuturkan bahasa yang sama dimiliki oleh angggota-anggotanya yang lain. Ia tetap digolongkan sebagai anggota dari masyarakat tutur.

Kalau penutur menuturkan bahasa yang sama dan salah satu anggota juga dapat menuturkan bahasa lain. Hal itu berarti penutur mampu menuturkan lebih dari satu bahasa. Tetapi ia tetap juga termasuk anggota dalam masyarakat tutur.

Pemahaman bahasa dan tuturan masing-masing memiliki perbedaan makna yang sudah banyak dijelaskan oleh linguis. Seseorang dapat mengatakan, misalnya “Bahasa hewan tidak sama dengan bahasa manusia”, ini berarti bahwa hewan dan manusia sama-sama memiliki bahasa.

Dengan kata lain, bahasa apa saja dimilki oleh dua makhluk itu, belum diketahui secara persis. Lagi pula, seseorang mengatakan, misalnya “Bahasa Jawa memiliki diglosia, begitu pula bahasa Tidore”. Ini berarti bahwa bahasa Jawa dan bahasa Tidore merupakan bahasa tertentu atau masing-masing adalah bahasa tertentu yang berbeda.

Kemudian tuturan, tuturan merupakan bunyi bahasa bersifat tidak abstrak. Ia merupakan ujaran nyata. Dengan kata lain, wujud nyata dari masing-masing bahasa tertentu atau bahasa yang berbeda.

Pemahaman mengenai bahasa, bahasa daerah (misalnya bahasa Tidore, bahasa, bahasa Ternate, bahasa Sawai dan lain-lain), serta tuturan, Ferdinand de Saussure memberikan tiga istilah itu dalam bahasa Perancis, yakni langage, langue, dan parole. Istilah langage berarti bahasa secara universal, langue ialah bahasa tertentu, dan parole merupakan tuturan dari langue.

Kembali ke penguraian terdahulu tentang angka bahasa daerah di Muluku Utara yang relatif jumlahnya, dalam perspektif pemahaman bahasa (langage), wilayah provinsi Maluku Utara didapat atau ada bahasa yang digunakan oleh masing-masing masyarakat setempat.  

Dalam perspektif bahasa tertentu (langue),  di Maluku Utara tidak hanya didapat bahasa lokal (native language) saja.  Dengan kata lain, bahasa-bahasa daerah pertama sudah ada sebelum bahasa-bahasa daerah lain masuk ke Jazirah Al Mulk (Maloku Kie Raha}.

Pada masa lampau, kedatangan kelompok etnis atau bangsa lain di Maloku Kie Raha (Maluku Utara) dengan membawa bahasa yang digunakannya, peristiwa kedatangan itu otomatis menambah masyarakat tutur di wilayah setempat. Jadi, bahasa-bahasa daerah di Maluku Utara terdiri atas bahasa lokal pertama, bahasa daerah migrasi dan bahasa daerah transmigrasi.

Masyarakat tutur Maluku Utara menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional atau bahasa tertentu bagi bangsa Indonesia dan menggunakan bahasa Melayu pasar (bahasa Melayu Maluku Utara) sebagai lingua franca, bahasa yang digunakan oleh masing-masing etnis atau masing-masing kelompok masyarakat, yakni bahasa Taba Timur (Makeanluar), bahasa Taba Barat (Makean dalam), bahasa Galela, bahasa Tobelo, bahasa Tidore, bahasa Ternate, bahasa Tagutil, bahasa Tabaru, bahasa Sahu, bahasa Waioli, bahasa Patani, bahasa Sawai (bahasa Weda), bahasa Ibu (bahasa Ibo), bahasa Buli, bahasa Gorap, bahasa Bajo, bahasa Buton (dialek Wanci, Kaledupa, Tomia, Buton disingkat Wakatobi), bahasa Bacan, bahasa Jawa, bahasa Bugis, bahasa Sula, bahasa Saboyo, bahasa Mange, bahasa Kadai, bahasa Sangir, bahasa Gorontalo, bahasa Cina (Tionghoa), bahasa Modole, bahasa Pagu, bahasa Kao, bahasa Loloda, bahasa Laba bahasa Gamkonora, bahasa Arab dan bahasa Inggris digunakan pada masyarakat pendididkan. Semua bahasa itu seluruhnya berjumlah 37 bahasa untuk sementara ini.

Jumlah bahasa tersebut di atas, perhitungannya  berdasarkan masyarakat tutur. Pengertian masyarakat tutur menurut Fishman (1976:23) dalam Chaer dan Agustina (2004:36) bahwa anggota-anggota dalam satu masyarakat tutur setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa dan norma-normanya seiring dengan penggunaan bahasa yang digunakannya.

Chaer dan Agustina menambah pengertian bahwa masyarakat tutur bermakna luas, hal itu berarti masyarakat tutur dengan jumlah yang banyak, misalnya masyarakat Maluku Utara, masyarakat Irian Jaya, masyarakat Indonesia dan masyarakat tutur dengan jumlah yang sedikit, misalnya masyarakat dagang, masyarakat desa, masyarakat adat, masyarakat pendidikan dll.

Dari aspek parole, bahasa dapat lebih dari 37 jumlahnya di Maluku Utara karena sebagian kecil individu dapat menggunakan lebih dari satu bahasa, misalnya dapat menggunakan bahasa Perancis, bahasa Belanda, bahasa Jepang, bahasa Jerman dan  dapat juga menggunakan bahasa-bahasa Nusantara lainnya.

Bahasa-bahasa lokal atau bahasa daerah, yakni bahasa Tagutil, bahasa Tabaru, bahasa Galela, bahasa Tobelo, bahasa Saboyo, Bahasa Mange, bahasa Kadai, bahasa Waioli, bahasa Sahu, bahasa Bacan, bahasa Tidore, bahasa Ternate, bahasa Ibu, bahasa Pagu, bahasa Madole, bahasa Taba Barat, bahasa Taba Timur, bahasa Sula, bahasa Buli, bahasa Patani, bahasa Sawai, bahasa Kao, bahasa Loloda, bahasa Laba, bahasa Gamkonora dapat diasumsikan sebagai bahasa-bahasa lokal yang pertama kali ada di Maluku Utara dan semuanya berjumlah 25 bahasa lokal.

Bahasa daerah migrasi, yakni bahasa Melayu, dalam perspektif histori, bahasa ini berasal dari Sumatra. Di wilayah Pelembang ditemukan prasasti-prasasti zaman kerajaan Sriwijaya yang di tulis dengan bahasa Melayu kuno seperti prasasti Talang Tuo bertahun 684 Masehi, prasasti Kedukan Bukit di tepi sungai Tatang bertahun 683, prasasti Kota Kapur di pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Jambi bertahun 686 Masehi.

Lagi pula, Pigafetta menyusun kamus dalam bahasa Melayu ketika beliau dengan kapal layarnya bersauh di Tidore tahu 1521 (Dedi Arman, Juni 8, 2014 artikelnya berjudul Perkembangan Bahasa Melayu).

Merujuk ke peristiwa histori tersebut, penyebaran bahasa Melayu di Maluku Utara sudah dikenal pada zaman Portugis dan berpengaruh kuat pada masyarakat tutur Maluku Utara karena banyak yang menggunakannya hingga berkembang menjadi sebuah bahasa Melayu Maluku Utara (biasa disebut bahasa Melayu Ternate atau Melayu pasar) dan bahkan berkembang menjadi bahasa Nasional yang disebut bahasa Indonsia.

Bahasa Buton dan bahasa Bajo, dua bahasa ini berasal dari Sulawesi Tenggara dan penyebarannya di kepulauan Halmahera Selatan. Bahasa Bugis berasal dari Sulawesi Selatan dan bahasa Gorontalo berasal dari Sulawesi Tengah. Penutur dua bahasa ini paling banyak didapat di pulau Ternate dan pulau-pulau lainnya. Bahasa Sangir berasal dari Sulawesi Utara dan penyebarannya di kepulauan Halmahera Tengah dan Utara.  

Bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Cina atau biasa disebut bahasa Tionghoa. Tiga bahasa ini adalah bahasa Asing. Bahasa Arab berasal dari semenanjung gurun Arabia, penyebarannya melalui hubungan perdagangan. Kini, bahasa Arab tidak digunakan lagi oleh orang-orang Arab yang menetap di Maluku Utara, hanya dipelajari dan digunakan pada masyarakat pendidikan.

Bahasa Cina banyak berasal dari daerah Fujian dan Xiamen, penyebarannya juga melalui hubungan perdagangan. Kemudian, bahasa Inggris berasal dari Britania Raya (Great Britain), dulu penyebarannya melalui hubungan perdagangan. Bahasa Inggris hanya dipelajari dan digunakan oleh masyarakat pendidikan Maluku Utara karena tidak ada bangsa Inggris baik jumlah banyak maupun jumlah kecil menetap di Maluku Utara.

Bahasa daerah transmigrasi adalah bahasa Jawa, bahasa ini berasal dari pulau Jawa, penyebaran melalui transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Repubik Indonesia pada era orde baru sekitar tahun 1980-an dan jumlah tansmigran Jawa cukup banyak di Maluku Utara. Dampak dari migrasi dan transmigrasi ini antara lain adalah menambah kontribusi khasanah kekayaan bahasa daerah di Maluku Utara.

Berdasarkan rumpun bahasa, linguis biasanya mengklasifikasi bahasa ke dalam dua kelompok, yaitu bahasa Austronesia dan bahasa non-Austronesia. Dua kelompok itu secara geografis terletak di bahagian selatan Asia dan lautan Pasifik.

Bahasa Non-Austronesia dan Bahasa Austronesia Maluku Utara

Selain bahasa Asing, bahasa-bahasa daerah Maluku Utara dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok bahasa secara umum, yaitu bahasa non-Austronesia dan bahasa Austronesia. Bahasa non-Austronesia termasuk bahasa Tagutil, bahasa Tabaru, bahasa Galela, bahasa Tobelo, bahasa Loloda, bahasa Laba, bahasa Kao, bahasa Modole, bahasa Pagu, bahasa Sahu, bahasa Waioli, bahasa Gamkonora, bahasa Ibu, bahasa Tidore, bahasa Ternate, dan bahasa Taba Barat (Makean dalam).

Bahasa Austronesia adalah bahasa Indonesia, bahasa Melayu, bahasa Buli, bahasa Patani, bahasa Sawai, bahasa Bacan, bahasa Gorap, bahasa Sangir, bahasa Bajo, bahasa Buton, bahasa Bugis, bahasa Gorontalo, bahasa Taba Timur (Makean luar), bahasa Sula, bahasa Kadai, bahasa Mange, dan bahasa Saboyo. Bahasa-bahasa Austronesia lainnya bersebar luas mulai dari Madagaskar bagian Selatan Asia hingga ke Paska bagian selatan Pasifik.

Austronesia berasal dari bahasa Latin, yaitu auster berarti ‘ angin selatan’ dan nesos (dari bahasa Yunani) berarti ‘pulau’  ( baca Antropologi, selasa 28 Mei 2013). Menurut Wikipedia, kata Austronesia berasal dari bahasa Latin australis berarti ‘selatan’ dan nesos berarti ‘pulau’ (dalam bahasa Yunani). Bentuk jamak dari nesos ialah nesia dapat diterjemahkan ‘pulau-pulau’.  

Merefleksi kembali etimologi kata Austronesia tersebut, Austronesia dipahami dalam perspektif non-linguistik merujuk ke pulau-pulau bagian selatan Asia dan lautan pasifik. Dengan demikian, pulau-pulau bagian selatan yang dimaksud ialah dimulai dari pulau madagaskar sampai ke kepulauan Solomom dan kepulauan Louisiode Papua New Guinea.

Kemudian, orang-orang menghuni pulau-pulau di bagian selatan itu dan secara linguistik memiliki tuturan yang serumpun. Tuturan serumpun itulah dikenal sebagai rumpun bahasa-bahasa Austronesia. Dengan kata lain, bahasa-bahasa serumpun digunakan oleh penghuni-penghuni di kepulauan bagian selatan.

Hal yang direnungkan bahwa ada rumpun bahasa non-Austroneia seperti beberapa bahasa di Maluku Utara yang telah disebut di atas dan juga termasuk bahasa-bahasa di Papua New Guinea. Non-Austronesia berarti ‘bukan pulau-pulau di bagian selatan, padahal secara geografi kepulauan Halmahera, dan kepulauan Papua terletak di belahan selatan lautan pasifik, kenapa tidak dimasukkan ke dalam filum Austronesia. Kepulauan Halmahera dan khususnya Halmahera bahagian Utara didapat komunitas-komunitas memiliki bahasa daerahnya masing-masing yang diasumsikan memiliki hubungan kekerabatan dengan protobahasa Papua. 

Istilah non-Austronesia baik dari perspektif non-linguistik maupun linguistik masih samar (obscure). Pemakaian kata dalam bahasa Bugis, misalnya bosi, dalam bahasa Ternate disebut besa, dalam bahasa Tidore disebut bosa, tiga kata itu sama-sama berarti ‘hujan’. Lantas tiga kata itu mana yang Austronesia dan mana yang non-Austronesia.

Sebagai simpulan, jumlah angka bahasa daerah di Maluku Utara sebaiknya ditentukan dengan pertimbangan aspek yang dianggap berhubungan. Eksistensi bahasa-bahasa daerah Maluku Utara dibedakan dengan cara tahapan kedatangan kelompok pengguna.

Oleh karena itu, bahasa daerah Maluku Utara terdiri atas bahasa daerah lokal pertama, bahasa daerah migrasi, bahasa daerah transmigrasi. Istilah bahasa non-Austronesia di Maluku Utara masih kabur. Ahli bahasa lain menyebut bahasa-bahasa Halmahera Utara yang mencakup semua penetur di pulau-pulau bahagian Utara Halmahera.

Komentar